Mohon tunggu...
Keiko Hubbansyah
Keiko Hubbansyah Mohon Tunggu... -

Mahasiswa S2 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Macet, Macet dan Macet

28 Juni 2016   12:48 Diperbarui: 29 Juni 2016   16:12 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi warga Jakarta, ibukota negara, persoalan kemacetan sudah terasa sangat biasa. Dihadapi di dalam keseharian, sama halnya seperti makan dan tidur. Waktu yang dihabiskan ketika terjerat kemacetan parah bisa jadi lebih lama ketimbang waktu tidur. Di hari-hari kerja, yakni Senin-Jumat, mungkin sekitar 50 persen waktu produktif pekerja ibukota dihabiskan dijalan. “kalau gak tahan macet, jangan tinggal di Jakarta”,kalimat yang menyiratkan, macet dan Jakarta ibarat dua sisi dalam satu koin yang sama. Hingga kini jika kita tanyakan, “apa masalah utama Jakarta?”, penulis yakin 99 persen warga ibukota, akan serentak seirama menjawab, “Macet!”.

Seiring berjalannya waktu, macet ditenggarai bukan lagi masalah warga ibukota saja. Pasalnya, gejala kemacetan, perlahan namun pasti mulai terjadi di daerah-daerah lain. Kemacetan total kini dapat dengan mudah dijumpai di lalu lintas kota-kota besar Indonesia, seperti Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang, Makassar dan Bali. Memang untuk beberapa daerah tingkat kepadatannya belum separah dan sekronis Jakarta. Akan tetapi, bila tidak dibenahi secara serius, ancaman stagnansi lalu-lintas di daerah secara pasti ‘mengejar Jakarta’.

Memang benar bahwa, dalam konteks tertentu, kondisi kemacetan lalu-lintas membawa kabar baik. Menjadi indikasi atas meningkatnya pendapatan masyarakat. Kenaikan pendapatan inilah yang kemudian memicu masyarakat selaku konsumen untuk bertindak konsumtif. Yang salah satunya, dengan membeli kendaraan atau alat transportasi pribadi.

Sekalipun begitu, kemacetan juga membawa kabar buruk. Ia menyebabkan inefesiensi. Bayangkan saja jarak yang harusnya dapat ditempuh dalam beberapa menit, karena macet waktunya bisa molor hingga satu sampai dua jam perjalanan. Pengalaman ini pasti pernah kita rasakan. Penulis sendiri pernah mengalami, yakni menghabiskan waktu sekitar satu setengah jam untuk jarak yang sebenarnya bisa ditempuh hanya dalam 15 menit. Itu membuat inefesiensi meningkat. 

Selain inefesiensi dari sisi waktu tempuh, inefesinsi juga terjadi dalam bentuk borosnya penggunaan bahan bakar, meningkatnya biaya transportasi dan harga barang. Dampak lain yang juga criticaladalah terkait kesehatan masyarakat yang berpotensi terganggu mengingat masifnya dampak polusi udara dan kebisingan yang ditimbulkannya.

Tidak berhenti pada aspek teknis dan medis, kemacetan juga berdampak kultural. Seringkali, ketika melintas di jalan, kita melihat terjadinya konflik antarpengendara karena saling berebut lajur. Padatnya lalu-lintas meningkatkan kemungkinan timbulnya gesekan itu. Akibatnya, di jalanan yang padat, hubungan antaranggota masyarakat tak lagi harmonis. Penulis sendiri pernah melihat langsung, konflik antarpengguna jalan tol bahkan melibatkan senjata tajam – yakni, pedang samurai. 

Kemacetan pada akhirnya membuat banyak pengendara jadi abai terhadap aturan. Pengabaian hal-hal kecil, seperti melanggar lampu merah karena diburu waktu kerja, dan sikap “masa bodoh orang lain, yang penting gue”, yang dilatih tiap hari di jalanan, dalam jangka panjang, bisa bereskalasi dan mewujud pada diabaikannya aturan-aturan yang sifatnya lebih besar dan mendasar. Setelah dipikir-pikir, kemacetan didapati lebih banyak membawa kabar buruk daripada karbar baik. Tak heran jika kemudian banyak wacana yang berkembang, apakah itu yang berasal dari pemerintah, ahli tata kota, maupun masyarakat biasa, tentang cara bagaimana agar persoalan kemacetan ini segera dituntaskan.

Volume Capacity Ratio (VCR)     

Dalam membahas kemacetan, salah satu konsep penting yang patut diperhatikan adalah volume capacity ratio atau VCR. Konsep ini, adalah ukuran atas kepadatan lalu-lintas, yang membandingkan antara volume kendaraan yang melintas dengan kapasitas ruas jalan. Hasilnya didapati kalau nilai VCR di kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya dan Bandung, lebih tinggi dari 0.8, yang artinya kondisi lalu lintasnya sangat padat. Ukuran normal biasanya berkisar 0.5 sampai 0.7.

Tingginya angka VCR  ini, sebagaimana yang disebut oleh Kemenhub, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh membumbungnya laju pertumbuhan kendaraan bermotor di tiap daerah yang ada di Indonesia. Sementara, panjang jalan, meski bertambah, pertumbuhannya tidak proporsional terhadap laju pertumbuhan kendaraan yang masif. 

Penambahan satu faktor secara signifikan (kendaraan), yang tak diikuti oleh penambahan faktor lainnya secara proporsional (panjang ruas jalan), berdasar prinsipthe law of  diminishing return, akan berdampak pada turunnya daya dukung satu faktor – yakni, jalan – yang jumlahnya cenderung tetap terhadap faktor lain – yakni, kendaraan. Maka, jika sudah begini, kemacetan dan padatnya lalu-lintas adalah konsekuensi wajar yang tak terhindarkan.

Pertambahan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia terlihat sangat signifikan. Itu terjadi di semua jenis kendaraan, dari mulai sepeda motor, mobil penumpang, bus sampai truk. Mobil penumpang, misalnya, yang pada awalnya berjumlah hanya 6 juta di tahun 2006, dalam kurun lima tahun bertambah menjadi 9.5 juta. Yang paling fenomenal adalah jenis kendaraan sepeda motor. 

Jumlahnya melonjak masif lebih dari 100 persen dari 32. 5 juta pada 2006, menjadi 68.8 juta pada 2011. Lonjakan jumlah kendaraan ini salah satunya dikarenakan kemudahan akses kredit untuk kendaraan dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap ketersediaan angkutan umum yang aman dan nyaman. Sementara, penambahan ruas jalan, meski meningkat, namun belumlah cukup dan proporsional untuk mengimbanginya. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), total panjang jalan di Indonesia tahun 2006, adalah 393.794 km. Tahun 2012, angkanya naik menjadi 504.184 km, atau meningkat sebanyak 110.390 km. 

Ketidakcukupan penambahan panjang jalan terhadap kendaraan inilah yang berakibat pada meningkatnya kepadatan lalu-lintas, khususnya di kota-kota besar di Indonesia. Kota Surabaya berdasarkan Data yang dirilis oleh Dinas Pendapatan Daerah Jatim menunjukkan, selama tahun 2012, kenaikan jumlah kendaraan didapati sebesar 7.12 persen, padahal penambahan panjang jalan di kota itu tercatat hanya 0,01 persen per tahun. Kasus yang sama juga tengah berlangsung di Kota Medan, dimana berdasarkan data Polda, tiap bulannya ada penambahan sekitar 25.000 kendaraan baru. Jumlah kendaraan pada 2012 di kota ini mencapai 5.24 juta unit, atau naik 1.2 juta unit dalam waktu tiga tahun. 

Padahal, menurut Direktur Lalu Lintas Polda Sumut,“penambahan panjang dan lebar jalan di Kota Medan tidak signifikan”. Beberapa kali pulang ke kampung halaman, penulis sudah merasakan sendiri bagaimana gejala kemacetan perlahan tapi pasti merayap dan “menggerogoti” jalanan kota Medan. Padahal, seingat penulis, fakta ini belumlah terjadi 3-4 tahun yang lalu.

Solusi?                         

Tulisan ini tidak berpretensi membahas solusi, karena topik yang sama sudah pun dibicarakan dan dibahas secara luas oleh banyak pihak. Pembahasan di kolom koran,talkshow di televisi, diskusi publik di sosial media, penulisan buku, dan lainnya, telah masif dilakukan. Beragam solusi dihadirkan. Darimulai pembatasan usia kendaraan, menaikkan harga bahan bakar, penambahan ruas jalan, pembenahan transportasi publik, penetapan pajak progresif dan masih banyak lagi. 

Solusi tersebut dapat kita nilai cukup baik. Pembahasannya tidak melulu hanya menyasar dan menyelesaikan masalah secara instan, seperti menaikkan harga bahan bakar dengan menghapus subsidi, tapi juga sudah mempertimbangkan penyelesaia jangka panjang, seperti penyediaan transportasi publik yang aman dan nyaman.

Persoalannya kemudian, kenapa masalah kemacetan (meski solusi yang ditawarkan amat beragam dan cukup baik ), tak kunjung terurai? Mudah untuk menjawabnya. Adalah persoalan klasik bangsa ini, bahwa kita cukup ahli sebagai perencana, tapi tidak demikian sebagai pelaksana atau eksekutor. Rencana yang baik, tidak akan pernah menjadi jawaban dan mampu menyelesaikan masalah, jika tidak diwujudnyatakan. Rencana menutut untuk dieksekusi dan diawasi. 

Dalam satu kalimat singkat, tegas dikatakan, “good execution means the difference between succes and failure”. Perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan, yang juga melibatkan tindak antisipatif – jika rencana tak berjalan seperti yang diharapkan, adalah satu-kesatuan, suatu koherensi yang tak bisa diparsialkan.

Lalu, bagaimana dengan serangkaian solusi kemacetan di atas? Penulis, hanya akan menyampaikan satu fakta yang sifatnya paradoksal, yakni kebijakan mobil murah. Di tengah upaya mengurangi kemacetan yang makin “mengada”, dan tingginya konsumsi bahan bakar, yang bahkan senantiasa merisaukan dan menjadi keluhan berbagai kalangan, utamanya pengambil kebijakan, pemerintah malah menetapkan satu kebijakan yang dinilai banyak pihak cukup kontroversial (termasuk ditentang oleh Anggota Dewan, yang biasanya seringkali menjadi pusat pusaran kontroversi di negeri ini). 

Bukti bahwa kepentingan publik telah dibajak rasionalitas ekonomik kartel? Penulis tidak tahu, yang pasti apa mau dikata, kebijakan itu kini telah mewujudnyata, ya mobil murah itu kini sudah bisa kita lihat berlalu-lalang di jalanan. Dikatakan dalam satu liputan di media massa, oleh salah satu produsen mobilnya, bahwa tingkat permintaan mobil murah ini sangatlah tinggi, bahkan calon pembeli terlebih dulu harus memesan (inden) dikarenakan kehabisan stok, lamanya periode tunggu ke penyerahan kuncinya bahkan bisa memakan waktu berbulan, bahkan menahun, mengingat panjangnya antrean pembeli. Apakah tindakan ini bisa disebut wujud keseriusan untuk mengurai kemacetan? Pembacalah yang menentukan..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun