Mohon tunggu...
Saiful Bahri. M.AP
Saiful Bahri. M.AP Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Masalah Sosial, Politik dan Kebijakan Publik

CPIS - Center for Public Interest Studies

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fenomena Cancel Culture: "Candaan" Gus Miftah Kepada Penjual Es Teh Manis

6 Desember 2024   21:59 Diperbarui: 6 Desember 2024   22:10 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Miftah Maulana Habiburrahman dan Sunhaji, bapak penjual es teh bertemu di kediaman Sunhaji, Rabu, 4/12/2024 (https://nu.or.id/)

Fenomena cancel culture kembali mengemuka dalam kasus candaan Gus Miftah kepada seorang penjual es the manis. Dalam sebuah video yang beredar di media sosial, Gus Miftah membuat candaan yang dianggap sebagian orang sebagai merendahkan pekerjaan tertentu. Meskipun niatnya mungkin sekadar humor tanpa maksud ofensif, peristiwa ini memicu perdebatan luas. Sebagian masyarakat mengecam candaan tersebut dan menyerukan boikot terhadap Gus Miftah, sementara yang lain membelanya sebagai bagian dari kebebasan berbicara. Kasus ini mencerminkan dinamika kompleks cancel culture, yang sering kali berada di persimpangan antara akuntabilitas sosial dan ancaman terhadap kebebasan berekspresi.

Cancel culture dapat dipahami sebagai manifestasi dari akuntabilitas kolektif di era digital. Dalam konteks kasus ini, masyarakat yang merasa tersinggung oleh candaan Gus Miftah menggunakannya sebagai alat untuk menyampaikan keberatan dan menuntut permintaan maaf. Secara teoritis, fenomena ini berkaitan dengan konsep call-out culture, di mana individu atau kelompok dipanggil untuk bertanggung jawab atas tindakan yang dianggap melanggar norma sosial atau moral. Dalam masyarakat modern yang semakin peka terhadap isu sensitivitas, cancel culture menjadi salah satu mekanisme untuk menegakkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan. Candaan yang dianggap merendahkan pekerjaan tertentu, misalnya, dilihat sebagai bentuk diskriminasi simbolik yang memperkuat stigma sosial terhadap profesi tertentu.

Namun, cancel culture juga memiliki sisi gelap yang tidak bisa diabaikan. Dalam kasus Gus Miftah, seruan boikot sering kali dilakukan tanpa mempertimbangkan konteks penuh dari pernyataannya. Ruang media sosial, yang sering kali didominasi oleh respons emosional dan tekanan massa, tidak selalu memberikan ruang yang cukup untuk klarifikasi atau diskusi yang rasional. Dalam hal ini, fenomena cancel culture dapat berubah menjadi penghukuman tanpa proses, di mana tokoh yang menjadi sasaran kehilangan kesempatan untuk menjelaskan atau memperbaiki kesalahan mereka. Penelitian oleh Crockett (2017) menunjukkan bahwa emosi moral seperti kemarahan sering kali menjadi pendorong utama dalam dinamika cancel culture, tetapi tidak selalu menghasilkan perubahan perilaku yang konstruktif.

Kasus ini juga menyoroti tantangan kebebasan berekspresi di era digital. Candaan Gus Miftah, meskipun mungkin dianggap tidak pantas oleh sebagian orang, juga bisa dilihat sebagai bagian dari gaya komunikasinya yang informal dan santai. Kritik yang berlebihan terhadap bentuk komunikasi ini berisiko mempromosikan self-censorship, di mana individu menjadi terlalu takut untuk berbicara karena khawatir disalahartikan atau dihukum oleh opini publik. Dalam konteks ini, cancel culture dapat mempersempit ruang diskursus publik dan menghalangi perdebatan yang sehat.

Di sisi lain, kasus ini juga menjadi pengingat bahwa kebebasan berbicara harus disertai dengan tanggung jawab. Sebagai tokoh publik, Gus Miftah memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat luas, termasuk kelompok yang mungkin merasa direndahkan oleh candaan tersebut. Dalam situasi seperti ini, penting bagi tokoh publik untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan pesan, terutama dalam konteks budaya digital di mana informasi dapat dengan cepat menyebar tanpa filter. Respons Gus Miftah, yang kemudian meminta maaf atas candaannya, menunjukkan bahwa cancel culture dapat berfungsi sebagai mekanisme koreksi yang mendorong refleksi dan perubahan.

Fenomena ini secara umum pada akhirnya mencerminkan dilema yang lebih besar tentang bagaimana masyarakat mengelola konflik nilai di era digital. Cancel culture, jika dikelola secara konstruktif, dapat menjadi alat untuk meningkatkan akuntabilitas dan memperjuangkan keadilan sosial. Namun, jika digunakan secara berlebihan, ia berisiko menciptakan iklim yang represif dan merusak dialog. Penting bagi semua pihak untuk melihat fenomena secara seimbang, dengan menghargai akuntabilitas sekaligus melindungi kebebasan berbicara. Transformasi budaya digital hanya akan berhasil jika kita mampu menjadikan cancel culture sebagai ruang dialog yang inklusif, bukan sekadar arena penghukuman massa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun