6. Melarikan Diri
Setelah berunding, dan sedikit berdebat akhirnya kami setuju untuk melakukan sebuah ide gila untuk melarikan diri. Cara itu adalah dengan merayu penjaga yang penyuka sesama jenis.
Rencana kami adalah agar kami dibawa ke luar. Disana, kita akan menghajar para penjaga keturunan kaum nabi luth itu, dan menukar tempat mereka dengan kami.
Rencana yang cukup brilliant tapi sangat menjijikan. Aku tidak menyangka. Selama ini, aku sama sekali tidak pernah merayu wanita(karena tidak ada yang mau). Sekarang harus merayu laki-laki. Membayangkannya saja, aku sudah mual. Entah bagaimana waktu eksekusinya.
KREK...KREK...KREK..
Kami mencongkel batu bata dari dinding.
Kami membutuhkan batu bata ini untuk menghajar penjaga itu. dengan ini, aku yakin mereka akan langsung roboh sekali pukul. Biarpun mereka membawa senapan mesin sekalipun, mereka tidak akan berdaya karena mereka akan kami buat lengah.
Aku ingat kata-kata aktor hollywood: “kelemahan terbesar adalah kelengahan” tidak kusangka hobiku nonton film berguna disaat seperti ini.
“hei. Apa sudah selesai persiapannya?” tanyaku pada Latief yang sedang mencongkel batu bata.
KREK...”Belum. sedikit lagi.” KREK...
Ucapnya sambil mencongkel batu bata.
“kau bagaimana di?”
“aku sudah selesai dari tadi.” Jawab Edi singkat.
“kau bagaimana wir?”
Wira masih terlihat sedikit mencongkel batu bata dari dinding namun, ia sudah hampir selesai.
“akhirnya selesai....kau sendiri bagaimana sul?”
“aku juga sudah.” Ucapku sambil menunjukan batu bata.
Yang tersisa, tinggal Latief. Ia terlihat masih sibuk dengan congkelannya. Tidak lama, akhirnya selesai.
“Sekarang hanya tinggal memancing penjaga itu agar masuk ke perangkap. Namun, aku lupa memikirkan bagaimana caranya untuk memancing mereka.”
“ah...kalau itu masalah gampang. Kita tinggal buat saja keributan!” saran Edi terdengar sangat gila.
“alamak....nanti bisa ketahuan. Kita harus secara diam-diam.”
“kalau begitu, kita tunggu saja sampai mereka datang.” Saran Wira.
Kami menunggu dalam sel yang gelap, pengap, bau dan hina. Kami bersabar menunggu para penjaga itu datang. Saat mereka datang, rencana besar kami akan dilangsungkan.
Jujur saja, jika rencana ini berhasil aku tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Pulang ke Indonesia, pasti tidak akan bisa. Selain jauh, uang juga tidak ada.
Uang satu juta lima ratus ribu tidak akan cukup untuk kembali ke Indonesia bertiga.ditambah lagi, paspor tidak kami miliki. Kemungkinan yang terbesar, aku akan menumpang dirumah penduduk dan bekerja untuk ongkos pulang ke indonesia dan kembali belajar dan menjual bakso lagi.
Ngomong-ngomong soal belajar, aku lupa bagaimana kabarnya kuliahku di indonesia? Ah...pasti nilaiku hancur semua gara-gara insiden ini. Jangan-jangan, Ayu kembang desa itu sudah dilama?! Aduh....
Sembari menunggu, aku menyandarkan diri ke tembok. Saat itu, aku teringat dengan keadaan di Indonesia dan terus terang, aku merindukan Indonesia. Apa disana masih macet? Apa korupsi masih merajalela? Biarpun negaraku ini bisa dijuluki sebagai negara sejuta masalah,
Namun, harus aku akui aku sangat mencintai negara ini.
Ternyata hidup di Indonesia jauh lebih enak dari pada disini. Setidaknya, disana kami tidak akan dijadikan tumbal untuk setan. Tapi uang kami yang dijadikan tumbal untuk koruptor. Aku ikhlas kehilangan uang asal tidak kehilangan nyawa. Kalau uang, aku masih bisa memutar otak untuk mendapatkannya lagi.
Tapi, kalau nyawa yang hilang, aku tidak akan bisa memutar-mutar otak untuk mendapatkan nyawa lagi. ternyata, harta yang paling berharga adalah nyawa.
Tidak lama, terdengar suara langkah kaki dari sepatu boots. Semakin lama, langkah kaki itu semakin mendekat. Dan semakin lama, langkah kaki itu semakin banyak.
Aku mencoba mengintip dari celah-celah sel.
Ternyata, para penjaga itu sedang menuju kemari. Jantungku berdetak kencang melihat 4 orang penjaga berjalan kearah sel kami. empat orang itu, adalah sipir yang memerintahku untuk membersihkan gudang, penjaga dengan kunci, dan kedua orang temannya. Yang satu cepak, yang satu keriting. Perlahan, suara mereka berbincang agak terdengar. Mereka berempat berhenti dan berbicara.
Aku lalu menguping pembicaraan mereka.
“hei. Tahanan disana, manis-manis lho.” kata penjaga dengan kunci membuatku geli.
“apa lagi, yang baju hijau.” Sahut temannya yang keriting.
Aku memperhatikan baju yang aku kenakan. Ternyata yang ia maksud adalah aku. Hih...mendengarnya aku jadi semakin geli dan mual. Aku tidak menyangka wajahku dibilang manis. Sayangnya dikatakan oleh orang yang sama-sama pria. Menyedihkan sekali hidupku.
Tiba-tiba, edi menghampiriku.
“hei kau sedang apa?”
“menguping. Ternyata mereka benar-benar homo! Bahkan sampai ada yang bilang kalau aku ini manis.”
“Hahahahaha!!” Latief dan Wira tertawa. Aku sebenarnya tidak terima di tertawakan. Tapi biarlah dari pada mereka stress.
“sebentar-sebentar sepertinya mereka bicara lagi.”
Aku kembali menguping pembicaraan mereka. kali ini, yang bicara temannya yang lain. Ia adalah penjaga yang berbadan agak kecil, dan berambut cepak.
“yang berjanggut juga lumayan manis. Aku sebenarnya sudah menyimpan perasaan padanya sejak lama.”
Aku memperhatikan dagu masing-masing orang yang ada di sel. Kuperhatikan, Wira tidak berjanggut. Latief apa lagi kumis saja tidak tumbuh. Kuperhatikan Edi, dan ternyata ada janggutnya. Lumayan tebal pula.
“Prrrt!!!” aku menahan tawa menyadari bahwa si cepak menyimpan perasaan pada teman baruku yang orang batak ini.
“ada apa? Apa yang mereka bicarakan?” tanya Edi.
“ternyata si rambut cepak jatuh cinta padamu di!”
“Prrrtt!!!!” Latief dan Wira juga menahan tawa. Situasi sekarang jadi ceria
“Alamak....semoga saja tiap malam aku tidak diapa-apakan.”
Beberapa saat berselang, sipir tukang suruh yang tadi menyuruhku ikut berbincang. Sipir berbadan besar, kekar dan berwajah seram ini aku yakin ia adalah pria normal. Biarpun tidak begitu yakin ia benar-benar normal.
“hei kalian sedang membicarakan apa?” tanya sipir kekar itu.
“kita sedang membicarakan soal tahanan yang disebelah. Didalam, orang-orangnya manis-manis lho.”
“oh...mereka, memang mereka itu manis-manis. Aku bahkan sampai jatuh cinta pada pandangan pertama dengan yang pakai baju hitam.” ternyata sama saja.
Kuperhatikan, yang memakai baju hitam hanya Latief. Dalam hati, aku tertawa cekikikan.
Ternyata, ada hikmahnya juga punya wajah yang tidak tampan. Setidaknya, bisa terbebas dari fans-fans atau penggemar-penggemar yang kebanyakan tidak jelas asal-usulnya. bibit, bebet, bobotnya juga dipastikan tidak jelas. Kesimpulannya adalah syukuri saja apa yang sudah Allah berikan kepada kita.
“hei. Kalau mereka datang, bagaimana?” tanya Wira.
“kita pancing saja.” Jawabku singkat.
“caranya?” tanya Latief.
“kalian masih ingat dengan banci waktu itu?”
“hah?! Jangan bilang seperti dia.”
“ya memang seperti itu. bagi kita tidak akan berhasil. Tapi pasti ampuh untuk mereka.”
“sekarang, siapa yang mau berbaik hati melakukannya?” kata Edi sambil menghindar menjauh.
“kita hompimpa.”
“Hompimpa alaium gambreng!!” kami bersahut-sahutan.
Latief putih
Wira putih
Edi putih
Aku hitam (TIDAAK!!)
“ah...astaga mimpi apa aku semalam?!” aku tidak menerima kenyataan.
“peraturannya jelas. Kau yang kalah jadi kau yang harus menggoda duluan.”
Alamak....sungguh hari yang tidak menyenangkan. Sudah ditangkap, jadi pesuruh, sekarang harus merayu pria. Namun, sportifitas harus diutamakan. Yang kalah harus terima konsekuensinya.
“yasudahlah.....tolong kalian siapkan kantung muntah ya.”
“semoga berhasil kawan!” ejek Wira. Hobi meledeknya kembali lagi.
“Alhamdulillah...untung saja nasibku sedang baik.” Kata Latief lega.
Aku diam sejenak, untuk memikirkan cara apa yang baik untuk menarik mereka ke dalam perangkap. Aku sedikit latihan agar nanti tidak ketahuan kalau kami sedang memasang perangkap. Mulai dari cara bicara, memandang, dan cara berjalan. Dan yang pernah kulihat di internet, cara berjalan mereka itu cantik. Kalau melompat pasti ala balerina. Jarinya pasti menanjak keatas.
Aku langsung mempraktekkannya agar terlihat meyakinkan.
Beberapa menit berlalu. Suara langkah kaki mereka yang terhenti sekarang mulai berjalan kembali. Mereka mungkin sudah selesai beristirahatnya dan berniat melanjutkan patroli. Aku merapihkan baju, dan bersiap-siap melaksanakan rencana.
Mereka berempat semakin mendekat.
Degup jantungku semakin kencang. aku agak gugup harus melakukan hal seperti ini. Meskipun ini terpaksa untuk mempertahankan hidup. Saat keadaan terancam, orang biasanya akan melakukan hal-hal yang gila dan tidak waras untuk mempertahankan hidup mereka. Sama halnya dengan situasiku saat ini.
Akhirnya mereka sampai didepan sel kami.
Disinilah rencana dimulai........
***
Setelah melakukan hal yang paling hina yang selama ini pernah aku lakukan, akhirnya kami berhasil merayu mereka dan membawa kami ke luar. Aku meyakinkan mereka bahwa kami juga ada perasaan pada mereka.
Dan aku juga menambahkan ini adalah permintaan terakhir kami di dunia. karena mungkin esok kami sudah akan dijadikan tumbal.
Dan bodohnya, mereka percaya!
Diam-diam, kami berempat sudah menyiapkan batu-bata dibalik celana kami. rasanya sudah tidak sabar aku ingin memukul kepala mereka dan menukar tempat. Langkah demi langkah kami berjalan menuju keluar penjara.
Sepanjang jalan, terlihat sangat sepi. tidak ada seorangpun yang lalu lalang. Sebenarnya bisa saja eksekusi dilakukan disini. Namun, semuanya akan berantakan bila tiba-tiba ada penjaga yang lewat.
Kami sampai di pintu keluar bagian belakang. Disini, berdiri tegak pagar besi setinggi 10 meter dengan kawat diatasnya. Dari sini, terlihat banyak sekali semak-semak dan pepohonan hijau. Lampu yang menyala hanya ala kadarnya. Tidak disangka mereka juga pelit.
Si cepak membuka pagar dan berniat membawa kami ke semak-semak.
Kami masuk kedalam semak-semak.
Suasana begitu dingin. Angin malam begitu menusuk ke tulang. Cahaya lampu sama sekali tidak menyentuh daerah ini. Aku memberikan kode untuk mengeluarkan batu-bata dari celana. Kodenya adalah ibu jari diangkat.
Aku mengangkat ibu jari dan mereka bertiga mengeluarkan batu-bata
BRAK!!!
Edi yang tidak sabar langsung memukul. Dari pada rencana gagal, lebih baik aku ikut memukul juga.
BRAK!! BRUK!! BRAK!! BRUK!!
Kami memukul kepala keempat orang ini, dengan sangat keras. Sampai-sampai batanya sampai hancur. Dari pelipis kepala mereka, keluar darah. Aku menghiraukan itu, dan fokus ke rencana. Saat seperti ini, lebih baik kesampingkan masalah kemanusiaan. Nyawa sendiri lebih harus diperhatikan
“sekarang, kita tukar baju.” Perintahku pada yang lain.
Kami dengan cekatan menukar baju kami, dengan baju mereka.
“oi sul. Punyaku tidak muat.” Keluh Wira sambil berbisik. (makanya punya badan jangan besar-besar)
“ini. Pakai saja punyaku. Punyaku kebesaran.” Latief menukar baju seragamnya dengan punya Wira.
Tidak lama, kami selesai menukar pakaian milik kami, dan milik mereka. kini, mereka tahanan, dan kami penjaga.
“alamak...gatal sekali sudah berapa hari tidak mandi ini orang.” Kata Edi sambil menggaruk badannya.
Tidak lama, aku sadar bahwa aku melupakan satu hal yang paling penting.
“asstagfirullah..hampir lupa.”
Aku lalu merogoh kantung celanaku, dan mengambil uang Rp540.000 dan hidung badut.
“sul...sul. masih ingat saja dengan uang.” Ejek Wira.
“kalau tidak salah, uang kalian juga masih ada di kantung kan? Kalau tidak mau, aku saja yang ambil.”
“enak saja.” Jawab mereka kompak sambil mengambil uang mereka yang ada di kantung celana.
“setelah ini, bagaimana?” Edi bertanya padaku.
“ah..sekarang, kita kembalikan mereka ke sel. Setelah itu, kita bebas.”
“alhamdulillah....tidak kusangka rencanamu bisa berhasil. Ku kira, ide-ide hebatmu cuma berlaku untuk cari uang saja. Diam-diam, kau ini cerdik juga.” Latief memujiku.
“Syukurannya nanti saja. Sekarang kita bawa mereka kembali ke sel.”
Hegh!
Aku mengangkat korbanku dan menaruhnya di punggungku. Demikian juga dengan Edi, Latief dan Wira. Alamak....berat kali badan mereka. sekarang, yang harus dilakukan, hanya menaruh mereka dalam sel, dan menyelinap pergi dari tempat yang terkutuk ini.
Sambil menggendong tahanan yang dulunya sipir, aku berjalan dengan sangat hati-hati menuju ruang sel. Biarpun berat harus menggendong pria ini, beserta senapan mesinnya, aku lakukan dengan ikhlas. Anggap saja ini adalah harga yang harus dibayar untuk bisa keluar dari penjara buatan pengikut setan ini.
Kami sampai di dalam penjara bagian atas.
Di dalam sini, masih tidak terlihat satu batang hidungpun yang lalu lalang disekitar sini. Mungkin Allah mempermudah jalan bagi kami untuk bisa keluar dari tempat ini hidup-hidup. Kami menuruni tangga untuk bisa sampai ke sel kami yang sangat kami benci.
KREEEKKK.....
Wira membuka pintu sel. Saat itu juga, kami menaruh mereka berempat di dalamnya. Alhamdulillah....rencanaku sudah 80% berhasil. Usai menaruh, Wira menutup pintu sel dan menguncinya. Sebelum pergi, kami sedikit mengucapkan selamat tinggal.
“Selamat tidur tampan....hahahaha” ejek Edi sambil melambai-lambaikan tangannya.
“aku berpesan padamu, agar setiap hari kau mandi 2 kali sehari. Humph...Hoeks bau sekali bajumu ini.” Wira hampir muntah dengan bau badan orang ini.
“terus terang saja, aku mulai tidak mau jadi orang tampan kalau yang menyukai orang-orang seperti kalian. Hih....”
“sebenarnya aku tidak ikhlas tukar pakaian dengan kalian. Asal kalian tahu saja. Baju yang sedang kau pakai itu harganya mahal. Beda dengan baju kau yang gratisan ini.”
Usai pamitan, atau lebih tepatnya mengejek, kami berempat berencana langsung kabur dari penjara ini. Kami berencana kabur lewat pintu depan agar tidak ketahuan bahwa kami adalah tahanan yang menukar tempat dengan sipir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H