Bulan Ramadhan adalah bulan suci penuh berkah yang senantiasa dinanti oleh segenap umat Islam. Dalam bulan Ramadhan, setiap perbuatan baik dilipat gandakan pahalanya. Selain itu peluang berbuat baik terbuka lebar, sebab setan dan bala tentaranya tak berdaya dalam belenggu selama bulan itu. Maka saat Ramadhan tiba, sambutan gegap gempita umat Islam menyeruak. Ibarat berjumpa dengan sesuatu yang telah lama ditunggu-tunggu. Merekapun menyiapkan diri untuk beramal sebanyak-banyaknya. Dan selama bulan Ramadhan itu, tradisi yang terus lestari dan begitu kentara salah satunya adalah “tadarus”. Sebuah tradisi memperbanyak membaca Al-Quran secara bergilir dalam halaqoh yang ada di masjid-masjid atau surau-surau dari pelosok desa sampai kota.
Entah dari mana asalnya, masyarakat sudah kadung mengistilahkannya tradisi tersebut sebagai “tadarus”. Mungkin istilah ini bermula dari makna bahasa arab tersebut yang menggambarkan prakteknya, yakni mempelajari Al-Quran secara berjamaah. Namun, agaknya dari utak-atik segi bahasa itu, kurang gatuk dengan prakteknya yang sekarang. Sepertinya dalam praktek tadarus yang ada hanya sekadar membaca Al-Quran secara bergilir dalam satu halaqoh, tanpa telaah lebih jauh tentang kandungannya. Memang mestinya istilah mempelajari lebih dari sekadar membaca. Namun, betapapun demikian, istilah ini selamanya tidak akan bisa diubah atau diganti dengan istilah lain yang dirasa lebih cocok.
Tradisi dengan istilah tadarus ini mungkin hanya ada di Indonesia. Mayoritas orang jawa yang memegang tradisi ini dengan kekhasan lahjah mereka, istilah ini lebih akrab disebut sebagai “darusan”. Terlepas dari pemaknaan secara bahasa, membincang tradisi ini memang sangat menarik, sebab banyak hikmah yang terkandung di dalamnya. Satu dari sekian hikmah itu adalah; menjaga nilai solidaritas dalam masyarakat, sebab tanpa instruksi dan tanpa komanda apa-apa banyak masyarakat yang meski tidak turut dalam tadarus tersebut sangat bersemangat menyuguhkan makanan-makanan ringan untuk peserta tadarus itu. Dengan keikhlasan pemberian itu tidak terasa nilai solidaritas dalam masyarakat terjaga.
Selama bulan Ramadhan tradisi ini terus dilaksanakan sampai larut malam. Saking kuatnya terkadang ada yang betah sampai menjelang sahur, mereka baru menyudahi “darusan” itu. Jika ditelusuri lebih lanjut, ternyata tradisi ini juga menjadi syiar Islam yang sangat ampuh. Dengan lantunan ayat-ayat suci Al-Quran itu suasana di sekitar menjadi harmonis. Dan sepanjang bulan suci ini tindak-tindak penuh kerendah hatian terpancar dari penerimaan mereka terhadap tradisi yang konon diusung oleh santri-santri walisongo ini.
Tradisi ini diikuti oleh anak-anak kecil sampai orang-orang yang telah berusia senja. Mungkin saja, sebab mumpung bulan suci, maka banyak orang berlomba-lomba beramal sholih. Apalagi membaca Al-Quran yang satu hurufnya saja dinilai ganjaran, tentu banyak yang berminat. Oleh karena itu tidak aneh jika tradisi ini merupakan amalan andalan dalam bulan puasa.
Namun, di balik itu, ada saja yang menghalang-halangi orang berbuat baik. Yang mencemooh tradisi itu juga tidak sedikit. Ada yang merasa terganggu dengan lantunan ayat-ayat suci Al-Quran sampai larut malam. Mereka mengatakan tradisi ini terlalu berlebihan, masak demi amal sunnah harus rela berbuat semena-mena sampai mengganggu tetangga. Memang sepertinya ada benarnya juga pernyataan itu. Kita butuh introspeksi diri; sejauh ini tradisi dalam masyarakat yang sudah mendarah daging apakah masih diterima begitu saja -meski kehilangan substansinya-, sebab ada yang mengatakan bahwa melawan budaya adalah petaka? Rasulullah SAW dalam satu kesempatan pernah bersabda bahwa menganggu tetangga yang tengah istirahat itu tidak dibenarkan meski itu dengan membaca Al-Quran. Logikanya, apalagi jika mengganggu tetangga dengan selain itu, pasti lebih besar dosanya, lha wong yang disunnahkan saja tidak boleh ketika mengganggu menjadi dibenarkan.
Ada yang lebih penting untuk direnungkan dari sekadar membahas itu. Baik, masih seputar tadarus; mestinya dalam setiap tindak-tanduk umat muslim itu bisa terefleksikan dari tadarusnya. Nah, sekarang bagaimana kenyataannya? Banyak yang meski banyak membaca Al-Quran tapi masih saja banyak menggunjingkan orang, banyak yang meski banyak membaca Al-Quran tapi masih saja berbuat semena-mena terhadap yang lainnya, banyak yang meski banyak membaca Al-Quran tapi perilakunya tak sejujur kata-katanya. Sangat aneh jika perbuatan baik yang sangat disunnahkan namun menghasilkan dosa. Lho, bagaimana bisa? Waktunya sekarang kita muhasabah dengan bertadarus yang sebenar-benarnya, tidak hanya dengan pengeras suara membaca firman-firman Tuhan sampai larut malam melainkan dengan ketulusan hati belajar memahami firman-firman-Nya. Misalnya dalam ayat “innamal mu’minuna ikhwatun fa ashlihu baina akhowaikum la’allakum turhamun”. Penggalan ayat suci ini cukuplah kiranya jika difahami dengan seksama mampu mengharmoniskan hidup bermasyarakat meski terjadi silang pendapat mengenai suatu perkara. “Orang-orang mu’min adalah saudara, maka damaikanlah pertikaian di antara mereka agar engkau mendapat rahmat-Nya”. Dengan ini, semua bisa saling memahami dan saling memaafkan satu sama lain jika telah terlanjur luput.
“Tadarus” memang adalah tradisi yang sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia. Namun, pemaknaan yang secara serius tentangnya musti diluruskan. Bukan berarti upaya meluruskan ini menjadi penentang tradisi, melainkan justru menjadi upaya untuk menjaga eksistensi substansi dari tradisi ini. Dari sinilah pemaknaan yang benar akan mengukuhkan semboyan Indonesia “Bhinneka Tunggal Eka” dengan dasar negaranya “Pancasila”. Dan terbuktilah meski bukan negara Islam namun nilai-nilai keislaman melebur dan terejawentahkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang heterogen.
Maka, dalam momentum bulan puasa yang penuh berkah ini sudah saatnya kita merenungi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, termasuk tradisi yang ada dalam bulan suci itu. Shalat tarawih, tadarus, ta’jil “buber” dll, -yang hanya bergema saat bulan suci tiba- selayaknya kita tidak menyia-nyiakan kesempatan berharga hanya dengan euforia kegembiraan atas anugerah-Nya dalam bulan Ramadhan yang seakan-akan sangat memanjakan kita. Memang sudah menjadi watak kita sebagai manusia yang hanya mengidamkan yang enak-enak saja. Namun alangkah nistanya jika kita dengan kasih sayang-Nya justru menodai kasih sayang itu dengan tindak-tanduk semena-mena terhadap yang lainnya. Mungkin kita tidak boleh merasa lebih berhak dipandang oleh-Nya dibanding yang lainnya sebab kita telah menjalankan titahnya -berpuasa di bulan suci- sehingga layak mendapat penghormatan, melainkan justru dengan datangnya momen ini umat muslim harus membuktikan sejauh mana pemaknaan Islamnya, sejauh mana mampu menahan nafsu dan rayuan dunia. Itu semua bisa diambil dari pemaknaan tadarus yang serius. Yang jelas Tuhan mencintai hamba-hambanya yang senantiasa belajar memaknai setiap hal. Dan pada akhirnya usai menunaikan ibadah puasa nanti semoga kita bisa menyambut kemenangan melawan nafsu diri sendiri di hari nan fitri dengan hati yang suci. Taqabbalallahu minna waminkum wa ja’alana waiyyakum minal ‘aidin wal faizin. Mohon maaf lahir dan batin!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H