Satu tema yang tengah dipertimbangkan dalam revisi UU No. 20 Tahun 2023 adalah penempatan pejabat eselon II yang lebih fleksibel, yaitu dengan mengubah status mereka menjadi pegawai pusat yang dapat dipindahkan secara lebih luas, tidak terbatas hanya pada wilayah tertentu. Penguatan netralitas ASN ini akan mengurangi potensi penggunaan kekuasaan birokrasi oleh pejabat-pejabat yang lebih condong pada kepentingan politik tertentu, yang sering kali mengabaikan tujuan utama birokrasi yaitu pelayanan publik yang berkualitas.
Pentingnya netralitas ASN dalam menjaga stabilitas pemerintahan sudah banyak dibuktikan melalui berbagai penelitian dan kajian. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Politik LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), netralitas birokrasi di Indonesia terganggu akibat politisasi dalam berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. Hal ini terjadi dalam banyak kasus, terutama menjelang pemilihan kepala daerah, yang sering kali menjadi ajang untuk memobilisasi dukungan terhadap partai politik tertentu. Akibatnya, ASN menjadi sasaran intervensi politik yang tidak hanya merusak integritas mereka, tetapi juga mengganggu kinerja pemerintahan itu sendiri.
Studi yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan bahwa daerah-daerah dengan tingkat politisasi yang tinggi mengalami penurunan kualitas pelayanan publik dan meningkatnya praktik-praktik korupsi. Penempatan pejabat eselon II yang sering kali dipengaruhi oleh kepentingan politik ini menyebabkan birokrasi di daerah tidak berfungsi optimal, karena pejabat yang menduduki jabatan tersebut sering kali lebih sibuk dengan urusan politik daripada fokus pada tugas-tugas pemerintahan.
Dalam konteks inilah revisi UU ASN menjadi sangat relevan. Dengan memberikan kesempatan kepada pejabat eselon II untuk dipindahkan secara lebih fleksibel, pemerintah dapat meminimalisir praktik politisasi dalam birokrasi. Pejabat eselon II yang memiliki rekam jejak profesionalisme dan kapabilitas yang mumpuni dapat ditempatkan di berbagai wilayah tanpa harus terpengaruh oleh politik lokal yang dapat mengaburkan tujuan utama mereka, yaitu melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya.
Selain itu, perubahan status eselon II yang menjadi pegawai pusat juga memungkinkan adanya rotasi yang lebih adil antar daerah. Hal ini memberikan kesempatan bagi pejabat untuk memperoleh pengalaman yang lebih luas dan memahami tantangan yang dihadapi berbagai daerah, sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik secara merata di seluruh Indonesia. Dengan demikian, pemerintah pusat dapat memastikan bahwa pemerintahan daerah berjalan dengan baik, tanpa tergantung pada politik lokal yang kadang mengekang potensi kinerja birokrasi.
Namun, perlu diingat bahwa perubahan ini harus dilaksanakan dengan hati-hati dan memerlukan sistem pengawasan yang ketat. Penguatan netralitas ASN tidak hanya bergantung pada perubahan struktur organisasi, tetapi juga pada upaya meningkatkan kapasitas dan kualitas individu ASN itu sendiri. Salah satu cara untuk mencapai ini adalah dengan memperkuat sistem merit dalam pengangkatan dan promosi ASN, yang berbasis pada kompetensi dan bukan pada kedekatan politik. Dalam hal ini, pemerintah pusat perlu memperkuat kebijakan yang menjamin pengangkatan pejabat berdasarkan rekam jejak profesional, pengalaman, dan kemampuan dalam mengelola birokrasi.
Penting juga untuk menciptakan budaya birokrasi yang lebih transparan dan akuntabel. Penguatan sistem pengawasan terhadap ASN menjadi kunci dalam memastikan bahwa tidak ada penyalahgunaan kekuasaan yang dapat merusak integritas dan netralitas birokrasi. Salah satu bentuk pengawasan yang dapat diterapkan adalah dengan melibatkan masyarakat dalam proses pemantauan kinerja ASN, melalui mekanisme pelaporan dan evaluasi yang dapat diakses oleh publik. Dengan adanya transparansi, ASN akan lebih terdorong untuk bekerja secara profesional, karena mereka tahu bahwa setiap langkah mereka akan diawasi oleh publik.
Sebagai bagian dari upaya menciptakan pemerintahan yang bersih, penguatan netralitas ASN melalui revisi UU No. 20 Tahun 2023 ini diharapkan dapat membawa perubahan yang signifikan dalam pelayanan publik. Selain mengurangi intervensi politik dalam birokrasi, langkah ini juga akan menciptakan iklim kerja yang lebih sehat dan adil, di mana setiap ASN memiliki kesempatan yang sama untuk berkarir berdasarkan kemampuannya, bukan karena latar belakang politiknya.
Namun, perubahan ini tidak akan berhasil jika tidak didukung oleh komitmen kuat dari pemerintah pusat untuk menjaga integritas birokrasi. Penerapan rotasi pejabat secara nasional, misalnya, harus dilengkapi dengan mekanisme yang jelas dan transparan, sehingga tidak ada celah bagi praktek KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Selain itu, sistem merit harus dijalankan dengan konsisten, dan pengawasan terhadap ASN harus diperkuat agar netralitas birokrasi tidak hanya sekadar wacana, tetapi menjadi kenyataan yang dapat dirasakan oleh masyarakat.
Pada akhirnya, penguatan netralitas ASN bukan hanya soal revisi peraturan, tetapi juga soal membangun budaya birokrasi yang berlandaskan pada nilai-nilai profesionalisme, integritas, dan pelayanan publik yang berkualitas. Jika hal ini dapat diwujudkan, maka negara akan memiliki birokrasi yang tidak hanya efisien, tetapi juga mampu memberikan pelayanan terbaik bagi rakyat tanpa terpengaruh oleh kepentingan politik sesaat. Revisi UU No. 20 Tahun 2023 adalah langkah awal yang sangat penting dalam mewujudkan tujuan tersebut, dan keberhasilan implementasinya akan menjadi penentu kualitas pemerintahan di Indonesia di masa depan.