Mohon tunggu...
Kezia Loviana
Kezia Loviana Mohon Tunggu... -

Tajamkanlah otakmu, bukan mulutmu. Tumpulkanlah bencimu, bukan hatimu. Niscaya kamu bukanlah orang bodoh yang cerewet.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Gemerlap Kuda Besi Jakarta, Sebuah Realita Masyakarat Metropolitan

29 Februari 2016   22:50 Diperbarui: 1 Maret 2016   22:20 999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Kemacetan pada malam hari yang tengah terjadi di bilangan Menteng, Jakarta Pusat"][/caption]Berpacu di jalan yang lengang tentu sangat mengasyikkan, bagaimana rasanya jika jalanan yang kita harapkan lengang malah tersendat oleh kuda besi lain yang tengah berdesak-desakkan satu sama lain?

Inilah pemandangan yang warga Jakarta biasa lihat. Kerumunan kuda besi ini mulai biasa terlihat pukul 05.30 WIB. Setiap harinya, di pagi buta sebelum saya mencelikkan mata, saya yakin sekali ada banyak orang khususnya di kota metropolitan ini, mempersiapkan mentalnya untuk menghadapi situasi yang sudah menjadi rutinitas kesehariannya. Ya, kemacetan yang sudah menjadi makanan sehari-hari warga Jakarta.

Tak kenal pagi, siang, sore, ataupun malam, kemacetan ini bisa saja terjadi hanya karena masalah yang sebenarnya sepele. Entah itu karena ada angkutan umum yang ngetem sembarangan, lampu merah yang mati sehingga mengakibatkan tidak terkontrolnya arus lalu lintas, ataupun adanya proyek pembangunan di jalan raya.

Pemerintah daerah seringkali dijadikan ‘kambing hitam’ atas penyebab masalah kemacetan ini. Padahal menurut opini saya, pemerintah daerah malah berusaha untuk meminimalisir terjadinya kemacetan di ruas-ruas jalan tertentu. Menurut data bersumber dari studi Jabodetabek Public Transpotation Policity Implementation Strategy, dalam Kompas, 10 Juni 2014, jumlah perjalanan yang masuk ke DKI Jakarta sebanyak 18,77 juta perjalanan per hari, jumlah perjalanan di dalam Jakarta sebanyak 6,96 juta perjalanan per hari. Dari jumlah tersebut 98% diantaranya merupakan kendaraan pribadi, yakni mobil dan motor. Perlu diketahui bahwa dari jutaan perjalanan setiap hari yang masuk ke Jakarta dan di Jakarta sendiri, ternyata 98% menggunakan kendaraan pribadi. Jadi hanya 2% saja yang menggunakan angkutan umum. Miris sekali!

Padahal sering kali kita lihat pada jembatan penyeberangan, ataupun papan reklame di jalan-jalan raya, bertuliskan,”Ayo Gunakan Angkutan Umum!”.  Iklan layanan masyarakat ini sudah mengajak kita untuk beralih ke angkutan umum ketimbang kendaraan pribadi. Namun tetap saja semuanya kembali ke diri masing-masing, banyak alasan yang selalu dilontarkan masyarakat mengenai kelemahan menggunakan angkutan umum, antara lain : kurang nyaman, terlalu lama mengantre, dirasa kurang aman, dll.

Dampak negatif akibat kemacetan lalu lintas yang dapat dirasakan langsung atau tidak langsung, yaitu:

  • Kerugian ekonomi karena boros Bahan Bakar Minyak (BBM). Pada saat kemacetan, sejumlah BBM “terbakar” secara cuma-cuma oleh kendaraan.
  • Kerugian waktu yang mampu berdampak pada segala aspek di kehidupan Ibukota.
  • Stress dan kelelahan dengan segala akibatnya seperti mudah tersinggung, mudah marah, kesalahan pengambilan keputusan, dan turunnya produktivitas.
  • Penurunan kualitas udara di Jakarta akibat meningkatnya kadar zat-zat pencemar yang berasal dari emisi gas buang kendaraan bermotor.
  • Memicu terjadinya pelanggaran aturan lalu lintas (pengendara kerap langgar ferbodden).
  • Kerusakan bagian mesin kendaraan bermotor karena dipakai terus menerus.
  • Dan masih banyak lagi kerugian lain yang tak dapat disebutkan satu-persatu.

Dan kita sebagai masyarakat kota DKI Jakarta harus sadar dengan realita yang terjadi di kota ini. Untuk merubah sikap, perilaku, dan kebiasaan masyarakat tidak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi memerlukan waktu panjang dan berkesinambungan. Upaya yang dapat dilakukan untuk menyadarkan masyarakat, khususnya di Ibukota antara lain melalui promosi di media elektronik─seperti saat ini, surat kabar, memberi contoh yang baik disamping menerapkan sanksi tegas. Masyarakat tidak akan mudah berubah tanpa adanya tindakan langsung dari petugas Polantas, yang bertindak sebagai penegak keadilan di jalan tanpa pandang bulu (pilih kasih).

Semoga tulisan pendek ini mampu memberikan paradigma baru bagi siapapun yang membacanya, mari kita jadikan Jakarta lebih baik lagi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun