Pagi-pagi sekali, aku menunggu seseorang di depan sebuah rumah, dan di balik sebuah pohon besar yang tumbuh di depan rumah tersebut. Mungkin, lebih tepatnya bersembunyi. Di depan rumah tersebut, sudah kutaruh bunga mawar dan sepucuk surat untuk seorang wanita pujaan hatiku, yang bernama Maria.
Ia bukanlah kekasihku, ia hanya seorang wanita yang selalu kucinta dan sama sekali aku tidak pernah bisa menyatakan cinta padanya. Jangankan menyatakan cinta. Menyapanya sekalipun tidak pernah sekalipun kulakukan.
Akhirnya, sesosok wanita keluar. Ia adalah Maria. Ia hendak pergi menuju kampus. Beberapa detik berselang, ia menyadari bahwa ada bunga mawar dan sepucuk surat yang aku kirimkan padanya.
Ia mencium bunga itu, dan membaca surat yang kukirimkan. Dan ia tersenyum dengan manisnya. Padahal, yang kutulis disana, hanya:
“Selamat pagi, semoga harimu indah.”
Melihatnya tersenyum, membuatku bahagia.
Ia lalu menyimpan bunga dan suratku di tasnya. Kemudian ia langsung melangkahkan kakinya menuju kampus.
Saat ia berjalan kearahku, jantungku langsung berdegup kencang. wajahku memerah, dan nafasku tidak beraturan.
Ini selalu terjadi ketika aku melihatnya dari dekat.
***
Pagi-pagi sekali, seperti biasa aku mendatangi rumahnya Maria untuk memberikannya bunga. Saat aku hendak menaruh bunga, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundakku.
“hei nak,sedang apa kau?”
“hah?! Tidak apa-apa..” karena tidak mau dicurigai, aku langsung pergi mencari tempat lain untuk sembunyi.
“mau kemana nak? Bukankah kau kemari untuk melihat Maria?” Pak Tua ini mencegahku pergi.
“hah? Kenapa bisa tahu?”
“aku tahu, sebab hampir setiap hari aku melihatmu menaruh bunga lalu bersembunyi di sana.”
“apa Maria juga tahu?” tanyaku dengan cemas.
“Hehehe..sepertinya tidak. Dari gelagatnya, kau sangat menyukai Maria ya?” tanya Pak Tua ini dengan ramah.
Aku terdiam karena malu.
“hahaha...tidak perlu malu begitu. Kalau kau memang ada perasaan padanya, nyatakan saja. Wanita secantik Maria, pasti banyak yang mengincar.”
“bagaimana bisa? Ia bahkan tidak pernah mengenalku.”
“jadi, sekalipun kau tak pernah bicara dengannya?!” Pak Tua ini kaget.
Aku mengangguk.
“Alamak!! Kalau begitu, sekarang juga kau harus berkenalan dengannya!” Pak Tua ini, langsung menarik tanganku menuju rumahnya Maria. Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Genggaman Pak Tua ini sangat kuat.
Kami sampai di depan pintu rumahnya Maria. Dan sialnya, saat itu juga Maria langsung keluar dari rumahnya.
Begitu melihatku, wajahnya langsung terlihat bingung.
“ka..kamu siapa?” katanya dengan wajah bingung. Siapa yang tidak bingung, kalau pagi-pagi ada seorang pria yang datang, dan bahkan tidak dikenal. Semoga saja aku tidak dicurigai mau maling sandal.
Aku tidak menjawab karena malu. Wajahku memerah karena saking groginya.
Beberapa saat, Matanya lalu langsung tertuju pada bunga mawar yang kupegang.
“apa kau yang setiap hari menaruh bunga di depan rumahku?” kata Maria dengan senyum manisnya. Nafasku mulai tidak karuan.
“be..benar” ucapku pelan. Jantungku makin berdegup kencang.
“terima kasih, aku suka sekali dengan bunga yang kau berikan.” Kata Maria sambil berjalan mendekatiku.
“sa..sama-sama.” jawabku dengan kepala tertunduk.
“umm...boleh tahu siapa namamu?” kata Maria sambil mendekatiku. Nervesku semakin menjadi-jadi. Satu tekanan lagi, mungkin aku akan pingsan.
“Sa...Satria.” wajahku memerah dan tertunduk malu.
“satria? Satria Baja Hitam? Hehehe...”
Aku tersenyum kecut. Tidak disangka, Maria akan begini bersahabatnya.
“wah, sudah jam segini. Aku harus ke kampus. Umm..boleh kuminta nomer ponselmu?”
“hah? Bo..boleh saja.” Aku lantas menyebutkan nomer ponselku.
“oke! Aku pergi dulu ya..umm apa bunga itu untukku?” kata Maria sambil menunjuk bunga.
“be..benar ini ambillah.” aku memberikan bunga pada Maria.
“terima kasih.” ia pergi dan melambaikan tangannya.
Saat ia sudah pergi, semua grogiku hilang. Dan anehnya, Pak Tua yang tadi menghilang. Jujur, aku harus mengucapkan banyak terima kasih padanya.
Mungkin, kalau tidak ada Pak Tua itu, seumur hidup aku tidak akan pernah dapat kesempatan untuk bicara langsung dengannya.
Kadang kala, demi seseorang yang kita cinta, kita harus sedikit nekat. Jika tidak melakukan apa-apa, kesempatan tidak akan pernah datang.
***
Usai membeli beberapa bunga, aku mengirim pesan pada Maria yang isinya adalah aku ingin bertemu di taman kota. Dan ia menyetujuinya. Mungkin, ini adalah kesempatanku untuk mendapatkan cintanya.
Aku sampai di taman kota. Ternyata, Maria sudah menungguku. Ia terlihat sedang duduk sambil membaca novel. Aku langsung menghampirinya.
“sudah lama menunggu?” tanyaku padanya untuk basa-basi.
“tidak..aku baru saja sampai. Kalau boleh tahu, ada apa Satria?”
“umm...sebenarnya ada sesuatu yang ingin kukatakan.”
“apa? Katakan saja.”
Aku mengumpulkan semua keberanian.
“se..sebenarnya, aku sangat menyukaimu. Maukah kau menjadi pasanganku?” ucapku sambil memberikan bunga.
Mendengar pernyataanku, wajah Maria terlihat bingung.
“umm...” Maria masih bingung.
Beberapa saat berselang, ada seorang pria yang datang. Ia lantas langsung memanggil Maria dari kejauhan.
“Maria!” pria ini, mendekati kami berdua. “sudah lama menunggu ya? huh? Ia siapa sayang?”
Mendengar kata yang terakhir, membuatku sakit hati bukan main. Karena kesal, aku langsung pergi tanpa mengatakan sepatah katapun. Dan kubuang bunga yang tadinya hendak kuberikan pada Maria.
***
2 tahun berlalu dengan cepat. Selama itu, aku dan Maria mengalami lost contact. Aku menjalani hidupku, dan ia menjalani hidupnya.
Selama itu, hidupku terasa hambar dan tidak berwarna. Namun, aku masih terus mencintai Maria. Terkadang, aku bertemu dengan Maria bersama kekasihnya. Mereka terlihat semakin mesra. Hal itu, membuatku semakin sakit hati.
Saat aku sedang bekerja, tiba-tiba datang sebuah pesan singkat dari Maria. Isinya seperti ini:
“Satria, sebentar lagi aku akan melangsungkan pernikahan. Kumohon kesediaanmu untuk hadir.”
Membaca pesan itu, seakan-akan membunuhku secara perlahan. Hatiku hancur. Harapanku pupus sudah. Orang yang paling kucinta, akan pergi menempuh hidup baru. Penantianku selama ini sudah tiada artinya lagi.
Tanpa sadar, aku menangis.
***
Tepat satu hari menjelang pernikahan Maria, aku hendak datang menemui dirinya. Setidaknya, untuk memberikan selamat. Walaupun, hal itu sama saja dengan menusuk-nusukkan jutaan pedang ke arah jantungku.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nanti ketika aku melihatnya dengan gaun pengantin dan bukan bersama denganku. Melainkan bersama orang lain. Mungkin, hati ini akan semakin hancur.
Walaupun ada kata-kata: “kita akan bahagia ketika melihat seseorang yang kita cintai bahagia.” Namun, itu tidak berlaku padaku.
Aku tidak mau membohongi diri sendiri dan menggunakan kata-kata itu untuk menutupi air mataku.
Setelah beberapa menit berjalan, aku sampai di depan rumah Maria. Seperti yang sudah kuduga, di sana sudah dipersiapkan bermacam-macam alat untuk pernikahan. Orang-orang juga kesana-kemari sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Terbesit dalam hati untuk pergi saja. Namun, kumantapkan hati untuk menuju kesana.
Dengan bunga mawar di tanganku, dan senyum yang kupaksakan, aku berjalan menuju rumahnya. Mungkin untuk yang terakhir kalinya. Sebab mungkin setelah ini, Maria akan pindah ke rumah milik suaminya.
Belum sampai aku di sana, Pak Tua tempo hari itu muncul lagi dan menjegat jalanku.
“apa kau datang untuk bertemu dengan Maria?” tanya Pak Tua ini.
“ya.” jawabku singkat.
“untuk apa?”
“setidaknya memberikan selamat.” Kataku dengan senyum yang masih dipaksakan.
“pernikahan dibatalkan.” kata Pak Tua ini dengan datar. Mendengar pernikahan dibatalkan, aku terus terang sangat senang. Setidaknya, aku masih diberikan satu kesempatan untuk mendapatkan hati Maria lagi.
“kenapa dibatalkan? Apa mereka putus?” tanyaku dengan senyum bahagia.
“bukan.”
“lalu?”
“Maria masuk rumah sakit. Ia sedang sekarat.” Jawab Pak Tua ini dengan kepala tertunduk. Mendengar bahwa Maria sedang sekarat, senyum bahagiaku langsung terhapus dari wajahku.
“se..sekarat?” kataku tanpa sadar.
“ya.sekarang ia dirawat di rumah sakit di depan taman kota. Mungkin hidupnya tidak akan lama lagi.”
“sial!!” tanpa banyak bicara, aku berlari secepat-cepatnya menuju kesana.
***
Aku masuk ke dalam rumah sakit, dan suster memberitahukanku bahwa kamar Maria berada di lantai 2, kamar nomer 13. aku langsung menuju ke sana dengan elevator.
Tepat di depan kamar Maria, ada seorang pria paruh baya sedang bicara dengan seorang dokter. Lebih tepatnya mereka terlihat sedang berdebat. Kudekati mereka dan pembicaraan mereka terdengar.
“berapapun uang yang harus dikeluarkan, saya siap! Asal Anda bisa menyembuhkan anak saya Dok!” kata pria ini yang sepertinya ayahnya Maria.
“ini bukan soal uang Pak! Anak anda menderita kerusakan organ, sehingga bila ia ingin disembuhkan, perlu organ yang baru.” jelas Pak Dokter.
“apa Anda tidak bisa carikan organ baru untuk anak saya Dok?! Tolonglah! Berapapun akan saya bayar!” inilah bukti cinta kasih dari orang tua. Mereka rela mengorbankan apa saja demi anak mereka tercinta.
“bisa saja Pak! Namun, belum tentu ada yang mau.” Kata Dokter ini sambil merangkul bahu ayah Maria.
“maksudnya?”
“bila ada orang yang mau mendonor, sudah dipastikan orang itu akan mati. Sebab organ yang dibutuhkan, adalah...jantung.”
“kalau begitu, ambil saja jan...”
“ambil saja jantung saya.” Aku memotong perkataan ayahnya Maria dan mendekati mereka. “Maria lebih membutuhkan Anda untuk berada disampingnya ketimbang saya.”
“walaupun kalian bilang begitu, tidak semua orang bisa mendonor jantungnya. Tidak semua jantung bisa cocok dengan Maria.”
***
Setelah menjalani pengecekan, ternyata jantung milikkulah yang cocok dengan Maria. Dengan begini, jantungku akan berpindah tempat. Dan dipastikan, ini adalah saat-saat terakhirku di dunia. namun, aku sama sekali tidak menyesal. Demi seseorang yang kucinta, aku rela melakukan apapun untuknya.
“nak, sekali lagi apa kau yakin?” tanya dokter padaku yang sedang terbaring dan sudah siap untuk dioprasi. Tepat disebelahku, ada Maria yang terbaring tidak sadarkan diri.
“ya.”
“kalau itu keputusanmu, apakah kau ada permintaan terakhir?”
“cukup berikan saja bunga dan surat yang kubawa padanya.”
Kupejamkan mata, dan saat itu juga mataku tiada bisa terbuka lagi.
Kepada
Maria
Selama ini, aku hanya bisa memperhatikanmu dari kejauhan. Hanya bisa mengirimimu bunga mawar dan sepucuk surat. Dan hanya bisa mengagumi keindahanmu dari balik pohon besar yang tumbuh di depan rumahmu sambil berharap kau tiada pernah menemukanku.
Karena keberuntungan, aku bisa mengenalmu dan kau bisa mengenalku. Canda tawamu membuat hariku yang abu-abu menjadi lebih berwarna. Dan aku berharap agar bisa menjadi lebih dari teman untukmu.
Namun, itu semua tidak akan pernah terjadi. Kau telah bersama lelaki pilihanmu yang kau cintai. Dan tiada ruang bagiku di hatimu.
Maria, walaupun aku tidak bisa dan tidak akan pernah bisa menjadi pasangan hidupmu, setidaknya, biarkan aku untuk terus bisa menikmati hangatnya tawamu dan indahnya senyummu. Walaupun itu hanya dari jauh.
Teruslah tersenyum dan ceria walau seburuk apapun masalah yang terjadi.
Aku akan selalu ada di dekatmu,
Satria
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H