Mohon tunggu...
BIDANG KEILMUAN
BIDANG KEILMUAN Mohon Tunggu... Lainnya - HMD IESP FEB UNDIP

Bidang Keilmuan merupakan bagian dari Himpunan Mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomika dan Studi Pembangunan yang bergerak di bidang kajian dan diskusi aktif terhadap dinamika ekonomi dan memiliki fungsi fasilitator untuk memfasilitasi pengembangan prestasi akademik mahasiswa IESP FEB UNDIP.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Pemerintah, Masyarakat, Vaksin: Ilusi dan Kenyataan Vaksinasi di Indonesia

24 Desember 2020   17:03 Diperbarui: 24 Desember 2020   17:10 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum vaksinasi, pemerintah harus melakukan penyuluhan mengenai cara mempersuasi dan mensosialisasikan apa itu vaksin agar tidak terjadi misleading information seperti yang sudah terjadi beberapa waktu lalu. Saat berlangsungnya vaksinasi, pemerintah Indonesia harus kembali melakukan langkah agar masyarakat mau menerima vaksin dan vaksinasi dapat tersebar secara merata. Kemudian setelah memasuki proses vaksinasi tahap akhir, pemerintah harus memastikan dan menangani apabila terdapat efek samping serius yang ditimbulkan dari pasien pasca injeksi vaksin COVID-19.

Edukasi dan sosialisasi vaksin sangat penting dilaksanakan. Hal ini bukanlah sekedar dongeng atau mitos belaka. Dari survey yang dilakukan di AS kepada 1.117 responden pada awal Desember 2020, menunjukkan bahwa hanya sekitar 49% responden yang menyatakan dirinya setuju apabila divaksinasi. 27% lainnya menyatakan belum tau apakah bersedia divaksinasi atau tidak, sementara 26% sisanya menyatakan tidak mau divaksinasi. Survey ini dibuat dengan margin of error sebesar 3.9% dari keseluruhan sampel.

                                                                                             Tabel 1: Persentase kesediaan warga AS terhadap vaksinasi

Sumber: https://apnews.com/article/ap-norc-poll-us-half-want-vaccine-shots-4d98dbfc0a64d60d52ac84c3065dac55
Sumber: https://apnews.com/article/ap-norc-poll-us-half-want-vaccine-shots-4d98dbfc0a64d60d52ac84c3065dac55

Sebagai negara dengan salah satu tingkat positif COVID-19 yang tinggi, justru tingkat kesediaan masyarakat untuk divaksinasi relatif rendah. Indonesia, sebagai negara yang memiliki karakteristik yang sama dengan AS, yaitu memiliki populasi penduduk yang tinggi, tingkat kasus positif dan kematian yang tinggi, serta perbedaan pandangan yang cukup ekstrem akibat faktor disrupsi yang menyebabkan misleading.

Menurut survey terbaru dari SMRC pada pertengahan Desember 2020 lalu, hanya 56% dari 1.202 responden yang menyatakan bersedia untuk divaksin. 34% menyatakan tidak mengambil sikap dan 21% sisanya tidak bersedia untuk divaksin. Survey ini dijalankan dengan margin of error sebesar 2,9% dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%. Walaupun, jika dibandingkan dengan AS, hasil survey Indonesia lebih baik, namun disini harus tetap diperhatikan bahwa hampir 45% responden belum pasti atau belum bersedia untuk divaksinasi. Sementara itu, jumlah responden survey SMRC pada awal Desember lalu menghasilkan data bahwa 66% persen responden bersedia divaksinasi. Ini berarti, berdasarkan survey, kesediaan dan kepercayaan masyarakat untuk divaksin justru menurun. Oleh karena itu, masalah edukasi tentang pentingnya vaksinasi penting dilaksanakan.

Saat ini, di Indonesia sedang banyak terjadi kondisi anomie. Robert K Merton (1996:157) mengartikan anomie sebagai suatu keadaan dari struktur sosial dimana terdapat beberapa ketidakserasian antara nilai-nilai yang di akui secara budaya dan cara cara yang diakui untuk pencapaian nilai-nilai ini. Ini terjadi karena terdapat perbedaan diantara tujuan-tujuan hidup dari masyarakat dari norma-norma yang berlaku. Langkah persuasif biasa tidak akan cukup mendorong masyarakat untuk mau divaksin. Pemerintah harus melakukan pendekatan struktural. Perlu ada hal yang 'memaksa' masyarakat untuk bersedia divaksin. Misalnya: larangan berpergian atau mengunjungi tempat tertentu apabila tidak menunjukkan bukti sudah divaksin. Tentu saja, regulasi ini harus dilakukan secara bertahap dan dengan prospeksi jangka panjang. Agar tidak terjadi kekacauan di lini masyarakat, tenaga medis, dan pemerintah itu sendiri sebagai pengawas.

Optimalisasi Vaksinasi

Penyempurnaan dan pemutakhiran kualitas vaksin tentu menjadi concern utama saat ini. Walaupun, disamping itu, Indonesia juga sedang membuat vaksin sendiri dengan label vaksin "Merah Putih". Kemudian, ini bukan hanya satu vaksin, ada 6 institusi yang secara mandiri mengembangkan vaksinnya sendiri yang kemudian akan dilabeli vaksin Merah Putih. Keenam institusi tersebut, diantaranya: Eijkman Institute, Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Airlangga (UNAIR), dan Universitas Gajah Mada (UGM)

Tentu saja ini akan menjadi angin segar bagi solusi untuk permasalahan suppy chain management dan distribusi vaksin. Menurut Hau Lee (1999) ada empat macam strategi supply chain management berdasarkan karakteristik permintaan dan penawaran, diantaranya: Efficient Supply Chain Management, Risk Hedging Supply Chain Management, Responsive Supply Chain, dan Agile Supply Chain.

Untuk kondisi yang saat ini, diperlukan rantai suplai yang responsif, cepat, dan fleksibel terhadap tantangan serta mampu memenuhi permintaan konsumen lewat diversifikasi produk. Maka dari itu, strategi "Responsive Supply Chain" dan "Agile Supply Chain" cocok diterapkan di kondisi ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun