Indonesia adalah negara berbentuk kepulauan. Sebagai negara kepulauan, kondisi geografis Indonesia ditandai dengan banyaknya gugusan pulau yang jumlahnya mencapai lebih dari 17 ribu pulau (baik besar maupun kecil). Selain itu, ciri lain yang melekat dari negara kepulauan Indonesia adalah luas perairan lautnya lebih besar daripada daratan. Luas perairan laut Indonesia mencapai 5.8 juta km2, yang terdiri dari perairan kepulauan dan teritorial seluas 3.1 juta km2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2.7 juta km2.Â
Jika dikomparasi dengan luas daratan, luas perairan laut Indonesia mencapai 75 persen dari keseluruhan wilayahnya. Panjang garis pantai Indonesia diperkirakan mencapai 81 ribu km. Segala konfigurasi ini menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar dengan panjang garis terpanjang di dunia. Â Â Â
Secara ringkas, lansekap keindonesiaan di atas agaknya cukup menggambarkan betapa besar sesungguhnya potensi sumberdaya kelautan yang dimiliki oleh Indonesia, baik itu sumberdaya laut yang bersifat terbaharukan maupun yang tidak. Selain sumberdaya laut tradisional seperti ikan, rumput laut, terumbu karang, hutan mangrove, minyak bumi dan gas, mineral, bahan tambang dan galian, sejatinya laut juga memiliki banyak sumberdaya lain yang dapat dioptimalisasi.Â
Di tengah ancaman kelangkaan energi seperti saat ini, misalnya, laut dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif berkekuatan masif. Energi berbasis laut dapat dihasilkan dari pemanfaatan pasang surut, angin, gelombang laut, ataupun ocean thermal energy conversion (OTEC). Pengembangan energi berbasis laut sebagai salah satu sumber energi alternatif nasional di masa depan terasa semakin penting. Karena dengan asumsi konsumsi energi yang konstan seperti sekarang ini, diperkirakan cadangan minyak bumi, yang adalah sumber energi primer Indonesia paling dominan dalam bauran energi nasional dengan tingkat utilisasi mencapai 48 persen, akan segera kehilangan daya dukungnya.Â
Produksi minyak nasional yang terus menurun mengindikasikan bahwa cadangan minyak nasional terus tergerus jumlahnya. Diperkirakan total cadangan minyak Indonesia saat ini hanya tersisa sebesar 3.7 miliar barel, yang dengan total produksi minyak sekitar 900 ribu barel per hari, cadangan minyak nasional terancam habis (Pradnyana, 2014). Aspek penting lain terkait laut yang tidak dapat diabaikan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat (khususnya yang terkait dengan sektor kelautan) adalah pengembangan sektor jasa pariwisata kelautan (bahari).Â
Sektor pariwisata laut, jika diberdayakan secara optimal, akan menjadi alat pembangunan kesejahteraan yang efektif mengingat besarnya tenaga kerja yang terlibat di dalamnya. Mengingat potensinya yang besar, sektor kelautan harusnya dapat menjadi aset pembangunan yang strategis bagi ekonomi Indonesia. Â Â
Menyadari hal ini, pemerintahan Presiden Joko Widodo memasukkan pembangunan sektor kelautan, lewat visi kemaritiman, sebagai salah satu agenda utama pemerintahan. Secara kelembagaan, visi kemaritiman diperkuat dengan dibentuknya kementerian selevel koordinator, yakni Kementeriaan Koordinator Bidang Kemaritiman (Kemenko Maritim).Â
Diharapkan dengan dibentuknya Kemenko Maritim, koordinasi pembangunan sektor maritim (kelautan) yang melibatkan lintas kementerian dapat terjalin dengan baik. Dengan adanya Kemenko Maritim, diharapkan persoalan kebuntuan komunikasi yang acapkali berujung pada miskoordinasi antarkementerian (yang selama ini masih menjadi persoalan klasik) di dalam pelaksanaan program pembangunan nasional dapat tereduksi. Â
Sejatinya, visi kemaritiman yang diusung oleh pemerintah ini patut disambut secara positif. Sebab, secara filosofis, visi kemaritiman ini mengubah paradigma pembangunan nasional Indonesia yang sudah terlalu lama bias darat. Selama ini, sumberdaya nasional lebih banyak ditujukan pada pembangunan darat daripada laut. Sektor kelautan ditempatkan pada posisi periphery atau pinggiran dalam pembangunan ekonomi nasional (Kusumastanto, 2002). Yang menjadi pusat pembangunan adalah darat.Â
Padahal, pembangunan daratan saat ini sudah tidak lagi efesien baik secara ekonomis maupun sosial. Upaya pembebasan lahan darat sekarang ini, misalnya, semakin sulit dan mahal, bahkan seringkali memunculkan konflik horizontal ataupun vertikal, yang menyebabkan terhambatnya pelaksanaan pembangunan, atau dalam batas tertentu, berdampak pada perenggangan derajat kohesi sosial masyarakat. Â
Pada akhirnya, alokasi sumberdaya produktif yang bias darat ini menjadi faktor yang menyebabkan peran strategis sektor kelautan sebagai penopang pembangunan ekonomi nasional belum lagi berjalan optimal. Ini tercermin dari sumbangan sektor kelautan terhadap PDB Indonesia yang sejak tahun 2001-2013 masih terus berkisar di angka 20-22 persen.Â