Kota-kota besar di Indonesia, terutama Jakarta, kini disibukkan dengan persoalan infrastruktur yang semakin rumit, salah satunya adalah semrawutnya kabel-kabel yang menjuntai di tiang-tiang listrik dan telekomunikasi. Kabel-kabel ini, yang mengalirkan layanan penting seperti listrik dan internet, tidak hanya menjadi pemandangan yang mengganggu estetika kota, tetapi juga berpotensi menimbulkan bahaya. Semrawutnya kabel ini mencerminkan adanya disharmoni dalam koordinasi antar lembaga yang seharusnya bekerja bersama untuk mewujudkan tata kelola infrastruktur yang lebih teratur dan aman.
Kurangnya Koordinasi Antar Lembaga
Salah satu penyebab utama semrawutnya kabel di perkotaan adalah kurangnya koordinasi antara lembaga dan perusahaan yang terlibat dalam pembangunan dan pengelolaan infrastruktur. Di Indonesia, terdapat berbagai pihak yang memiliki wewenang atas kabel yang dipasang, mulai dari PLN (Perusahaan Listrik Negara), perusahaan telekomunikasi seperti Telkomsel dan Indosat, hingga Dinas Perhubungan yang mengawasi penataan kota. Setiap lembaga ini bekerja dengan mandat dan anggaran yang berbeda, tanpa adanya mekanisme koordinasi yang jelas.
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Indonesian Institute for Public Policy Studies (IIPPS), dalam laporan mereka yang diterbitkan pada tahun 2023, sebagian besar proyek infrastruktur kabel dan tiang listrik di kota besar Indonesia dilakukan tanpa perencanaan menyeluruh atau koordinasi antara sektor yang berbeda. Hal ini berujung pada banyaknya kabel yang tidak terorganisir dengan baik, bahkan banyak yang terpasang sembarangan di luar standar keselamatan. Sebagai contoh, dalam proyek instalasi kabel fiber optik di Jakarta, ditemukan lebih dari 30% kabel yang dipasang tanpa izin resmi dan tidak sesuai dengan pedoman tata ruang kota.
Interdependensi dan Kebijakan Terpadu
Koordinasi antar lembaga bukan hanya sekadar masalah administrasi, tetapi juga berkaitan dengan Teori Interdependensi dalam kebijakan publik. Dalam konteks ini, interdependensi mengacu pada saling ketergantungan antara berbagai sektor yang berperan dalam pengelolaan infrastruktur kota. Seperti yang diungkapkan oleh James E. Anderson dalam bukunya Public Policymaking: An Introduction (2015), kebijakan publik yang efektif membutuhkan adanya kerjasama dan komunikasi yang harmonis antar berbagai aktor pemerintah dan swasta. Jika sektor-sektor ini bekerja dalam silo yang terpisah, maka akan sulit tercapai solusi yang terintegrasi dan holistik, seperti dalam kasus pengelolaan kabel di Jakarta.
Teori ini menggambarkan bahwa kebijakan yang berhasil dalam pengelolaan infrastruktur kota membutuhkan kebijakan terpadu yang melibatkan berbagai lembaga, baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun sektor swasta. Tanpa adanya integrasi ini, masalah yang sederhana bisa berkembang menjadi persoalan besar, seperti semrawutnya kabel.
Bahaya Keamanan dan Estetika Kota
Semrawutnya kabel bukan hanya masalah estetika, tetapi juga berpotensi mengancam keselamatan publik. Kabel yang tergantung sembarangan, terutama kabel listrik, memiliki risiko besar terjadinya musibah seperti kebakaran atau sengatan listrik. Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta, pada tahun 2022 tercatat lebih dari 50 insiden kebakaran yang disebabkan oleh kabel listrik yang terkelupas atau putus, beberapa di antaranya bahkan melibatkan korban jiwa.
Dari sisi ekonomi, semrawutnya kabel juga merugikan perekonomian kota. Infrastruktur kota yang tidak terorganisir dengan baik dapat mengurangi daya tarik kota bagi investor dan turis. Estetika kota yang terganggu akibat kabel-kabel yang berantakan bisa berdampak negatif pada citra kota sebagai destinasi bisnis dan wisata, seperti yang tercatat dalam laporan World Economic Forum 2022 yang mengidentifikasi Jakarta sebagai salah satu kota dengan masalah tata kota yang mendalam, termasuk soal infrastruktur kabel yang buruk.