Dalam teori awal, CSR bertujuan untuk memitigasi dampak negatif dari aktivitas bisnis dan memberikan kontribusi pada kesejahteraan masyarakat. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Howard Bowen pada 1953, yang menyarankan bahwa perusahaan harus memperhatikan pengaruhnya terhadap masyarakat dan lingkungan. Menurut teori ini, CSR bukan hanya sebuah kewajiban moral bagi perusahaan, tetapi juga sebuah langkah strategis yang dapat menciptakan nilai jangka panjang baik untuk perusahaan maupun untuk masyarakat. Porter dan Kramer (2011) dalam penelitiannya juga menekankan bahwa CSR yang dilaksanakan dengan tepat bisa menciptakan peluang bagi perusahaan untuk meningkatkan reputasi dan memperkuat hubungan dengan masyarakat.
Di Indonesia, banyak perusahaan besar, baik yang dimiliki negara (BUMN) maupun swasta, yang menerapkan CSR melalui berbagai program seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Tujuannya adalah untuk membantu masyarakat yang kurang beruntung, memperbaiki kualitas hidup mereka, serta menjaga kelestarian lingkungan. Namun, meskipun diharapkan dapat memberikan manfaat sosial yang luas, kenyataannya tidak sedikit program CSR yang justru tampak sebagai alat untuk tujuan lain, termasuk untuk memperbaiki citra perusahaan atau bahkan untuk kepentingan politik praktis.
Praktik ini, meskipun tidak selalu terbuka, mulai mendapat sorotan seiring dengan semakin intensnya penggunaan CSR dalam konteks politik. Misalnya, banyak program CSR yang dilakukan perusahaan BUMN yang berlangsung menjelang pemilihan umum atau pilkada. Berdasarkan laporan dari Transparency International Indonesia (2020), sekitar 35% dari dana CSR yang disalurkan oleh perusahaan-perusahaan besar, termasuk BUMN, terfokus di daerah-daerah yang memiliki potensi suara politik tinggi, terutama pada periode menjelang pemilu atau pilkada. Program-program ini sering kali dikaitkan dengan upaya untuk meraih dukungan politik dari masyarakat dengan memberikan bantuan langsung dalam bentuk pembangunan fasilitas umum atau pengadaan alat kesehatan. Keberadaan bantuan sosial ini, meskipun membawa dampak positif langsung bagi masyarakat, sering kali berisiko dimanfaatkan untuk kepentingan jangka pendek politik, mengingat penyalurannya yang sering kali bertepatan dengan agenda politik tertentu.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh J. L. M. P. Bock pada 2017 menunjukkan bahwa di banyak negara berkembang, CSR sering kali digunakan oleh perusahaan-perusahaan besar sebagai alat untuk memperkuat hubungan dengan politisi atau untuk meraih keuntungan politik tertentu. Data yang dirilis oleh Transparency International Indonesia pada 2020 menunjukkan bahwa sekitar 35% dari dana CSR yang disalurkan oleh perusahaan-perusahaan besar tidak dikelola dengan transparansi yang memadai, dan sebagian besar dari dana ini diarahkan ke daerah-daerah yang memiliki potensi suara politik tinggi. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang seberapa besar program CSR benar-benar memberikan dampak sosial yang maksimal, dan sejauh mana program tersebut lebih berfokus pada kepentingan politis semata.
Menggunakan teori stakeholder yang dikembangkan oleh R. Edward Freeman, kita bisa melihat bahwa perusahaan seharusnya memperhatikan kepentingan seluruh pihak yang terlibat dalam operasionalnya, termasuk masyarakat. Namun, dalam praktiknya, kepentingan politik atau ekonomi perusahaan lebih sering mendominasi keputusan-keputusan yang dibuat dalam pengelolaan CSR. Begitu juga dengan pendekatan political CSR yang dikembangkan oleh Matten dan Crane (2005), yang menyatakan bahwa CSR harus memperhitungkan dinamika politik dan hubungan antara perusahaan dan negara. Dalam konteks ini, CSR bisa menjadi arena di mana perusahaan dan politisi saling berkolaborasi untuk mencapai tujuan masing-masing, meskipun seringkali ini tidak sejalan dengan tujuan sosial yang semestinya.
Berdasarkan penelitian yang ada, dapat dilihat bahwa CSR sering kali tidak cukup memadai dalam memberikan manfaat yang diharapkan oleh masyarakat. Sebagian besar program CSR yang ada lebih sering dipilih berdasarkan pertimbangan bisnis atau politik, bukan semata-mata karena niat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ketika dana CSR dikelola tanpa transparansi yang cukup, atau ketika distribusinya dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu, maka tujuan utama CSR untuk memberdayakan masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan menjadi terabaikan.
Bila kita merenungkan lebih jauh, kita harus mengakui bahwa praktik penyalahgunaan CSR untuk kepentingan politik atau ekonomi memang merusak kredibilitas CSR itu sendiri. Padahal, CSR seharusnya memiliki potensi besar untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan memperbaiki kondisi sosial serta lingkungan. Agar CSR benar-benar memberikan manfaat yang maksimal, maka diperlukan pengawasan yang lebih ketat, baik dari pemerintah, masyarakat, maupun perusahaan itu sendiri. Pemerintah, misalnya, dapat mengeluarkan regulasi yang lebih jelas tentang bagaimana CSR harus dilaksanakan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang tinggi. Selain itu, perusahaan juga harus memiliki komitmen yang kuat untuk menjalankan CSR sesuai dengan tujuannya untuk memberikan manfaat sosial yang nyata bagi masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H