Pemerintah daerah memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan daerah dan penyediaan layanan publik yang berkualitas. Namun, dalam banyak kasus, kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah daerah (Pemda) sering kali terdistorsi oleh kepentingan politik yang lebih mengutamakan keuntungan jangka pendek bagi kelompok tertentu, ketimbang memenuhi kebutuhan masyarakat secara menyeluruh. Dominasi kepentingan politik dalam proses pembuatan kebijakan ini menimbulkan berbagai permasalahan yang menghambat efektivitas kebijakan dan merugikan masyarakat, serta memperlambat kemajuan daerah.
Kepentingan Politik
Dominasi kepentingan politik dalam kebijakan pemerintah daerah adalah fenomena yang kerap terlihat pada banyak kebijakan yang lebih berorientasi pada agenda politik daripada pada keberlanjutan pembangunan berbasis data. Politik lokal sering kali dipengaruhi oleh pertimbangan elektoral yang kuat, yang mengarah pada kebijakan yang tidak didorong oleh kebutuhan riil masyarakat, melainkan oleh kebutuhan untuk mempertahankan kekuasaan politik.
Menurut teori Multiple Streams Framework yang dikembangkan oleh John W. Kingdon (1995), kebijakan publik muncul sebagai hasil dari konvergensi tiga aliran utama: masalah, solusi, dan politik. Dalam konteks kebijakan Pemda, aliran politik sering kali mengarah pada kebijakan yang dipengaruhi oleh kepentingan politik lokal, yang lebih memprioritaskan keuntungan politik jangka pendek daripada solusi berbasis bukti dan kebutuhan masyarakat. Thomas R. Dye (2008) dalam bukunya Understanding Public Policy juga mengungkapkan bahwa kebijakan publik sering kali dipengaruhi oleh keputusan politisi yang bertujuan memenangkan dukungan dari kelompok tertentu, yang dapat mengarah pada kebijakan yang kurang efektif dan populis.
Contoh konkret dari fenomena ini bisa ditemukan dalam sejumlah kebijakan yang sering kali muncul menjelang pemilu atau pemilihan kepala daerah. Salah satunya adalah kebijakan bedah rumah yang diluncurkan di beberapa daerah, yang lebih berfokus pada pencitraan politik daripada pada pemenuhan kebutuhan riil masyarakat. Meskipun kebijakan ini penting, sering kali pengalokasian anggaran dan prioritasnya lebih didorong oleh kepentingan elektoral jangka pendek, ketimbang perencanaan berbasis data yang memadai untuk pembangunan yang berkelanjutan. Kebijakan serupa, seperti bantuan langsung tunai (BLT), juga sering kali muncul mendekati masa pemilu sebagai strategi politik untuk menarik dukungan, bukan sebagai respon terhadap analisis kebutuhan yang mendalam.
Kebijakan-kebijakan seperti ini, meskipun tampak populis, justru sering kali tidak efektif dalam jangka panjang, karena tidak dilandasi oleh bukti yang cukup dan tidak menjawab masalah struktural yang lebih besar di tingkat daerah.
Masalah yang Dihadapi
Dominasi politik dalam kebijakan pemerintah daerah (Pemda) sering kali menghasilkan kebijakan yang tidak didorong oleh data atau analisis yang memadai. Alih-alih berfokus pada solusi berbasis bukti untuk kebutuhan masyarakat, kebijakan yang dihasilkan lebih banyak berorientasi pada pencitraan politik dan pemenuhan tujuan jangka pendek, seperti meraih dukungan dari kelompok-kelompok tertentu menjelang pemilu. Hal ini menyebabkan ketidaksesuaian antara kebijakan yang diambil dengan kebutuhan riil masyarakat di daerah tersebut.
Berdasarkan data Indeks Kualitas Kebijakan (IKK) yang dirilis oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN), meskipun ada peningkatan kualitas kebijakan di beberapa daerah, mayoritas pemerintah daerah masih menghadapi tantangan besar dalam menghasilkan kebijakan yang efektif. Dari 584 instansi pemerintah yang terlibat dalam pengukuran IKK, hanya 38,70% yang melaksanakan penilaian mandiri, dengan lebih dari setengahnya (51%) memperoleh predikat "Kurang". Angka ini mencerminkan bahwa kebijakan yang dihasilkan oleh sebagian besar pemerintah daerah masih belum memenuhi standar kualitas yang diharapkan, dengan dominasi kepentingan politik yang lebih kuat ketimbang penggunaan analisis berbasis data.
Penelitian oleh Smith dan Dennis (2017) dalam Political Science Review juga menemukan bahwa politisasi kebijakan daerah sering kali mengarah pada kebijakan yang lebih populis dan tidak substantif. Akibatnya, kebijakan tersebut gagal mengatasi masalah struktural yang ada di daerah, seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, dan ketidakmerataan pembangunan.