Jatinangor? Lingkungan yang asri? Udara yang sejuk? Atau lalu lintas sunyi dan tenteram? Mungkin sebagian besar dari kita khususnya mahasiswa, berpikir hal demikian sebelum menginjakkan kaki di Jatinangor.
Apa yang terbayangkan ketika orang asing berpikir tentangTetapi, benarkah demikian? Apakah seasri, sesejuk, dan setenteram yang dibayangkan? Menurut survei mandiri yang dilakukan penulis Februari lalu, dari 112 Mahasiswa Fakutas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Padjadjaran, 80% di antaranya bermobilisasi dengan berjalan kaki.
Hal ini sedikit membuktikan bahwa Jatinangor merupakan tempatnya para pejalan kaki, khususnya mahasiswa. Tetapi, dengan kondisi demikian apakah menunjukkan bahwa Jatinangor tempat yang nyaman bagi pejalan kaki yang sebagian besarnya adalah mahasiswa?
Secara umum, lingkungan hidup merupakan tempat terjadinya segala sesuatu yang memengaruhi kehidupan secara langsung maupun tidak langsung. Kondisi lalu lintas merupakan bagian dari lingkungan hidup, dengan terjadinya ketidakstabilan lalu lintas, makhluk hidup, terutama manusia, dapat terkena dampak negatifnya berupa polusi udara, polusi suara, kemacetan, dan terganggunya mobilisasi manusia di dalamnya.
Sejauh ini, terdapat empat universitas yang berada di kawasan Jatinangor, di antaranya adalah Universitas Padjadjaran (UNPAD), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Koperasi Indonesia (IKOPIN), dan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Terlihat pada waktu-waktu sibuk, sejumlah mahasiswa bermobilisasi dengan berjalan kaki. Mungkin tidak ada pilihan lain selain itu, walaupun membuat jantung cukup berdebar-debar.
Lalu lintas yang nyatanya sangat padat dan terkadang jumlah kendaraan mobil maupun motor melebihi kapasitas jalan, hal ini tidak pernah menjadi perhatian pemerintah setempat dan juga sering terabaikan oleh mahasiswa.
Bukan tanpa alasan penulis menggunakan diksi “uji nyali” dan “tragis”, diksi tersebut terdengar pantas menggambarkan keadaan lingkungan Jatinangor secara keseluruhan dari sudut pandang mahasiswa. Langkah pembaharuan perlu ditekan dan diterapkan demi kepentingan dan kebaikan seluruh elemen masyarakat di Jatinangor terkait kondisi “tragis” ini.
Terambil dari kutipan artikel TIMES INDONESIA, dikatakan bahwa sejak 2022 lalu, Dinas Perhubungan Sumedang dan sejumlah elemen pemerintah telah berupaya secara optimal memperbaiki keadaan lalu lintas Jatinangor yang cenderung padat dan rawan. Kenyataannya, keadaan lalu lintas Jatinangor masih tetap semrawut, lampu lalu lintas belum memadai, menyebabkan jantung tetap berdebar kencang ketika berjalan kaki di sisi jalan utama Jatinangor. Dilihat secara objektif, penyebab utama dari segala permasalahan lalu lintas Jatinangor adalah kurangnya rambu-rambu dan lampu lalu lintas.
Sebagai contoh, sebagian besar mahasiswa Universitas Padjadjaran yang berjalan kaki harus melintasi zebra cross yang strategis dan mengerikan yang disebabkan karena rute jalan yang tidak teratur, berakibat pada para pengendara menjadi tidak dapat menyesuaikan kecepatan berkendaranya.
Hal ini tidak hanya dapat menghambat alur mobilisasi mahasiswa khususnya yang berjalan kaki, melainkan juga dapat berdampak besar seperti terjadinya kecelakaan dan kejadian mengerikan lainnya. Tidak hanya itu, sebagian besar pejalan kaki, khususnya mahasiswa, mengeluhkan ketiadaaan trotoar di sepanjang jalan Jatinangor.
Mungkin ada beberapa ruas jalan yang di dalamnya terdapat trotoar, tetapi masih ada ruas jalan yang tidak terdapat trotoar dan mirisnya beberapa ruas jalan tersebut menjadi jalur utama pejalan kaki. Atas alasan inilah penulis menggunakan diksi “uji nyali”, karena nyatanya berjalan kaki di lingkungan Jatinangor sangat memicu adrenalin dan terasa seperti uji nyali. Bukankah ini hal yang menarik? Rute jalan yang tidak teratur dipadukan dengan ketiadaan trotoar. Menjadi sebuah perpaduan yang pas untuk menciptakan kecelakaan.