Tadinya saya mau absen dulu menulis di sini sampai skripsi saya selesai. Cuma... pemberitaan media bikin gatel.
Soal Ujian Nasional. Saya sudah menduga hasilnya akan seperti ini. Konflik memuncak. Bagaimana tidak? Sistem yang lalu saja belum dibenahi. Eh, nilai ujian nasional dijadikan standar untuk masuk ke Perguruan Tinggi Negeri. Beruntung saya sudah melalui masa-masa ini lima tahun yang lalu, ketika nilai ujian nasional hanya dijadikan acuan lulus, dan syarat kelulusan "hanya" 4 untuk satu mata pelajaran atau 4,5 untuk dua mata pelajaran. Itu pun diperbolehkan susulan *seingat saya begitu*.
Nah, sekarang, begitu saya tahu nilai ujian nasional teman-teman dari luar Jakarta tinggi-tinggi, shock lah saya. Dulu memang ada yang menyebar kunci jawaban di sekolah. Satu anak dikenakan Rp 250.000. Hah, mau nonton bioskop aja sayang duit, ini lagi disuruh bayar. Nggak maulah teman-teman saya. Janjian satu kelas nggak ada yang beli. Kalau nggak, MT!! Benar saja. Ujian hari pertama dan kedua, kunci jawabannya masih lumayan, begitu hari ketiga... banyak kakak-kakak kelas (karena saya duduk di kelas akselerasi) yang nangis. Katanya, begitu mereka nyocokin jawaban 1, 2, dan 3, jawabannya salah. Terlebih lagi, soalnya susah bangeeet. Saya juga langsung down di ujian hari ketiga. Cuma ya, itu.. untungnya nilai itu "hanya" sekadar untuk kelulusan. Kalau untuk masuk PTN... Wah.... nilai rapor saja banyak merahnya!! Literally merah, dibawah 60!!
Bolehkah saya mengajukan Mosi Tidak Percaya pada sistem ujian nasional?
Pemilihan Presiden. Yang saya ingat dari beberapa omongan profesor, yang mereka perhatikan adalah bagaimana presiden-presiden baru ini menyikapi masalah minyak bumi. Sudah jadi informasi umum, bahwa satu-satunya fakultas di universitas saya yang menolak subsidi BBM hanyalah fakultas saya. Dulu, saya paham alasannya. Saya juga paham alasan orang-orang yang mendukung subsidi BBM. Menurut saya, dua-duanya benar, tidak ada yang salah.
Sudut pandang pertama, fakultas saya menolak subsidi karena memang faktanya, pengguna BBM terbanyak ada di kota. Nggak adil, begitulah argumennya.
Sudut pandang kedua, mereka menyebutkan bahwa sebenarnya kita dibodohi. Subsidi itu tidak ada. Omongan ini... ada benarnya, ada juga tidaknya. Benarnya, kita memang dibodohi. Benar, seharusnya kita tidak membayar semahal itu untuk subsidi minyak, 200 T!! Salahnya, subsidi itu sebenarnya ada! Jadi ceritanya, kita tetap membayar subsidi atas sesuatu yang terang-terang membodohi kita. Sialnya, subsidi pembodohan itu dinikmati oleh kalangan menengah ke atas (termasuk saya).
Sulit (?) membuktikan bahwa subsidi itu sebenarnya tidak ada. Namun, kalau kita tetap mempertahankan subsidi, uang negara kita akan berpindah ke kantong negara sebelah. Tidak ada keputusan yang paling baik untuk menghadapi hal ini. Namun, akan lebih tidak merugikan, jika uang negara digunakan untuk keperluan masyarakat, sementara yang membayar kantong negara sebelah adalah kalangan menengah ke atas yang sedang dibodohi ini saja. Toh, mereka (untuk sementara) masih mampu mendanai kantong negara sebelah.
Nah, masalah minyak ini nampaknya hal yang paling ditunggu-tunggu oleh profesor. Apa yang akan dilakukan si bakal presiden nanti? Tetap ikut di bisnis ini, atau berani membongkar semuanya biar kita tidak lagi dibodohi?
Calon terkuat ada dua. Beberapa bulan belakangan, saya nggak konsisten mau milih siapa. Bukan karena pengaruh teman. Cuma, begitu cerita sama si A saya mau milih ini, si A bilang begitu. Begitu cerita sama si B mau milih itu, si B bilang begini. Sampai saya ada di titik jenuh dan bertanya, "Nggak ada calon lain ya?"
Satu hal yang sedang saya pertanyakan juga. Jika nanti setelah debat capres hati saya masih ragu-ragu untuk memilih, bolehkah saya mengajukan Mosi Tidak Percaya? Bolehkah masyarakat mengajukan Mosi Tidak Percaya?