Suatu hari sebelum shalat tarawih berjamaah, penulis berkesempatan mendengar ceramah Bapak Taufiq Effendi, mantan menteri PANRB periode 2004-2009. Pada kesempatan itu, beliau mengkritik sistem pendidikan nasional sebagai ujung tombak pembangunan karakter bangsa, terutama untuk anak usia sekolah dasar di Indonesia. Dikatakan oleh beliau, bahwa model pendidikan Indonesia lebih mengedepankan materi (bahan ajar) sebagai ukuran tunggal atas kecerdasan anak. Logikanya, semakin sulit model bahan ajar yang dikuasai oleh si anak, maka dianggap semakin cerdas pula anak tersebut.
Parahnya, prinsip yang sama juga digunakan oleh otorita pendidikan dalam proses penyusunan bahan ajar. Kualitas bahan ajar kemudian ditentukan oleh tingkat kesulitannya. Semakin sulit bahan ajar tersebut, maka akan dianggap semakin berkualitas. Tak heran, jika dibandingkan model pendidikan di negara-negara maju semisal Jepang, materi yang diajarkan di level Sekolah Dasar (SD) kita jauh lebih sulit. Bayangkan saja, anak usia 6 tahun dengan segala kapasitas otaknya, dipaksa untuk belajar IPA, IPS, TIK dan banyak mata pelajaran lain yang seharusnya belum siap mereka terima.
Anak kelas 1 SD Indonesia sudah dituntut untuk mampu memahami apa itu protein, kalsium, teknologi dan segala perkembangannya, konsep kewarganegaraan, negara-bangsa, dan banyak lagi terminologi susah lainnya, yang belum tentu orang dewasa pun tahu atau dapat memahaminya.
Akibatnya, proses belajar mengajar menyisakan beban berat di pundak anak. Mata pelajaran terlalu sulit untuk dimengerti dan dicerna oleh kapasitas berpikir mereka. Takut anaknya dikelompokkan sebagai anak kurang berbakat, yang bisa berpengaruh terhadap kepercayaan diri si anak, maka orang tua pun memilih untuk menambah waktu belajar dengan memberi les tambahan. Niat ini sesungguhnya baik. Namun, bertambahnya jam belajar berarti beban pendidikan bagi anak semakin bertambah berat saja. Langkah ini bukan justru meningkatkan prestasi, melainkan akan membuat anak menjadi jenuh. Belajar pun menjadi momok yang menakutkan dalam benak anak. Akibatnya, prestasi anak justru akan turun.
Beliau juga mengkritik pendekatan pendidikan kita yang murni kuantitatif. Yang akhirnya membuat, proses perkembangan dan pembelajaran anak selama masa sekolah diminimalisasi kedalam angkaangka. Baik biru ataupun merah. Tidak ada satu bentuk pelaporan yang sifatnya kualitatif terhadap orang tua. Padahal, aspek kualitatif ini dinilai lebih mampu di dalam menggambarkan proses pembelajaran yang mampu mengembangkan minat dan bakat anak. Sebentuk pelaporan kualitatif, misalnya, “anak terlihat sangat menikmati belajar ilmu pengetahuan alam. Ia terlihat fokus, hingga mampu mencerna pelajaran dengan baik”. Coba bandingkan dengan sekedar pemberian nilai 9 pada mata pelajaran IPA dalam rapor anak. Menurut anda, bentuk pelaporan mana yang lebih mampu menangkap proses pembelajaran yang terjadi dalam diri anak?
Pendekatan murni kuantitatif ini juga membudayakan adanya persaingan diantara anak. Mereka berebut untuk mendapatkan nilai tertinggi agar terpilih sebagai juara kelas. Budaya persaingan jika mengarah negatif, akan memberi sebentuk pola pikir curigamencurigai dalam nalar anak. Hingga membentuk anggapan bahwa orang lain adalah pihak lain diluar dirinya yang harus dikalahkan dan ditaklukkan. Kediriannya adalah yang utama. Rasa empati, sebagai mekanisme untuk mampu merasakan dan menghargai keberadaan orang lain, pun akhirnya lenyap.
Sistem pendidikan kita mengabaikan aspek pentingnya di dalam pembentukan dan pembangunan karakter. Padahal, kedua hal tersebut sangat dibutuhkan untuk menjamin keberlanjutan dan keberhasilan suatu bangsa. Karena tanpa karakter, berarti bangsa tersebut sudah (dianggap) mati.
Sistem pendidikan kita hanya menghasilkan kumpulan orang pintar. Tidak dapat dipungkiri bahwa kemampuan akademis anakanak Indonesia tidak kalah dan mampu bersaing dengan pelajar dari negara maju sekalipun. Pelajar Indonesia sering memenangi olimpiade ilmiah tingkat internasional, menyingkirkan ratusan pelajarpelajar cerdas dari negara lain. Akan tetapi, keunggulan dari sisi akademis ini, tidak dibarengi dengan adanya proses pembentukan karakter yang kuat dikalangan pelajar. Pendapat ini diperkokoh fakta yang ditunjukkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), bahwa kasus kriminalitas oleh pelajar dari tingkat SD hingga SMA ditenggarai meningkat. Tahun 2010, terjadi 2. 413 kasus kriminal anak usia sekolah. Meningkat di tahun 2011 menjadi 2.508 kasus. Tindak kriminalnya juga bervariatif mulai dari kasus pencurian, tawuran sampai pelecehan seksual.
Berbeda dengan kita, yang mengedepankan aspek pendidikan akademis melalui pengajaran materi belajar super rumit, Negara Jepang di tingkat pendidikan dasarnya justru lebih memprioritaskan penanaman karakter. Sejak usia awal sekolah, pelajarpelajar Jepang diajarkan tentang nilai nilai moral terlebih dulu. Pendidikan moral ini yang kemudian menjadi roh dalam proses pembentukan karakter di kelas.
Sistem nilai moral diajarkan kepada pelajar melalui empat aspek, yakni Menghargai diri sendiri; Menghargai orang lain; Menghargai lingkungan dan keindahan; serta Menghargai kelompok dan komunitas. Pesanpesan moral seperti kedisiplinan; ketaatan terhadap waktu; kejujuran; menghormati orang tua; budaya malu; kerja keras; dll diberikan dan diajarkan setiap hari, alih-alih soal matematika yang rumit. Prioritas pada pembangunan karakter inilah yang mendorong kemajuan Jepang dalam peta kekuatan internasional hingga hari ini menjadi salah satu negara maju di dunia.
Berkaca dari keberhasilan Jepang, pembangunan dan pendidikan karakter adalah modal utama yang harus dimiliki oleh setiap bangsa jika ingin maju dan berkembang. Persoalan Bangsa Indonesia hari ini bukan kekurangan orang-orang pintar, tapi kita kekurangan orang-orang yang berintegritas; pribadi yang jujur dalam berpikir dan bertingkah laku.