Mohon tunggu...
Abdul Hakim Abidin
Abdul Hakim Abidin Mohon Tunggu... -

BISMILLAH MA SYAALLAH TABARAKALLAH

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Blitar Berdebar

9 Februari 2012   05:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:52 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


*Kepada: Kupu-kupu yang terbang bebas

Baru kali ini aku sempatkan diri untuk menuliskan perjalanan yang sangat berkesan kemarin saat liburan panjang Pesantren. Sebenarnya, semula aku ingin menulis sejak akhir liburan, namun selalu saja ada yang menghalangi dan memaksaku untuk mengurungkan niat itu. Akhirnya, selalu terulur, dan baru sampai kali ini aku kembali mengingat bekas-bekas perjalanan yang sangat mengesankan. Akan aku tuliskan apa adanya, sesuai dengan yang tengah aku rasakan ketika itu. Banyak hal yang akan terangkai dalam tulisan ini, yang jelas sangat membekas dan mengesankan. Liputan sambil berpetualang menyelami eksotisme kota Blitar yang menawan. Satu hal yang sangat spesial yang nanti akan aku singgung di bagian akhir. Subhanallah, Blitar berdebar..., aku tak bisa menutupinya dan dengan tulisan inilah aku ingin ceritakan. Untukku dan untuknya yang pernah menitipkan tanda tanya yang tak perlu dijawab, namun hanya sebagai pembangkit semangat yang tengah meredup. Tahukah kau...?, ya..., aku tahu.

Seperti yang telah terencanakan, sejak sebelum akhirussannah tiba, kami segenap redaksi majalah Al-Fikrah berdiskusi banyak hal yang akan menjadi agenda setelah liburan. Dalam diskusi tersebut, segenap redaksi putra hadir dan sangat antusias mengikuti alur diskusi. Alhamdulillah lancar dan menghasilkan keputusan yang cukup menjanjikan dan semoga bisa terlaksanakan yaitu: “Al-Fikrah terbit setelah liburan seiring dengan Ramadhan tiba”. Di samping keputusan tersebut, kami memberikan kesempatan kepada Direktur Majalah “Ust. Ali Shodikin” untuk menyampaikan wejangan terhadap rekan-rekan redaksi baru yang terekrut dengan selektif beberapa hari sebelumnya. Beliau menuturkan kepada segenap redaksi agar senantiasa menjaga komitmen dan konsisten dalam menjalankan tugas.

***

Selang dua hari setelah pertemuan segenap redaksi putra, tepat hari sabtu tanggal 25 Juni 2011 agenda tahunan Pesantren “Haflah Akhirissannah” dihelat di halaman Pesantren putri yang terletak di pekarangan ndalem Agus Fakhrul Anam, putra sulung Romo Kyiai yang akrab di sapa “Gus Rul”. Baru kali ini agenda tahunan tersebut dilaksanakan di sana, biasanya agenda ini ditempatkan di halaman Pesantren putra. Serasa sepi, tak ada kegiatan apa-apa di Pesantren putra sebab meski saat itu adalah Haflah Akhirissannah, namun para santri dilarang keluar Pesantren dengan alasan apapun, kecuali setelah perhelatan Haflah Akhirissannah usai. Orang tua merekapun juga terpaksa harus menanti acara usai untuk mengunjungi sekaligus menjemput putra-putrinya. Mereka baru bisa keluar Pesantren dan beranjak pulang usai Haflah berakhir.

Dalam agenda besar itu, dua redaksi aku tugaskan untuk meliput jalan acara dan taushiyah Romo Kyiai sekaligus taushiyah para pembicara. Dengan berbekal kartu redaksi Al-Fikrah, keamanan Pesantren tak bisa melarang mereka untuk menuju tempat agenda itu. Alhamdulillah, mereka melaksanakan tugas dengan lancar. Satu target telah beres, selanjutnya adalah rencana liputan Pesantren di kota Blitar.

Sebagai Pimpinan redaksi, aku berhak menentukan siapa yang akan ditugaskan dalam liputan Pesantren di kota Blitar. Tapi, aku tidak serta merta menunjuk dengan kehendakku sendiri, melainkan melalui beberapa pertimbangan dengan redaksi seniorku. Keputusan telah diambil dan disepakati bersama, kami mengajak satu redaksi junior yang bernama pena “Vien”. Ia cukup cakap dalam melaksanakan tugas yang diamanatkan.

***

Semua peralatan dan segala keperluan dalam liputan Pesantren telah siap, kamipun beranjak berangkat ke Blitar pada hari Rabu 29 Juni 2011. Tiga reporter, aku, Ust. Sholihuddin selaku redaksi senior dan Vien seorang redaksi junior menuju stasiun semut Surabaya. Sesuai instruksi temanku yang dari Blitar melalui pesan singkat mobile, ia menganjurkan agar membeli tiket jurusan Malang-Blitar, akupun membeli tiga tiket untuk tiga orang. Sayangnya, tiket tersebut bertuliskan tanpa tempat duduk. Tapi dengan tenang dan santai kami tetap yakin akan mendapatkan tempat duduk, kami menduga tiket tersebut hanyalah manipulasi para pegawai dengan calo kereta belaka.

Hampir satu jam menanti kereta sambil menikmati sedikit hiburan musik jass kawakan diperon. Aku terbayang, betapa akan sangat mengesankan perjalanan liputan kali ini. Blitar, ya Blitar adalah yang selama ini terasa ada daya tarik tersendiri. Selang beberapa menit bunyi bel kereta yang menderu-deru membuyarkan lamunan bayanganku akan perjalanan tersebut. Eksotis, mistis, tanpa basa-basi, sesuai keterangan yang ada dalam tiket kami segera menuju gerbong 3. Tepat, di dalam masih banyak tempat duduk yang kosong. Dugaan kami benar, kami hanya korban akal-akalan pegawai kereta. Kamipun dengan leluasa memilih tempat duduk. Tiga orang duduk bersebelahan. Meski, panas dan penat menyengat, kami masih bisa menikmati perjalanan yang cukup lama –kami tak pernah menyangka- hampir 6 jam. Sepanjang perjalanan teman redaksi senior membuka dialog ringan seputar tema yang akan diangkat untuk edisi majalah usai liburan nanti. Berbagai argumen untuk mendukung tema yang saya usulkan senantiasa terpatahkan oleh sanggahannya. Sadar, rasanya memang usulku terkesan masih sangat lugu. “Ya, terlalu lebai judul seperti itu”, “Sudah pernah dibahas dulu...”, dan masih banyak sanggahan lainnya yang kadang-kadang mengusik karakterku, tapi tetap terkontrol karakterku tidak akan terbunuh. Aku beginilah, memang masih harus terus berbenah.

Dalam perjalanan yang memakan 6 jam, tak terasa, akhirnya kami sampai di stasiun wlingi. HPku bergetar, temanku dari Blitar yang akrab aku sapa Ahmada menelpon. Ia akan segera menyusul. Aku tak sabar ingin berjumpa, ingin kutumpahkan curhatku, tentang “Blitar”. Ah, sekali lagi terbayang seperti di stasiun Semut Surabaya. Selang beberapa saat, muncul sosok sederhana nan bersahaja khas santri dengan kopyah putih dari gerbong sebelah. “Ahmada...!” sapaku. Ia hanya membalas dengan senyum kecil khas gayanya. “Akhirnya, sampai juga bro...”. “Ya..selamat datang di bumi Bung Karno”. “Lho ente kok ikut naik kereta...”. Tanyaku penasaran, sebab aku merasa sangat merepotkanya. “Kebetulan aku juga mau sowan ke Pesantrenku, ke Pak Kyiaiku..., kangen...sekalian ntar jadi penunjuk jalan ente gimana?”, jawabnya sambil nyengir. “OK”.

Tak ada satu jam setelah bertemu, kami tiba di stasiun Blitar. Aku tak sabar, ingin segera melaksankan tugas ini dan menyelesaikannya dengan baik. Setelah itu, akan kususuri eksotisme Blitar. Ya, sekali lagi “Blitar”, berdebar....

***

Kami menuju masjid jami’ kota Blitar di samping alun-alun yang dikelilingi pohon-pohon beringin raksasa. Aku menaksir mungkin umurnya telah puluhan tahun ditanam pada masa Bung Karno masih hidup lampau. Setibanya di masjid, kami sejenak melepas lelah. Siraman air wudlu membasuh peluh setelah seharian terperangkap dalam gerbong kereta. Semangat itu kembali terpompa, dan kami bertiga menjalankan shalat jamak ta’khir dhuhur dengan ashar, sementara Ahmada menjaga barang-barang kami.

Usai shalat, kami melanjutkan perjalanan menuju Pesantren yang masuk daftar liputan kami “Nurul Ulum”. Semoga sesuai nama Pesantren tersebut, kami akan tersinari cahaya ilmu jika kami memasuki Pesantren tersebut. “Sial...!”, kami tak menduga, ternyata lokasi Pesatren cukup jauh dari stasiun kereta Blitar. “Dasar”, geretuku tak menentu. Sebelum sampai di tempat tujuan kami harus sudah fit, (perut harus sudah terisi). Sambil menikmati pemandangan alun-alun yang megah dengan pohon beringin raksasa sepanjang jalan kami susuri, mencari warung makan. Dan sampailah kami di sudut alun-alun, melihat warung makan membuat perut kami semakin keroncongan. Kami memesan sesuai selera masing-masing. Aneh dan unik, kesan pertama saat penjual menawari beragam menu yang tersedia. Ada ampok, jaddah, dan lain-lain khas Blitar.

Adzan maghrib berkumandang mendayu-dayu, mengiringi makan sore kami. Kami sepakat sholat maghrib berjamaah di Masjid Pesantren. Kami melanjutkan perjalanan setelah membayar ongkos porsi makan yang telah kami lahap habis.

***

Hari semakin sore, sebentar lagi langkah kami akan sampai di Pesantren Nurul Ulum. Kami terperangah ternyata, dalam Pesantren tersebut yang diterangi cahaya lampu-lampu merkuri ada rumah-rumah kemah kecil di tengah lapangan. Kami penasaran, apa gerangan kegiatan ini. Tanpa banyak tanya, kami mengikuti Ahmada sebagai penunjuk jalan. Entah mau dibawa ke mana, kamipercaya sepenuhnya kepadanya. Memasuki pintu gerbang kedua di antara bangunan madrasah kami mendengar ada seseorang yang tengah ceramah atau mungkin lebih tepatnya melihat isi pidatonya adalah sedang memberi motivasi kepada para santri untuk bersungguh-sungguh menguasai bahasa asing “Inggris dan Arab”. Pidato yang disampaikan dengan sesekali bahasa Arab dan Indonesia itu memberikan kesan tersendiri, kami tidak salah memilih Pesantren yang berumur relatif muda ini untuk diliput. Kami semakin penasaran, bagaimana profil Pesantren.

Sapa ramah para santri, setelah selesai mengikuti cermah tadi menyambut kami di kamar mereka. Kami rada bingung apa yang hendak dikata ternyata tempat kami sejenak istirahat yang diinstruksikan Ahmada adalah tak lain kamar para santri. “Sial...”, dengan mimik dan gaya seadanya kami mencoba untuk sebisa mungkin tidak salah tingkah. Kami berkenalan dengan mereka dan sedikit menyinggung kehadiran kami di sana. Kami yakin mereka kaget melihat tamu tak diundang nyasar di kamarnya. Tapi, Alhamdulillah selang beberapa menit kemudian Ahmada datang dan membawa kami ke tempat peristirahatan.

Sehabis mengambil wudlu kami menunaikan shalat maghrib berjama’ah di Masjid Pesantren yang bernama Baitul ‘Ala, tentunya kami menjama’ sebab dari perjalanan yang telah kami tempuh kami masih mendapat kesempatan untuk menjama’ dan men-qoshor shalat kecuali maghrib. Usai shalat jama’ah kami bertemu dengan pengasuh Pensantren. Sapa ramah, dengan penampilan yang sangat bersahaja beliau mempersilahkan kami untuk sejenak istirahat di tempat yang telah tersedia.

Dalam peristirahatan tersebut, kami sekalian berbincang-bincang banyak dengan beliau. Beliau adalah pengasuh Pesantren putra namanya Ust. Syaiful Huda. Perbincangan mengalir sederhana dengan suasana yang penuh kekeluargaan. Kami sangat berterima kasih atas sambutan yang tak bisa kami balas kebaikanya. Kami semakin mantab untuk mengenal lebih dekat dengan Pesantren ini. Ada sesuatu yang tak bisa aku ceritakan, di penghujung tulisan nanti akan sedikit jelas mengapa aku di Blitar. Ust. Syaiful Huda menyampaikan profil singkat dan perkembangan Pesantren, “Sekarang Nurul Ulum telah membuka cabang di Lodoyo, dan membuka satu lembaga lagi yakni MTs”, terang beliau pada pertengahan perbincangan. Beliau menganjurkan untuk menemui pengasuh K. H Mu’adzin besok pagi, “Insya Allah ada kesempatan besok untuk menjumpai Kyiai Mu’adzin”, kata terakhir beliau menutup perbincangan malam itu.

Kami, sedikit banyak telah mengenal Pesantren ini. Pesantren yang dirilis gunamenjawab tantangan zaman, membentengi kaum pelajar dari pergaulan yang tak bisa terkontrol dengan efektif melainkan dengan alternatif Pesantren. Pesantren dibawah naungan Al-Ma’arif Blitar ini adalah sebegai benteng santri-santri yang nota bene adalah pelajar MAK kala itu. Seiring dengan pergolakan pendidikan negeri dan perkembanganya sekolah tersebut lebih akrab dikenal dengan MAMNU. Demikian sekilas yang bisa kami tangkap dari keterangan Ust. Syaiful Huda. Keterangan yang lebih detail telah kami catat di buku khusus liputan yang telah aku siapkan sehari sebelum beranjak ke Blitar.

Malam itu juga kami berempat, sepakat untuk berkunjung ke makam Bung Karno. Adalah Ahmada yang kami desak untuk menunjukkan jalan menujuperistirahatan Faounding Father Indonesia. Langkah kami seakan tak merasakan letih sedikitpun, kami semakin penasaran menyusuri kota Blitar di malam hari. Naif, ternyata sesampainya di depan pemakaman pintu gerbang menuju makam telah ditutup. Terpaksa kami harus kembali, membawa kekecewaan. Tapi kami kembali bersepakat untuk kembali sowan ke makam sang Proklamator ulung, esok hari usai mendapatkan data-data yang lebih detail mengenai Nurul Ulum.

Kami kembali ke Nurul Ulum, aku dan Ahmada memilih jalan kaki, sementara kedua teman redaksiku naik becak menuju ke Nurul Ulum. Sepanjang trotoar aku sampaikan banyak hal mengenai rencanaku, ia juga banyak menceritakan sesuatu yang semakin membuat aku terpesona dengan Blitar. Berdebar....”wait me in Blitar...!”,lirih makhluk kecil dalam dadaku. Aku dan Ahmada mampir di parkiran Bus sambil cari oleh-oleh. Misi utama; beli sandal. Ahmada membeli sandal khas Blitar; sandal ban. Unik, menarik, membuat aku jadi kepingin beli. Akhirnya setelah berputar-putar aku putuskan untuk membeli sandal ban juga. Untung aku dapat harga miring; Rp. 10.000, sementara Ahmada kena harga; Rp. 15.000. Puas..., kami kembali ke Pesantren. Tiba di Nurul Ulum sekitar pukul 22.00 WIB.

Mataku masih kuat berkeliaran mamandangi langit-langit tempat istirahat tersebut. Aku buka majalah edisi kemarin, aku baca kembali tulisan-tulisanku, sementara Ahmada telah tenggelam dalam tidur. Aku rasakan sesuatu yang entah bagaimana aku tak bisa menggambarkanya. Kembali seperti sebelumnya; Blitar berdebar.... Ku rebahkan tubuhku, ku pejamkan mataku mengarungi samudera mimpi. Bismillah Allhumma ahya wa amutu.

***

Hari kedua liputan, pagi, setelah sarapan dan berkemas-kemas aku dan redaksi juniorku menemui salah satu Pengasuh yang masyhur dengan istilah “Trimurti”. Bersama Ahmada kami menuju kantor pusat Pesantren dan kembali interview untuk kedua kalinya. Benar, tidak salah apa yang saya harapkan terjadi, cahaya ilmu terasa menyinari liputan kami. Di samping data-data seputar Pesantren dan perkembanganya kami dapatkan dari interview dengan K. H Zainuri M, M.Pd, kami juga mendapatkan banyak ilmu dan motivasi dari beliau. Jarrib wa lahhidz takun ‘arifan, salah satu motivasi beliau yang disampaikan kepada kami di sela-sela interview. Memang apapun yang tengah kita jalani membutuhkan proses sebelum menuju kematanganya, maka kita harus terus berusaha dan mencoba melakukanya, sesulit apapun itu.

Data-data yang kami butuhkan telah kami dapatkan, kami kira informasi yang kami dapatkan sudah cukup untuk kami jadikan sumber tulisan mengenai profil Pesantren Nurul Ulum ini. Kami berempat terpaksa mengurungkan bertemu dengan K. HMu’adzin, pengasuh utama Nurul Ulum sebab beliau bisa dijumpai usai dhuhur sementara waktu kami sangat terbatas, masih banyak hal yang harus kami selesaikan, salah satunya; sowan ke Bung Karno. Kami pamitan kepada pengasuh, Ust. Syaiful Huda, K. H Zainuri dan santri-santri, sebelum dhuhur.

Sesuai dengan kesepakatan bersama, kami akan kembali berziarah ke makam Bung Karno sebab tadi malam gagal. Sekali lagi, aku dan Ahmada memilih jalan kaki, sementara kedua teman redaksiku naik becak. Aku lebih enjoy jalan kaki, aku ingin merasakan arti sebuah perjuangan. Di samping itu aku juga bisa banyak mendapat cerita dari Ahmada. Aku bisa tahu lebih jauh tentang Blitar dan lebih dekat mengenalnya, membuat aku semakin jatuh hati. Tak terasa kami sampai di pesarean Bung Karno. Kami beristirahat sejenak dan sholat dhuhur berjamaah dalam musholla di samping makam. Mistis....

Usai shalat, kami berziarah. Seperti biasa dalam ritual ziarah aku membaca surat Yasin, aku hadiahkan untuk sang pahlawan Revolusi. Semangat nasionalis terasa membuncah, terima kasih Bung Karno, jasa-jasamu akan terkenang sepanjang masa.

Langkah selanjutnya, kami menuju perpustakaan dan museum Bung Karno. Sampai menjelang sore kami habiskan di perpustakaan dan museum. Kami takjub di museum yang penuh mistik, entah benar atau tidak, aku juga telah menyaksikanya, jantung Bung Karno dalam satu lukisan yang ada di museum itu terus menerus berdebar dengan mata menerawang garang. Aku yakin roh beliau masih hidup dengan jiwa nasionalis yang menggelora. Tapi, bagaimanapun beliau telah tiada di alam nyata. Alam yang berbeda. Berdebar....

Menjelang maghrib, kami beranjak menuju rumah Ahmada. Satu hal lagi yang menarik, kami naik bus “Bagong”, nama sebuah bus kota yang berbentuk seperti tokoh wayang Bagong, gendut tubuhnya. Dalam bus, kami lepaskan letih setelah seharian menyusuri jantung kota Blitar. Kumandang adzan memecah lamunanku, sementara Ahmada yang sedari tadi tidak makan baru aku tahu ternyata ia puasa, aku ingat hari itu adalah hari kamis, pantasan dia tidak berkenan makan ketika kami ajak. Ku sodorkan sebatang coklat yang aku bawa dari Gresik sebelum berangkat liputan kemarin. Senyum kecilnya menambahkan aku semakin merasa berhutang budi kepadanya. Terima kasih sahabatku.

***

Baru kali ini, dalam liputan kali ini aku dan teman-teman redaksi naik mobil tepak/pick up. Tepak atau pick up yang biasa digunakan untuk mengangkut sayuran kini mengangkut kami menuju rumah Ahmada. Untung, dari pada tidak ada kendaraan sama sekali. Setelah naik bus, kami bergegas menuju rumah Ahmada menggunakan pick up milik saudara Ahmada tersebut, Anwar namanya . Terpaan udara malam tak kan pernah menggoyahkan langkah ini. Senyum teman redaksi dan Ahmada menghangatkan suasana malam yang dingin dengan terpaan angin, sepanjang jalan menuju rumah Ahmada.

Sesampai di rumah Ahmada kami istirahat sejenak terlebih dahulu. Kami telah niat jama’ ta’khir dalam perjalanan tadi, jadi kami lumayan tenang. Sapa ramah keluarganya, khususnya Ibunya, membuat hati kami tak henti bersyukur. Ternyata, masih banyak orang-orang baik di sekitar kita.

Kami tak habis pikir, hidangan makan malam telah tersediakan di meja tamu. Kami tak bisa menolak meski sebenarnya sore tadi kami telah makan. Kami takut menyinggung perasaan beliau. Terpaksa meski hanya sedikit kami harus mencicipinya. Dan, Alhamdulillah tak dinyana ternyata bukanya sedikit yang kami lahap tapi habis semua. Semoga berkah, jazahumullah.

Kembali istirahat di kamar yang disediakan oleh Ahmada. Malam semakin larut, perbincangan kami behenti, kami larut dalam tidur. Aku lupa kami belum shalat, aku terbangun dan segera membangunkan teman-teman redaksiku. Kami mengambil wudlu dan shalat berjama’ah, melepas lelah. Kembali terlarut dan tenggelam dalam tidur.

***

Pagi telah menyapa, shubuh telah tiba. Jama’ah bersama kami tunaikan munajat kehadirat-Nya, bersyukur atas anugerah-Nya. Target selanjutnya, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, dalam liputan di Blitar ini sesuai komitmen bersama bahwa kami akan sekalian juga meliput pesantren APIS atau yang akrab dikenal masyarakat sebagai Pesantren Gondang.

Semua peralatan, seperti biasanya kami check kembali. Kamera, record, buku catatan, pena dan pertanyaan-pertanyaan telah kami susun rapi dan siap untuk bertugas. Kami berangkat sehabis sarapan bersama. Sekali lagi liputan kali ini dengan tepak saudara Ahmada. Aku, Ahmada, redaksi juniorku dan satu orang teman saudara Ahmada yang turut mengantarkan kami menuju Pesantren Gondang bertempat di belakang, sementara cak Sholah, redaksi seniorku bertempat di depan samping kemudi. Fantastis, semangatku terpompa kembali meski harus naik tepak tapi tetap enjoy dan menikmati perjalanan tersebut. Tak lama, kami sampai di samping Pesantren. Kami langsung mencari kantor pusat Pesantren untuk mendapat informasi lebih jelas mengenai APIS. Dan, di Pesantren inipun aku temukan kembali sapa ramah kaum santri.

Atas instruksi pengurus yang ada kami bisa langsung menemui Pengasuh karena saat itu beliau ada di rumah. Tanpa banyak berbelit kami diantar menuju ndalem pengasuh. Sebelumnya kami silaturrahim kepada K. Mas’ud. Selanjutnya, atas anjuran Kyiai Mas’ud, agar lebih jauh mengenal Pesantren APIS kami diinstruksikan untuk menemui K.H Imam Suhrawardi. Kamipun diantarkan pengurus Pesantren menuju ndalem K.H Imam Suhrawardi. Sosok Kyiai yang sangat bersahaja dan supel demikianlah yang bisa kami gambarkan dari beliau. Beliau bercerita banyak mengenai APIS, mulai sejarah, perkembangannya, metode pendidikan dan berbagai hal lain yang berhubungan dengan Pesantren Gondang.

Mission success, selesai sudah tugas kami dalam liputan di Blitar ini. Rencananya, kedua teman redaksiku akan balik ke Gresik sehabis shalat Jumat. Sementara aku, aku telah menyampaikan sebelumnya, bahwa aku tidak ikut balik ke Gresik. Rencanaku, aku akan melanjutkan petualanganku dihari libur panjang ini ke rumah kakekku, di Tulung Agung.

Sesuai rencana, kedua teman redaksiku akan balik ke Gresik usai shalat jumat. Setelah selesai jumatan aku dan Anwar (kakaknya Ahmada) saja yang mengantarkan mereka ke stasiun wlingi. Setibanya di sana, mereka berpamitan, dan aku sampaikan terima kasih kepada mereka berdua yang telah menemaniku dalam tugas ini, semoga komitmen senantiasa terjaga. Kami berpisah, selamat jalan teman, hati-hati di jalan. Aku kembali ke rumah Ahmada.

***

Tinggal aku sendiri di Blitar ini. Tamu tak diundang dari Gresik yang sementara tinggal di Blitar. Hari itu tanggal 1 Juli 2011, dalam sunyi malam di dalam rumah Ahmada, ku goreskan pena, mengajak hatiku berbicara. Tapi, entah apa yang tengah aku rasakan aku tak bisa tenang seperti biasanya. Malam itu rasanya kegelisahan menyelimutiku. Aku sampaikan rencanaku kepada Ahmada. Sebenarnya ia telah aku beri tahu jauh hari sebelum aku menginjakkan kaki di Blitar. Aku tak terima ketika rencanaku selanjutnya akan terganjal dengan keadaan yang tak memungkinkan. Aku tanya, aku berontak, apapun yang terjadi, karena niat telah bulat, rencana itu harus jadi, titik. Ternyata, aku yang salah, sebenarnya bukan karena ia enggan tapi karena kondisi rencanaku yang tak memungkinkan, sebab saat itu diam-diam ia telah mendapat kabar bahwa kupu-kupu itu tidak bisa ditemui. Sibuk, ada acara, “reuni keluarga”. Bisa, tapi dua atau tiga hari lagi. Mendengarnya seakan langit-langit dan dinding-dinding kamar runtuh menimpaku. Terkulai lemas. Mission fail. Tidak.., ya Allah izinkan aku, gumamku dalam batin.

Saat itu, aku kembalikan niat bulatku, aku yakin pasti bisa, ada kesempatan, Tuhan mengizinkan. Aku minta Ahmada untuk kembali menghubungi. Ia tak berani, ia menyarankan agar aku yang bertanya. Baik, aku terima, aku beranikan diri. Dan,...deg, debar semakin berdebar, Blitar semakin berdebar. Aku telah menginjak bumi Bung Kano yang tegar dengan segala rintangan dalam mendirikan negara tercinta Indonesia. Aku juga harus tegar setegar beliau. Bismillah, dengan jujur aku sampaikan, aku akan ke sana. Kiranya diperkenankan. Besok pagi 2 juli 2011, tidak bisa ditawar dan diundur. Dan aku tahu ia akan tahu bahwa akulah yang akan ke sana. Ya, syukurku, Alhamdulillah, aku bisa ke sana, ia baik-baik saja.

Dengan segala apa yang menjadi prinsipku, aku harus menjaga idealismeku. Meski telah diperkenankan aku tidak akan lepas kontrol begitu saja. Aku ingin istikhoroh, baikkah...burukkah?. Allah, ampuni kerapuhan hamba ini. “Sebatas pertemanan..., tidak..., lebih dari itu..., tidak..., hanya sebatas pertemanan”, perdebatan dalam ruang hatiku terus bergulir. Aku putuskan, terserah engkau ya Allah, yang jelas selama ini rasa itu telah bersemayam dalam bilik kalbuku. Tapi apalah daya, semuanya ada dalam kuasa-Mu.

***

2 juli 2011, dingin air di pagi hari tidak akan bisa mengurungkan niatku. Istikhorohku Insya Allah baik. Maka, niatku dengan bismillahirrahmanirrahim, terjalinlah silaturrahim. Aku harus tiba pukul 09.00. Ya, saat itu aku harus tiba. Ia yang memintanya. Semuanya tersiapkan, tinggal berpamitan yang belum. Dan Alhamdulillah, akhirnya Ibu Ahmada telah datang dari pasar pukul 08.30. Sarapan telah selesai, tinggal berangkat. Aku, Ahmada dan motornya yang akan menjadi saksi nanti bahwa aku telah sampai dipekaranganya. Kupu-kupu, tunggu aku....

Jarum jam terus bergerak berputar, menit demi menit terlewati, jangan-jangan aku akan terlambat. Ternyata benar dugaanku, aku terlambat. Dalam tanya aku tenggelam, masihkah diperkenankan meski terlambat, janji telah terkhianati. Tapi aku yakin, ia akan menyadari. Ia akan baik-baik saja. Demikianlah ia yang aku kenal.

Dan..., tibalah kami di depan pintu gerbang taman kupu-kupu itu. Ia sambut dengan senyum yang merekah dari wajah yang kemarin juga pernah aku lihat tanpa penutup cadar hitamnya. Sore itu..., masih terkenang. Dan kali ini untuk kedua kalinya aku telah mengetahui rahasia dibalik cadar itu. Subhanallah kebetulankah ini, dalam rumah sederhanan itu aku pandangi dinding rumah yang berhiaskan kaligrafi asmaul husna persis seperti kaligrafi dinding rumahku. Gerangan apakah pertanda ini. Tuhan, anugerahkah...?, cobakah...?, halusinasikukah...?. Ampuni hamba-Mu yang dhoif ini, terbuai dalam mimpi. Aku...?, dalam kalbu terus bergejolak. Akankah semua ini berlanjut, sampai kapan...?, baiklah, kita lihat saja nanti...!.

Suci, 7 Agustus 2011/7 Ramadhan 1432

AFAERAZ

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun