HEMBUSAN NAFAS TERAKHIR
*Untuk keluargaku yang selalu tegar
Tepat setelah shalat ‘ashar aku dan kakakku bersama lek Nuri serta Ibu tercinta membawa Bapakku ke rumah sakit dengan mobil yang dikendarai oleh kakakku sendiri. Dalam perjalanan menuju rumah sakit itu aku terus berdoa semoga beliauakan baik-baik saja. Haripun semakin senja dan matahari hampir terbenam. Kami menuju rumah sakit Sosodiro Husada, rumah sakit umum Bojonegoro. Dan kami sampai di rumah sakit itu menjelang maghrib, lalu kami membawa beliau ke ruang inap sementara dengan bantuan petugas rumah sakit tersebut. Sejurus kemudian adzan maghrib berkumandang lantang memecah rasa gundah dan resahku.
Kakakku masih sibuk menanti keputusan tempat yang akan disediakan rumah sakit untuk Bapakku.Aku bergegas shalat maghrib di masjid rumah sakit dan Ibuku masih setia ada di samping Bapak untuk menemaninya di ruang inap sementara. Usai shalat maghrib aku kembali menuju ruang inap sementara itu untuk menggantikan Ibu menemani Bapak karena beliau belum shalat maghrib.
Sehabis shalat maghrib, Ibu kembali menemani Bapakku sambil menanti kepastian di mana ruang inap yang akan ditempatiBapak untuk mendapat perawatan yang intensif. Waktu terus berlalu, kami masih sabar menanti. Akhirnya menjelangadzan isya’ kami telah mendapat kepastian ruang inap. Kami segera bergegas menuju ruang itu. Hatiku agak sedikit lega meski masih bercampur rasa gundah, resah dan gelisah. Aku segera bergegas menuju IRD di paviliun 8 wijaya kusuma lantai dua, tempat tersebut termasuk berkelas VIP sebab di dalamnya terdapat AC dan kamar tidur yang memadai. Demi kesehatan Bapak, kakak rela memberikan apapun yang terbaik buat beliau.
Tak lama kemudian dokter dan para perawat datang. Mereka memeriksa sakit yang tengah diderita Bapakku dan memutuskan agar Bapak diinfus pada sebelah tangan kirinya sebab tangan kanan beliau telah bengkak karena cairan infus yang tidak bisa masuk ke dalam tubuh. Kali ini aku tahu bagaimana beliau diinfus di bagian tangan kirinya yang masih bisa bergerak dan tidak bengkak. Setelah itu, aku, Ibu dan Paman menemani beliau di ruang VIP Paviliun 8 Wijaya Kusuma itu.Sementara kakakku masih sibuk mengurusi askes untuk mendapatkan obat-obatan dengan biaya agak terjangkau di apotek RSUD itu.
Jarum jam terus berputar, menit demi menit kami masih setia menemani Bapak, akupun tak sempat mandi saking khawatirnya. Sejurus kemudian kakakku datang membawa obat-obatan sesuai resep dokter yang di dapat dari apotek RSUD. Setelah semuanya beres, mulai urusan askes, kamar, dll, tinggallah aku dan Ibuku sendiri yang menemani Bapak tercinta. Kakakku pulang ke rumah mengantarkan istrinya begitu juga paman-pamanku, mereka pulang ke rumah dan akan kembali ke RSUD Bojonegoro ini besok pagi. Kini tinggallah aku dan Ibuku yang menjaga beliau. Kami bergantian shalat isya’ karena ketika Ibu shalat akulah yang harus menjaga Bapak dan sebaliknya ketika aku shalat Ibulah yang menggantikanku menjaga beliau, tapi Alhamdulillah putra bibiku yang akrab aku panggil kak Fuad datang dan membantu kami menjaga Bapak sampai menjelang pagi dan ia pulang ke rumah sehabis shalat subuh.
***
Esok hari kakakku datang dengan membawakan sarapan, padahal sebenarnya aku telah sarapan nasi goreng tadi malam yang masih tersisa satu bungkus karena Ibuku tak berkenan memakanya. Tadi malam aku juga sempatmembelikan Ibu obat sakit gigi yang bernama antalgin. Tak lama kemudian, pengantar sarapan datang dengan membawakan nasi bubur dan jus yang entah apa namanya, yang jelas aku dan Ibukupun tak mau memakanya. Sayang, lagi-lagi Bapakku tidak berkenan makan dan hanya 2-3 sendok yang masuk ke dalam perut beliau sehingga keadanya tidak semakin membaik melainkan semakin memburuk.
Hari ini kali pertama aku tahu beberapa suntikan diberikan oleh perawat melalui instruksi dokter, aku mencoba untuk tetap berada di samping beliau meski sambil menahan rasa ngeri melihat kira-kira lima kali suntikan. Jarum itu disuntikkan melalui selang infus, di dalamnya terdapat obat yang telah di dapat kakakku dari apotek tadi malam. Obat-obatan itu harus dimasukan ke dalam tubuh beliau melalui suntikan sebab beliau sama sekali tidak bisa meminumnya melalui mulut. Selain itu, perawat juga mengambil sampel darah Bapak dengan menggunakan suntik beberapa kali tusukan sebab darah beliau sulit di ambil. Masya Allah..., hatiku bergumam.
Tiba-tiba HP ku berdering, ada sms masuk. Aku buka sms tersebut. Ternyata sms itu dari Mbak Kholif yang saat itu masih berada di Depok. Ia menanyakan keadaan Bapak, aku hanya menjawabnya bahwa beliaumasih enggan makan dan hanya sedikit minum air, aku juga memintanya agar terus berdoa untuk kesembuhan Bapak. Saat itu juga aku menganjurkan kepadanya agar membaca shalawat Thibbil Qulub sebanyak-banyaknya. Sementara itu, Mbak Hikmah yang juga masih berada di Depok mengirim sms hampir seperti yang ditanyakan Mbak Kholif, langsung saja aku jawab seperti halnya Mbak Kholif, aku menganjurkan kepadanya agar membaca shalawat Thibbil Qulub sebanyak-banyaknya. Aku jugamenghimbaunya agar tidak pulang, tapi ternyata mereka berdua ngotot akan segera pulang ke rumah untuk mengetahui keadaan Bapak yang sebenarnya. Aku tak bisa memaksanya dan hanya bisa berpesan kepada mereka agar berhati-hati dalam perjalanan. Mereka mengatakan akan berangkat naik kereta besok jumat sekitar pukul empat sore.
Pikiranku semakin tak karuan, diam-diam aku memberi tahu Ibuku bahwa kedua kakak perempuanku akan pulang ke rumah. Sebenarnya Bapak melarang mereka untuk pulang, tapi apalah hendak dikata perasaan seorang anak pasti terhubung dengan apa yang terjadi pada orang tua, rasa khawatir pasti sedang menghuni pikiran kedua kakak perempuanku sehingga mereka ngotot akan tetap pulang. Namun di sisi lain ternyata Bibi, Paman dan segenap keluargaku juga menyuruh mereka berdua agar segera pulang. Ternyata memang ada dorongan kuat yang membuat kedua kakakku pulang, aku hela nafas panjangku sambil meredakan resahku.
Ketika malam semakin larut, seperti biasanya hanya aku dan Ibuku yang masih ada di samping Bapak. Jam dinding terus berdenting, aku tak kuat menahan kantuk yang sangat dan akhirnya matakupun terpejam. Sementara itu, Ibuku masih menjaga Bapak yang masih berbaring lemas di atas kasur.
Tiba-tiba Ibu membangunkanku, sekitar pukul 02.30 WIB, beliau gelisah melihat keadaan Bapak yang sepertinya sesak nafas. Mataku terbelalak dan membantu segala hal yang bisa aku bantu. Ibu memanggil Suster melalui alat komunikasi singkat yang tersedia di kamar inap itu. Tak lama kemudian dua suster datang dan membawakan tabung oksigen. Tapi mereka kualahan sebab alat pengangkutnya tidak ada, terpaksa aku harus membantunya menggotong tabung oksigen tersebut sampai di dalam kamar Bapak, aku sadar beginilah keadaan rumah sakit umum. Sesampainya di dalam kamar, tabung itu di sambungkan dengan selang kecil dan di salurkan ke dalam kedua lubang hidung Bapak. Alhamdulillah Bapakku agak reda, lalu aku berwudlu dan menunaikan shalat isya’ sebab tadi aku tertidur sebelum shalat isya’. Semuanya masih baik-baik saja. Aku mengganti Ibu menjaga beliau.
***
Jumat pagi usai sarapan dan setelah suster menyuntikan obat pada tubuh Bapakku, tak tahu kenapa, beliau tiba-tiba tak sadarkan diri dan terus bergeming entah apa yang sedang diucapkanya. Pikiranku semakin kacau tapi tetap aku kontrol dan terus mencoba untuk menenangkan diri sambil terus melafadzkan lafadz-lafadz jalalah di samping telinga beliau. Derai air mata Ibu terus mengalir dan akupun juga tak mampu membendung gumpalan air mataku yang sedari tadi aku tahan. Ibu semakin cemas begitu juga aku, seketika itu aku menghubungi Mas Abid dan pamanku yang rumahnya berada di Bojonegoro. Ibu menyuruh mereka berdua agar segera datang ke rumah sakit. Aku masih terus mencoba membantu beliau untuk melafadzkan asma Allah dengan iringan bacaan Quran As-Sudais dari HP ku.
Beberapa jam kemudian Mas Abid datang begitu juga pamanku. Tapi mereka berdua datang saat Bapakku sudah mulai tenang dan tidak bergeming seperti sebelumnya. Kini aku usap bekas-bekas goresan air mataku. Tenang, dan terus berdoa semoga Bapakku akan selalu baik-baik saja.
Usai makan siang para suster datang menyuntikkan beberapa obat yang semuanya cair itu melalui selang infus. Sebelumnya mereka menanyakan perihal makan Bapakku. Ibu menjelaskan bahwa Bapak masih belum berkenan makan, seperti kemarin hanya dua atau tiga sendok bubur saja yang dimakan. Jika terus menerus seperti itu keadaan beliau semakin memburuk. Maka terpaksa Ibu dan kakakku menerima jalan keluar satu-satunya agar perut beliau berisi yakni dengan memasang selang pembantu memasukkan makanan. Selang itu dimasukkan kedalam hidung Bapakku oleh beberapa asisten dokter, Ibu tak tega melihat proses pemasangan selang tersebut, hanya aku dan kakakku yang ada di samping Bapakku dan melihat proses pemasangan selang itu. Meski menyimpan rasa kasihan yang besar kami tetap mencoba untuk tegar. Semoga Bapakku baik-baik saja. Aku tak bisa membayangkan apa yang dirasakan beliau ketika selang itu dimasukkan ke dalam rongga hidungnya. Aku mencoba untuk tetap tenang meski tak tega melihatnya. Pemasangan pertama gagal, kami hampir membatalkan pemasangan itu jika memang tidak memungkinkan. Beberapa suster menjelaskan bahwa pemasangan itu gagal karena keadaan tubuh alami manusia yang menolak selang itu masuk. Aku ngeri, betapa sakitnya. Bayangkan ketika kita tersedak saja rasanya sakit. “Sabar, dan tetaplah bertahan”, gumam hatiku. Dan akhirnya pemasangan kedua yang di posisikan di lubang sebelah kiri berhasil terpasang. Alhamdulillah, akhirnya terpasang dengan baik. Kemudian makanan yang cair dimasukkan ke dalam perut Bapakku melalui selang itu. Kini keadaan Bapakku semakin memburuk, beliau tidak bisa menggerakkan seluruh bagian tubuhnya, hanya tangan kiri dan matanya yang masih bisa bergerak. Kini beberapa selang terpasang di tubuh beliau, selang infus, selang oksigen dan selang pembantu makan. Tenanglah, semoga semuanya akan baik-baik saja. Aku hanya bisa berpasrah dan harus tetap tegar serta yakin bahwa Allah selalu menyertai.
Malam harinya, Dokter spesial yang menangani Bapak datang dan memeriksa keadaanya. Dokter itu agak sedikit cemas, lalu menyuruh para perawat agar darah yang telah tersedia segera di masukkan melalui selang infus. Di samping itu, dokter tersebut juga berpesan kepada Ibu agar dibantu dengan doa. Pikiranku semakin kacau, hal-hal yang tidak ku inginkan menghuni pikiranku, akankah Bapakku pergi untuk selamanya. Astaghfirullah, aku semakin resah, tapi aku tetap harus tenang karena Allah selalu menemani dan Allah Maha kuasa. Semoga beliau baik-baik saja.
Bapak masih terlihat istirahat tenang setelah pemasangan selang siang tadi. Saat itu para keluarga banyak yang datang. Mereka datang berombongan. Mereka sama sekali tidak mendapatkan kesempatanberbicara dengan Bapak sebab beliau masih tertidur tenang ketika mereka tiba di rumah sakit. Hanya Ibukulah yang menjelaskan segala hal yang telah terjadi pada Bapak tadi pagi kepada mereka. Dan sesekali aku sedikit menambahi penjelasan Ibu bahwa Bapak tadi pagi berbicara ngelantur seperti orang pikun.Entahlah, isyarat apa itu aku tak tahu. SemogaBapaktetap baik-baik saja, gumamku dalam hati
***
Sabtu tanggal 22 Mei 2010, kedua kakak perempuanku yang dari depok tiba di stasiun Bojonegoro sekitar pukul delapan pagi. Mas Abid menjemput mereka dengan motor supranya, meski harus bolak-balik ia tak peduli. Aku yakin pasti rasa gelisah bercampur resah masih menghuni pikiranya.
Pintu kamar terbuka, kakak perempuan keduaku “ Mbak Kholif” masuk ke dalam kamar tepat saat suster memasukkan makanan ke dalam perut Bapak melalui selang yang telah terpasang kemarin. Ia tak bisa menahan tangisnya. Air matanya mengalir membasahi wajah kusutnya. Tak lama kemudian kakak perempuan pertamaku “Mbak Hikmah” juga datang, iadatang bersama suami dan putranya. Sementara itu, Ibu memeluk erat putra kakakku -yang mungkin tak mengerti apa yang tengah terjadi pada neneknya- untuk sekedar melepas rindu yang bercampur sendu. Semuanya tenggelam dalam tangis yang tak bisa terbendung. Aku terdiam menahan sedih yang semakin mendalam. Semuanya telah mengetahui keadaan Bapak yang sebenarnya, mulai dari adik-adikku sampai kakak pertamaku telah mengetahui dan sempat menemani Bapak di rumah sakit. Adikku yang paling kecil “Sahal” dan yang nomor tiga “Iis” sudah sempat membesuk Bapak, begitu juga adikku yang pertama “Azim” dan yang ke dua “Affan”. Sekarang kedua kakak perempuanku juga telah tahu kedaan Bapak yang sebenarnya. Semuanya tak bisa menahan rasa sedih yang semakin mendalam, tapi aku tetapkan hatikuuntuk tegar mengahadapi semua ini.
Beberapa tamu datang bergilir, mulai dari para tetangga terdekat sampai teman-teman akrab Bapak. Tapi masih ada yang kurang, yakni Paman Bapakku yang aku dan saudara-saudaraku akrab memanggilnya ‘Mbah Hadi’. Beliau adalah satu-satunya Paman Bapak yang paling dekat karena beliaulah yang membantu Ibunya Bapak –yang aku dan saudara-saudaraku selalu menziarahi kuburanya bersama Bapak menjelang Idul Fitri yakni nenek ‘Murtilah’- untuk mengasuhnya waktu Bapak masih kecil dahulu. Apapun yang terjadi kami sangat mengharapkan kedatanganya. Karena itulah Ibuku menyuruhku untuk menghubungi beliau dan keluarga-keluarga Tulung Agung yang lain. Tapi yang paling Ibu inginkan adalah kedatangan Mbah Hadi, meski keluarga yang lain tidak bisa datang hari itu yang penting beliau bisa hadir dan bisa menemani Bapak dengan harapan mungkin saja beliaulah perantara kesembuhan Bapak sebab kedekatanya dengan beliau.
Beberapa kali aku telah kirim sms dan juga menelepon Mbah Hadi tapi beliau memberi tahu bahwa beliau akan menjenguk Bapak besok minggu, bersama rombongan keluarga yang lain. Tapi Ibu sangat mengharap kedatanganya. Akhirnya beliau memutuskan akan berangkat terlebih dahulu, meski harus sendirian -karena keluarga yang lain mengajaknya berangkat besok- dari Tulung Agung menuju Bojonegoro. Bukan jarak yang dekat, Tulung Agung-Bojonegoro, tapi begitulah Mbah Hadi yang begitu tulus dan ikhlas.
Sekitar pukul sepuluh malam Mbah Hadi datang. Ternyata beliau tidak sendirian, Beliau ditemani istri dan putrinya yang bernama Mbak Nurul beserta suami dan putri Mbak Nurul. Lagi-lagi aku melihat wajah-wajah pilu dari keluargaku. Tersirat begitu jelas kesedihan yang tampak dari wajah Mbah Hadi. Beliau mencoba mendekati Bapak, tapi apalah daya Bapak sudah tak sadarkan diri dan tidak mampu berucap walau satu patah katapun. Hanya mata Bapaklah yang sesekali menoleh kepada beliau. Bapak masih seperti itu,sementara malam semakin sunyi, kami tidur di tempat seadanya. Ada yang di atas tikar, ada yang masih terjaga dan ada yang masih berada di samping Bapak sambil mengucapkan lafadz-lafadz jalalah di dekat telinga beliau, mereka adalah kedua kakak perempuanku. Sampai menjelang subuh kami bergantian menjaga beliau.
***
Esok hari, minggu tanggal 23 Mei 2010, Mbak Kholif dan adik perempuanku yang nomor tiga “Iis” bergegas pulang ke rumah. Sebelumnya barang-barangnya telah dikemas dan siap untuk di bawa pulang. Mereka diantar oleh Mas Abid. Ikut juga suami Mbak Hikmah dan putranya. Dan pagi itu tinggallah aku, Ibu, Mbak Hikmah, Mbah Hadi beserta istrinya, Mbak Nurul beserta suami dan putrinya yang masih menemani Bapak di RSUD Sosodiro Husada Bojonegoro.
Selepas sarapan aku mengganti Ibu dan kakakku untuk menjaga Bapak. Giliran mereka sarapan meski hanya sedikit saja. Begitu juga yang lain, mereka tengah sarapan saat aku menjaga Bapak dengan terus membantu beliau mengucapkan asma Allah. Bapak masih terus bergeming, entah apa yang sedang diucapkanya, sesekali aku mendengar beliau membaca surat al-Fatihah atau dzikir-dzikir yang lain. Usai sarapan, Ibu dan kakakku kembali menggantikanku menjaga beliau. Sebelumnya Ibu juga telah selesai membaca surat Yasin. Ibu lalu menyuruh aku untuk membaca surat Yasin dan Ar-ra’du. Aku baca kedua surat tersebut dengan penuh harap, semoga jika memang nanti beliau pergi untuk selamanya, Allah menutup usianya dengan husnul khotimah. Usai membaca kedua surat tersebut aku membaca surat Al-Mulk dan Waqi’ah. Kemudian aku mengulang kembali membaca dua surat pertama di atas, dan saat aku sampai pada ayat sajdah dalam surat Ar-Ra’du aku terhenti. Ketika itu Bapak semakin tak sadarkan diri. Ibuku terus membisikkan nama Allah di dekat telinga beliau. Sementara itu kakak perempuanku memanggil Mbah Hadi yang baru saja selesai sarapan. Mbah Hadi dengan segera datang beserta istri dan putrinya. Nafas Bapak semakin terengah-engah, aku bergegas menggantikan Ibu membisikkan lafadz jalalah di dekat telinga kanan Bapak. Air mata Mbak Hikmah semakin deras dan hampir menangis histeris namun Mbak Nurul berhasil menenangkanya. Sementara Mbah Hadi terus menyentuh wajah beliau, membantunya untuk menutup mata dan mulut. Nafas Bapak semakin sesak, aku tak bisa menahan air mataku yang semakin deras dan aku tetap menuntun beliau mengucapkan nama Allah sambil memegang Al-Quran yang baru saja aku baca. Aku letakkan Al-Quran tepat di atas dada beliau. Saat itu,Bapakku dalam keadaan naza’ dan hanya ucapan Allah, Allah, Allah yang aku bisikkan. Aku lafadzkan Allah dan Allah kemudian Allah. Lalu selang bebarapa menit seorang perawat datang dan mencoba mendengarkan denyut nadi Bapakku. Dan ternyata saat itulah nafas terakhir Bapakku berhembus, beliau telah tiada, pergi untuk selamanya. Inna Lillahi Wa Inna Lillahi Raaji’uun. Yaa Ayyatuhan Nafsul Muthmainnah Irji’ii ila rabbiki raadliyatan mardliyah fadkhulii fii ‘Ibadii wad Khulii jannatii. Ya… Allah terimalah Bapakku di sisi-Mu, doaku dalam hati. Saat itu tanganku masih memegang Al-Quran yang aku letakkan tepat di atas dada beliau. Mendengar pernyataan suster tersebut, sontak semuanya tenggelam dalam tangis yang tak tertahankan, aku, Ibu, Mbah Hadi, kakakku dan semua yang ada di dalam ruangan terkecuali seorang perawat tadi. Tapi aku juga tahu bahwa perawat itu juga ikut menyimpan rasa sedih.
Ibu memeluk aku dan kakakku melepas tangisnya yang tak tertahankan. Aku terus mencoba menenangkanya seraya menyitir ayat terakhir surat Al-Alaq dan meyakinkan bahwa Allah bersama kita, Allah menyaksikan kita dan Allahlah yang membimbing kita. Allahu Ma’ana, Allahu nadhoro ‘alaina Wallahu Syaahidunaa. Tak lama kemudian aku menghubungi kakakku ‘Mas Abid’ yang saat itu berada di rumah. Aku sampaikan padanya bahwa Bapak telah tiada, pergi untuk selamanya. Ibuku dan Mbak Hikmah menyuruhnya untuk tetap di rumah sajauntuk mempersiapkan segalanya. Sementara Mbak Hikmah dibantu Mbak Nurul menyelesaikan urusan administrasi rumah sakit dan sekalian biaya ambulance. Aku tak bisa membayangkan bagaimana suasana di rumah, semuanya pasti tengah menangis sambil menanti Bapak tercinta. Mbak kholif, Mas Abid, Azim, Affan, Iis dan Sahal pasti menanti dengan penuh rasa sedih yang dalam.
Setelah urusan administrasi beres, kami berangkat pulang dengan ambulance. Di tengah perjalanan itu aku terus mencoba untuk tegar dan menenangkan ibuku yang pasti tidak akan mampu menahan tangisnya saat tiba di rumah. Sekitar setengah jam dalam perjalanan, akhirnya kami tiba di rumah. Aku melihat banyak orang telah datang mengerumuni rumahku. Dan yang paling pilu, Mbak Kholif hampir menangis histeris saat melihat jenazah Bapak dibawa masuk rumah. Ia menghampiri beliau lalu menciumnya dengan penuh kasih, tanda ketulusan cinta seorang anak kepada Bapaknya. Saat itulah aku sadar bahwa cinta saudara-saudaraku tak kan pernah pudar meski Bapakku telah tiada. Tak lama adik-adikku juga mendekati beliau dan menciumnya. Semuanya terharu, semuanya meneteskan air mata.
Sejenak kemudian prosesi pemandian dilakukan. Aku, Mas Abid dan suami Mbak Hikmah yang akrab aku sapa Abang Fadly turut memangku Bapak saat dimandikan. Usai memandikan jenazah beliau, kami bergegas menuju masjid desa. Di masjid tersebut Bapakku akan dishalati. Sebelum pemberangkatan, Pak Matin memberikan sedikit pengajian kepada masyarakat, beliau mewakili keluargaku menyampaikan maaf atas segala kesalahan yang diperbuat Bapakku. Beliau adalah Guru Bapakkudan sekaligus juga teman baiknya.
Keranda jenazah segera dibawa ke masjid usai acara itu. Aku turut menggotong keranda tersebut sampai di masjid dan menyolatinya bersama masyarakat desa. Shalat jenazah itu dipimpin oleh guruku “Mbah Mudi” dengan ditambah sedikit pembacaan tahlil usai shalat, kemudian ditutup dengan doa yang di sampaikan oleh Ust. Wahib, putra pamanku sendiri.
Usai shalat jenazah keranda Bapak digotong menuju maqbarah. Sambil melantunkan lafadz tahlil beberapa masyarakat mengiringinya menuju maqbarah. Sesekali aku ikut menggantikan orang yang menggotong keranda itu. Aku terus mengiringi dan turut menggotong keranda jenazah sampai di maqbarah Bapak. Aku juga ikut turun kedalam kuburan menataposisi berbaring Bapak. Dan terakhir setelah semuanya selesai, aku kumandangkan adzan dan iqomah. Sekali lagi aku tak kuasa menahan air mataku. Semakin lantang aku kumandangkan adzan semakin deras air mataku mengalir. Laa ilaha illallah Muhammadurrasulullah. Ya Allah terimalah Bapak tercintaku di sisi-Mu, lirih hati kecilku.
Kuburan telah tertutup, tanah-tanah telah memendamnya. Kini hanya gundukun tanah yang terlihat. Sekarang aku tak bisa melihat wajah tegar Bapak lagi. Kini beliau jauh di sana di alam barzah. Semoga cahaya ilahi meneranginya selalu.
Ketikasemuanya telah pergi, tinggallah aku dan kakakku Mas Abid yang masih tertinggal di samping kuburan itu. Doa demi doa masih terlantunkan dari kedua bibirku. Allhummaghfirlahu wa’afihi wa’fu ‘anhu waghfirlana wa lahu. Amin.
***
Semuanya telah berlalu, aku termangu, aku masih terbayang, aku tak akan pernah berhenti berdoa dan berdoa untuk kedua orang tuaku. Aku telah berbuat banyak kesalahan kepada mereka berdua, khususnya kepada Bapakku. Aku mempunyai hutang yang tak mungkin bisa aku bayar. Kasih sayang mereka masih melekat kuat dalam hatiku. Aku tak kan mungkin bisa melupakannya.
Bapak, aku sadar aku adalah putramu yang tak akan bisa melepas ikatan batin yang telah menghunjam dalam hati terdalamku ini. Bapak, maafkan aku yang selalu membantahmu, yang selalu berbeda pandangan denganmu, yang sekian kali telah melelahkanmu, menyusahkanmu dan menyedihkanmu, maafkanlah aku yang belum pernah membuatmu bahagia sama sekali.
Aku tak bisa apa-apa tanpa ridhomu duhai Bapak dan Ibunda. Ridhoilah putra-putrimu. Sakitmu adalah sakit kami. Tersenyumlah, menatap kami dengan iringan doamu. Bapak, aku ingin berjumpa denganmu nanti dengan wajah yang bersinar dan senyum yang ikhlas khas.
Bismillahirrahmaanirrahim, Ya Allah Ikhlaskan hati kami menerima semua ini. Aku tahu semuanya adalah milik-Mu dan akan kembali kepada-Mu. Semuanya telahengkau tentukan. Kullu nafsin Dzaaiqatul maut. Allhummaghfirlahu wa’afihi wa’fu ‘anhu waghfirlana wa lahu. Amin.
Aku harus terus melangkah berjuang tanpa henti menggapai mimpi sampai di penghujung hari dan sampai kita berjumpa nanti denganmu, Bapak tercinta. Hatiku berbisik lirih, Tegarlah sang pemimpi....!
Gresik, 08 juni 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H