Secara ideal, perkembangan ekonomi negara-negara di dunia merupakan sekuensi dari kondisi negara berpendapatan rendah – yang umumnya berbasis agrikultur – menuju negara berpendapatan tinggi – yang umumnya berbasis high tech industry and services.Hanya saja pada prakteknya, proses transisi – yakni, transformasi dari negara berpendapatan rendah menjadi berpendapatan tinggi – tidak mudah dilakukan.
Seringkali malah pada prosesnya, negara-negara tersebut terjebak dalam kondisi yang dinamakan dengan middle-income trap atau jebakan pendapatan menengah. Middle-income trapatau perangkap pendapatan menengah diasosiasikan dengan kegagalan suatu negara untuk naik level dari pendapatan rendah ke pendapatan tinggi.
Negara-negara yang mengalami middle- income trapakan terstagnansi pada level negara middle income. Umumnya, kondisi middle-income trap diawali terlebih dahulu dengan fase pertumbuhan ekonomi yang tinggi, untuk kemudian mulai melambat dan stagnan pada satu level pendapatan tertentu (Aiyar, et.al, 2013).
Secara kualitatif, fenomena middle income trapdapat dijelaskan sebagai berikut. Pada mulanya, perekonomian suatu negara berada pada tahap pendapatan yang rendah – terminologi ekonomi-politik untuk negara semacam ini adalah “negara berkembang”. Negara dalam tahapan ini dicirikan oleh kondisi masyarakatnya yang masih tradisional, terbelakang dan menghadapi persoalan poverty gap.
Akan tetapi, negara berpendapatan rendah memiliki keunggulan komparatif di pasar internasional dengan memproduksi barang-barang berbiaya rendah. Kelompok negara dengan kategori ini umumnya menggunakan teknologi yang diimpor dari luar. Pada saat perekonomian meningkat menjadi negara berpendapatan menengah, negara tersebut mendapatkan hasil produktivitas melalui realokasi tenaga kerja dari sektor agrikultur ke sektor industri manufaktur.
Perubahan ini ditandai dengan membesarnya porsi sektor manufaktur dan jasa terhadap total output dan pekerja. Ketika perekonomian masuk kategori pendapatan menengah, terjadi perubahan struktural dalam pasar tenaga kerja, level teknologi dan keunggulan komparatif. Pada pasar tenaga kerja terjadi perpindahan dari surplus pekerja menuju kekurangan tenaga kerja. Konsekuensinya, upah riil pun meningkat.
Bila kenaikan upah riil ini tidak disertai dengan level produktivitas pekerja yang meningkat, maka perekonomian akan kehilangan keunggulan komparatifnya – umumnya, pada tahap ini jenis industri yang dominan masih bersifat labor intensive. Dalam keadaan di atas, tidak mungkin lagi mengalihkan surplus tenaga kerja ke sektor industri karena biayanya yang membesar. Dampaknya, peranan sektor manufaktur terhadap perekonomian akan menurun. Perekonomian dalam kondisi ini akan mengalami middle-income trapatau perangkap pendapatan menengah (LPEM, 2015).
Van Tho (2013) di dalam jurnalnya, The Middle Income Trap: Issues for Members of ASEAN, mengklasifikasi ekonomi dunia ke dalam empat kelompok. Kelompok pertama terdiri dari negara-negara berpendapatan rendah yang masih digelayuti persoalan kemiskinan – atau poverty trap. Kelompok kedua terdiri dari negara-negara yang telah mencapai level pendapatan menengah selama puluhan tahun – bahkan dalam banyak kasus sudah selama 50 tahun – tapi kemudian menghadapi persoalan rendahnya tingkat pertumbuhan, bahkan zero growth.
Kelompok ketiga terdiri dari negara-negara yang baru saja mencapai atau mendekati level pendapatan menengah – China dan termasuk beberapa negara ASEAN termasuk ke dalam grup ini. Kelompok keempat terdiri dari negara-negara berpendapatan tinggi, seperti negara-negara OECD. Negara-negara yang berada dalam kelompok kedua, yang diistilahkan sebagai old middle-income countries, inilah yang dideskripsikan tengah menghadapi kondisi middle-income trap.
Untuk dapat menyimpulkan apakah suatu negara tengah mengalami jebakan pendapatan menengah, diperlukan adanya suatu ukuran. Dalam konteks ini, Felipe (2012) memberi batasan waktu yang jelas menyangkut berapa lama suatu negara harus berada dalam kelompok negara berpendapatan menengah untuk dapat dikategorikan sedang mengalami middle income trap.
Felipe (2012) membaginya menjadi dua jebakan (trap), yakni lower middle incomedan upper middle income trap. Jangka waktu agar suatu negara tidak dikategorikan sebagai negara yang mengalami lower middle income trap adalah 28 tahun. Sedangkan jangka waktu untuk suatu negara agar tidak dimasukkan ke dalam kelompok upper middle income trapadalah 14 tahun.