Menjelang Ramadhan, Presiden Jokowi memberi peringatan tegas ke kabinetnya. Khususnya, pada kementerian/lembaga non-kementerian yang mengurusi persoalan pangan. Dalam hal ini, Presiden menginstruksikan agar harga daging sapi dapat distabilkan di level Rp 80 ribu/kg. Memang menjelang Ramadhan dan Lebaran, adaseasonal effect yang membuat harga daging sapi meroket tinggi, hingga bisa mencapai Rp 120 ribu/kg. Angka ini jauh di atas harga normal yang umumnya berkisar Rp 80 – 100 ribu/kg.
Kisruh harga daging sapi ini sebenarnya bukanlah hal baru. Fenomenanya terus saja berulang dari tahun ke tahun. Seolah-olah, kenaikan harga daging telah menjadi kepastian. Laporan Kementerian Pertanian mencerminkan hal ini. Pada 2009, harga rata-rata daging sapi di tahun itu masih berkisar Rp 52 ribu/kg. Akan tetapi, pada 2013, harganya sudah mencapai Rp 92 ribu/kg.Â
Padahal, jika mengacu pada data inflasi bahan pangan Indonesia yang sekitar 8 persen periode 2009-2013, harusnya harga rata-rata daging sapi pada 2013 adalah sekitar Rp 76 ribu/kg. Ada selisih harga yang cukup jauh antara harga ekspetasi dengan harga riilnya [harga rata-rata]. Pada saat-saat tertentu, seperti di bulan Ramadhan ini, harga daging sapi bisa melonjak lebih tinggi lagi, dengan kisaran 20-40 persen lebih mahal dari harga rata-ratanya.
Dari sisi fundamental ekonomi, kenaikan harga daging sapi yang terjadi pada musim-musim tertentu – seperti Ramadhan – sifatnya alamiah. Sebab, konsumsi daging di bulan ini biasanya memang meningkat. Akibatnya terjadi kenaikan permintaan yang mendorong kondisi excess demand terhadap daging sapi. Yang apabila tidak diantisipasi dengan ketersediaan suplai yang memadai, akan berdampak pada kenaikan harga. Dalam konteks ini, kenaikan harga menjadi konsekuensi yang wajar dan alamiah.
Jika persoalan kenaikan daging sapi ini semata-mata disebabkan oleh faktor fundamental di atas, penyelesaiannya bisa dilakukan dengan meningkatkan suplai daging di pasar. Membanjiri pasar dengan daging bisa jadi cara yang efektif untuk menurunkan harga. Bentuk antisipasi inilah yang sekarang dilakukan pemerintah.Â
Pemerintah, dalam hal ini, melonggarkan sejumlah kebijakan guna menambah jumlah pasokan daging sapi di pasar. Antara lain dengan mengadakan penambahan kuota impor, membolehkan impor daging sapi dari India, mengizinkan impor daging sapi beku secondary cut, serta melibatkan swasta dalam kegiatan importasi – sebelumnya ada aturan yang melarang swasta untuk ikut serta dalam impor komoditas.
Upaya melonggarkan kebijakan importasi ini memang masuk akal dan harus dilakukan. Sebab, pasokan daging domestik memang tak lagi mampu mencukupi kebutuhan konsumsi daging nasional. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, pada 2016, konsumsi daging per kapita masyarakat Indonesia adalah 2.61 kg. Dengan angka ini maka kebutuhan nasional daging sapi mencapai 674 ribu ton per tahun. Setara dengan 3.9 juta ton ekor sapi. Adapun produksi sapi lokal hanya sebesar 439 ribu ton per tahun, atau setara dengan 2.5 juta ekor sapi. Karena itu terdapat 235 ribu tonexcess demand yang mesti dipenuhi lewat impor.
Masalahnya, sampai sejauh ini, pelonggaran sejumlah aturan yang telah dilakukan itu nyatanya belum menunjukkan hasil yang optimal. Buktinya, harga pasar daging sapi di Bulan Juni 2016 ini masih terus berkisar di angka Rp 113 – 120 ribu/kg. Bahkan, di beberapa daerah, harganya didapati lebih tinggi. Di Bandung dan Jayapura, misalnya. Harga daging sapi di kedua kota itu bahkan telah melampaui angka Rp 130 ribu/kg. Coba bandingkan dengan harga daging di Australia dan Malaysia yang hanya sekitar Rp 50 ribu/kg. Menilik kondisi ini, patutlah kita pertanyakan efektifitas dari kebijakan pemerintah di atas. Sebab, harga tak juga dapat ditekan ke angka Rp 80 ribu/kg – sebagaimana keinginan pemerintah.
Jika dianalisis, penyebab tidak optimalnya kebijakan pemerintah adalah kurangnya perhatian terhadap aspek detail dari kebijakan itu. Misalnya, dalam hal pemberian izin impor ke BUMN/BUMD. Pemberian izin dilakukan tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu kapasitas dari BUMN/BUMD tersebut. Kapasitas yang dimaksud adalah, apakah BUMN/BUMD itu memiliki akses yang memadai terhadap jaringan eksportir di negara asal.Â
Ketiadaan akses ini mengakibatkan pelaksaan importasi daging sapi terganggu. Akhirnya, BUMN/BUMD itu memanfaatkan bantuan broker. Yang akibatnya, biaya (cost)dari harga daging sapi impor jadi lebih mahal dari Rp 80 ribu/kg. Jika sudah begini maka tujuan diadakannya impor daging sapi, yakni untuk menurunkan harga pasar daging di Indonesia, sulit untuk direalisasikan. Oleh karena harganya yang memang juga sudah tinggi sejak dari pemasok.
Sebagai contoh, PT Berdikari, BUMN yang diberi hak impor, tidak memiliki akses langsung ke eksportir daging yang ada di Australia. Akibatnya, butuh waktu satu bulan bagi mereka untuk mendatangkan daging impor. Padahal, normalnya hanya memakan waktu 10-14 hari. Daging sapi impor datang terlambat dari skema waktu yang telah ditetapkan. Yang seharusnya dijadwalkan tiba sebelum puasa, daging impor justru malah baru tiba di minggu kedua Juni.Â