Oleh: Kefas Prajna Christiawan
Apakah rekan-rekan pernah berpikir mengenai bagaimana kemiskinan diukur, lalu standar tersebut dapat menjustifikasi seseorang memang hidup secara layak? Atau lebih praktikalnya, apakah orang yang hidup di atas garis kemiskinan yang ditetapkan sudah merasa sejahtera? Jawabanya adalah belum tentu atau bahkan tidak sejahtera. Maka, munculah pertanyaan puncak, apakah saya miskin atau tidak?Â
Artikel ini saya tulis dengan dua tujuan. Pertama adalah menjelaskan konsep-konsep kemiskinan yang sangat penting ketika kita membahas isu kemiskinan. Kedua adalah menjelaskan kondisi kemiskinan di Indonesia secara pengukuran dimana hal ini layak diperdebatkan yang sering kali membuat publik dikejutkan atau bingung mengenai standarisasi kemiskinan di Indonesia.Â
Apa Itu Kemiskinan?
Kita mulai bahasan kali ini dengan pengertian kemiskinan, yaitu kondisi ketika seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka (sandang, pangan, dan papan), serta hak-hak (politik, hidup layak, demokrasi, dan lain sebagainya) mereka. Todaro dan Smith (2011) menjelaskan bahwa ekonom sering kali menggunakan pengukuran "kemiskinan absolut" yang berarti seseorang tidak mendapatkan kelayakan sandang, pangan, tempat tinggal, serta akses pada pelayanan publik pada standar minimum yang ditentukan. Maka, dapat dikatakan mereka yang dikategorikan miskin absolut ketika tidak dapat memenuhi standar minimum yang sudah ditentukan.Â
Apabila dianalogikan secara sederhana, Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) ujian di sekolah sama halnya dengan kemiskinan absolut. Peserta ujian yang mendapatkan nilai 70 dengan KKM 75, maka akan dianggap tidak tuntas. Namun, ketuntasan atau nilai 75 bukanlah target ideal semua orang bukan. Misal, peserta ujian dengan nilai 95 belum tentu merasa puas dengan pencapaian mereka dikarenakan standar kepuasan adalah 98. Namun, ada juga peserta ujian yang sudah merasa cukup dengan nilai 80 karena ia tahu bahwa ada banyak keterbatasan dalam dirinya pada saat mengerjakan soal ujian tersebut. Lalu, ada juga peserta ujian yang tidak memperdulikan standar KKM, tetapi asalkan ia memiliki nilai paling tidak lebih tinggi 5 poin daripada nilai rata-rata kelas, maka ia sudah puas dengan capainya. Misal, rata-rata kelas adalah 50 poin dengan KKM 75 poin, lalu ia mendapatkan nilai 60. Maka, ia memiliki nilai lebih tinggi 10 poin daripada rata-rata kelas. Maka, ia sudah merasa puas. Â Sama hal nya, misal rata-rata kelas adalah 95 poin, tetapi ia mendapatkan nilai 90. Maka, ia tidak akan merasa puas dengan hal tersebut. Kondisi terakhir adalah ketika peserta ujian tidak mendasari kepuasan mereka berdasarkan nilai secara angka, tetapi mereka merasa puas ketika bisa menjawab salah satu soal yang sangat susah dan teman-temanya tidak bisa. Analogi mengenai kepuasan akan nilai ujian menjadi pemahaman sederhana bagaimana konsep-konsep kemiskinan berlaku.Â
Maka, dalam mengartikan kemiskinan kita perlu melihat konteks atau konsep mana yang digunakan dalam mengklasifikasikan subjek tersebut tergolong atau tidak tergolong miskin. Perbedaan konsep atau pengukuran ini dapat menjadi perdebatan ketika kita berbicara mengenai kemiskinan, beberapa waktu lalu saya melihat salah satu Staf Presiden Republik Indonesia (RI) yang menyatakan bahwa masyarakat dengan penghasilan lebih dari 506 ribu rupiah per bulan tidak dinyatakan miskin. Lantas berbagai komentar negatif dan lucu dilontarkan menanggapi statement tersebut. Ada juga yang menanyakan bagaimana hal tersebut diukur dan mengapa sangat rendah standarnya. Ini menjadi motivasi tambahan bagi saya untuk berbagi mengenai apa yang saya pahami terkait konsep kemiskinan yang tentunya sumber yang saya pelajari dapat dipertanggungjawabkan atau berdasar.
Sejarah Singkat Mengenai Pengukuran Kemiskinan
Setelah perang dunia 2 kerusakan parah di antara banyak negara akibat perang menyadarkan bahwa pembangunan manusia menjadi hal yang sangat penting. Maka, selesainya perang dunia 2 menjadi katalis semakin diperhatikannya aspek ekonomi pembangunan secara global. Pada awal 1900-an, standar kemiskinan keluarga didasari dari segi makanan dan non-makanan, tetapi tidak mengukur secara absolut dan akurat. Lalu, pada tahun 1960-an, standar kemiskinan perkembang menggunakan Growth National Product (GNP) per kapita. GNP adalah nilai barang dan jasa yang dapat dihasilkan oleh warga negara tertentu dimanapun lokasi produksinya, hal ini berbeda dengan Growth Domestic Product (GDP). Pada 1970-an, pengukuran berkembang dengan pendekatan kemiskinan relatif ketertinggalan (relative deprivation) dan diperluas menjadi kebutuhan dasar (basic needs approach). Pada 1980-an, pengukuran berkembang dengan menganggap orang miskin adalah orang yang tidak berdaya, terisolasi, dan rentan. Selain itu, Sen (1999) menjelaskan bahwa pembangunan adalah proses memberikan kebebasan yang dapat dinikmati oleh masyarakat, maka orang yang tidak miskin ketika mereka memiliki lebih banyak pilihan dalam hidup. Pada 1990-an, World Bank dan United Nation Development Programme (UNDP) mengembangkan konsep kemiskinan menjadi "well being concept" dimana terdapat unsur subjektif dalam menafsirkan kemiskinan. Lalu, tercipta juga human development index (HDI) atau indeks pembangunan manusia (IPM), serta kemiskinan adalah mereka yang terkecualikan atau social exclusion. Maka, pada 2000-an terdapat Millenium Development Goals (MDGs) dan Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai upaya dan komitmen global menyejahterkaan masyarakat luas.Â
Konsep-Konsep KemiskinanÂ