Mohon tunggu...
Keiko Zifa Ghaisani
Keiko Zifa Ghaisani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Lampung

Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Patologi Birokrasi: Rekrutmen ASN Tahun 2024 Dilakukan Tiga Bulan Sekali, Lebih Penting Kuantitas Dibanding Kualitas?

19 Desember 2023   23:07 Diperbarui: 19 Desember 2023   23:07 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Patologi birokrasi dapat dimaknai sebagai suatu kondisi yang disebut sebagai penyakit yang ada di dalam sendi birokrasi. Pada awalnya, istilah "patologi" hanya diakui dalam ilmu Kedokteran sebagai ilmu penyakit. 

Tapi untuk saat ini Analogi ini diakui dalam birokrasi, dengan arti bahwa pemerintah dalam menghadapi berbagai tantangan yang mungkin ada di berbagai bidang seperti politik, ekonomi, sosial budaya dan teknologi, terdapat berbagai penyakit yang mungkin sudah ada atau mengancam proses birokrasi. Ketika membahas tentang penyakit, tentu kata lain yang ikut muncul sebagai solusi adalah obat. 

Begitupun dengan penyakit atau patologi birokrasi ini, diperlukan obat yang menjadi alternatif berhentinya siklus patologi birokrasi. Bukan lagi menjadi hal yang tabu terkait adanya mal-administrasi dalam birokrasi. Bahkan dalam paradigma Actonian dijelaskan secara jelas bahwa kekuasaan cenderung akan korup, tapi kekuasaan yang absolut pasti korup. Makna tersirat dari kalimat tersebut yakni dalam birokrasi cenderung ada penyelewengan kekuasaan, bahkan dapat dipastikan ada.

Dalam Smith (1988) dalam Mu'min Ma'ruf (2010) dijelaskan patologi birokrasi dipetakan dalam dua konsep besar, yakni :

1) Disfunctions of bureaucracy,
Prosedur dan aturan yang ada dalam birokrasi dinilai tidak baik, sehingga kinerja yang dihasilkan juga kurang maksimal. Hal ini akan berakhir pada buruknya kualitas birokrasi yang ada.

2) Mal-Administration
Sempat disinggung di atas, perilaku yang dapat disuap. Mal-administration ini kerap kali dikaitkan dengan perilaku korup oleh birokrat. Mal-administration lebih fokus menekankan pada ketidakmampuan dan tidak bermutunya sumber daya manusia di pemerintahan (buruknya kualitas SDM birokrat).

Menurut menteri pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi (PANRB) tahun 2018, dijelaskan bahwa terdapat enam jenis penyakit birokrasi, antara lain:

a) Persentase belanja operasional untuk memenuhi kebutuhan internal pemerintahan lebih besar dari belanja publik. Hal ini dapat berpotensi penyediaan pelayanan kepada masyarakat oleh pemerintah daerah kurang maksimal jika anggaran tidak mencukupi dan terbatas
b) Angka korupsi yang semakin bertambah. Korupsi tidak dapat menjadi kebiasaan yang harus terus dilestarikan keberadaannya, namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pemerintahan Indonesia, korupsi menjadi budaya baru dan turun-temurun yang sangat sulit untuk diputus pelaksanaannya
c) Tidak efektif dan tidak efisiennya pengelolaan pembangunan yang terjadi saat ini. Pembangunan yang ada, seolah hanya sebagai formalitas tanpa memperhatikan sisi kualitasnya.
d) Kuantitas ASN tidak sejalan dengan kualitas yang dimiliki. Jumlah ASN yang cukup banyak seolah tetap saja tidak menjadikan birokrasi berjalan lebih baik apabila kualitas yang dimiliki ASN kurang.
e) Perluasan struktur organisasi tanpa memperhatikan sisi efetivitas dan efisiensinya.
f) Pelayanan publik yang saat ini diberikan, nyatanya masih belum memenuhi harapan dan ekspetasi dari masyarakat.

Para birokrat seringkali menggunakan berbagai macam strategi dalam rangka berupaya untuk mencapai tujuan pribadi mereka masing-masing tanpa memperdulikan patuh atau tidaknya pada peraturan (Michel Crozier, 1964). 

Poin D dan E yang menyatakan bahwa kuantitas ASN sangat banyak namun tidak dengan kualitas yang dimiliki oleh mereka, serta poin perluasan struktur organisasi tanpa memperhatikan keefektifannya menjadi poin yang sangat relevan dengan saat ini. 

Salah satu kasus yang menunjukkan realita dari praktik poin D dan E adalah peraturan baru yang ditetapkan oleh Menpan RB, Azwar Anas mengenai sistem penerimaan calon Aparat Sipil Negara (ASN) di Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun