Orang tua masa kini dihadapkan pada tantangan besar. Sementara anak-anak sibuk bermain gim daring, menonton konten TikTok, atau belajar melalui platform e-learning, banyak orang tua merasa seperti dinosaurus yang terdampar di zaman manusia modern. Penelitian dari Pew Research Center (2022) menunjukkan bahwa 73% orang tua di seluruh dunia merasa kurang memahami teknologi dibandingkan anak-anak mereka. Bahkan, banyak yang mengaku belum tahu bagaimana cara menggunakan aplikasi komunikasi sederhana, apalagi memahami algoritma media sosial.
Dampaknya? Orang tua sering kali kehilangan kendali terhadap aktivitas digital anak mereka. Cyberbullying, paparan konten tidak pantas, hingga risiko adiksi gadget menjadi ancaman nyata. Sebuah survei oleh Kominfo (2023) menemukan bahwa 58% orang tua di Indonesia merasa tidak cukup terampil untuk memantau aktivitas daring anak-anak mereka. Ironisnya, sebagian besar justru menyerahkan sepenuhnya pengawasan teknologi kepada anak itu sendiri.
Mengapa Literasi Digital Itu Penting
Literasi digital tidak hanya soal tahu cara membuka WhatsApp atau mengunggah foto di Instagram. Lebih dari itu, literasi digital adalah kemampuan untuk memahami, mengevaluasi, dan menggunakan teknologi secara bijak. Menurut Teori Literasi Digital yang dikembangkan oleh Paul Gilster (1997), kemampuan ini mencakup empat aspek utama: pengetahuan teknologi dasar, kemampuan evaluasi informasi, komunikasi digital, dan kesadaran akan etika daring. Dalam konteks orang tua, literasi digital adalah bekal penting untuk mendampingi anak-anak menghadapi dunia maya yang kompleks.
Selain itu, literasi digital juga membuka peluang bagi orang tua untuk terlibat lebih aktif dalam kehidupan anak-anak mereka. Bayangkan jika seorang ibu tahu cara membuat video kreatif bersama anaknya atau seorang ayah mampu membantu mencari materi pelajaran online yang relevan. Ini bukan hanya meningkatkan hubungan emosional, tetapi juga memastikan anak-anak mendapatkan manfaat maksimal dari teknologi.
Tantangan di Lapangan
Namun, mari kita jujur. Mengajarkan literasi digital kepada orang tua tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pertama, ada faktor kesenjangan generasi. Anak-anak Gen Z dan Alpha tumbuh bersama teknologi, sementara orang tua mereka, khususnya dari Generasi X atau Baby Boomers, tumbuh dengan mesin tik dan telepon rumah. Akibatnya, banyak orang tua merasa "ketinggalan kereta" dan enggan belajar.
Kedua, stigma sosial juga menjadi penghalang. Ada anggapan bahwa orang tua yang tidak melek teknologi adalah sesuatu yang wajar. Padahal, seperti halnya membaca atau menulis, melek digital adalah keterampilan dasar yang harus dimiliki semua orang, tidak peduli usia.
Ketiga, keterbatasan akses pelatihan. Banyak program literasi digital lebih berfokus pada anak-anak dan remaja. Padahal, orang tua juga membutuhkan pelatihan khusus yang dirancang sesuai dengan kebutuhan mereka. Data dari Kemendikbud (2022) menunjukkan bahwa hanya 18% orang tua yang pernah mengikuti pelatihan literasi digital formal.
Solusi untuk Literasi Digital Orang Tua