partai politik memainkan peran yang sangat strategis sebagai pilar utama dalam tata kelola pemerintahan. Di Indonesia, partai politik memiliki tanggung jawab besar dalam mendorong perubahan tata kelola pemerintahan yang adaptif, transparan, dan akuntabel, sejalan dengan visi besar menuju Indonesia Emas 2045 seperti yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2045. Namun, meski potensinya besar, fungsi partai politik sering kali terganjal oleh berbagai kendala struktural dan kultural yang menghambat partisipasi mereka dalam upaya transformasi ini.
Dalam sistem demokrasi modern,Secara teoritis, partai politik berperan sebagai penghubung utama antara masyarakat dan negara. Robert Dahl, dalam teori demokrasinya, menyebut partai politik sebagai instrumen penting dalam agregasi dan artikulasi kepentingan rakyat, penyedia kader pemimpin, dan penjaga proses pengawasan pemerintahan. Dengan kata lain, partai politik menjadi jembatan antara aspirasi masyarakat dengan kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah. Namun, di Indonesia, realitasnya jauh dari ideal. Lembaga Survei Indonesia (LSI) mencatat bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik cenderung rendah. Hanya sekitar 30 hingga 40 persen responden yang percaya bahwa partai politik benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat.
Salah satu akar masalahnya adalah rendahnya party ID atau identifikasi partai, yakni ikatan emosional dan ideologis masyarakat terhadap partai politik. Fenomena ini menunjukkan bahwa hubungan antara partai politik dan konstituen mereka cenderung lemah dan transaksional. Kondisi ini diperburuk oleh maraknya praktik korupsi dan politik uang yang menjauhkan partai dari prinsip-prinsip demokrasi yang sehat. Transparency International, melalui Indeks Persepsi Korupsi (CPI) tahun 2023, menempatkan Indonesia dengan skor 34/100, sebuah indikator kuat bahwa integritas politik masih menjadi masalah besar.
Selain tantangan struktural seperti lemahnya regulasi pendanaan partai dan kurangnya transparansi, Indonesia juga menghadapi hambatan kultural berupa patronase politik dan money politics. Dalam banyak kasus, alokasi jabatan pemerintahan sering kali didasarkan pada afiliasi politik alih-alih meritokrasi. Akibatnya, sistem pemerintahan menjadi rentan terhadap konflik kepentingan, sementara kebijakan publik sering kali tidak berorientasi pada kebutuhan masyarakat luas. Fenomena ini tidak hanya menciptakan lingkaran setan dalam sistem politik, tetapi juga menghambat lahirnya pemerintahan yang profesional dan berorientasi pada hasil.
Transformasi tata kelola pemerintahan menjadi agenda utama dalam RPJPN 2045, yang menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Dalam dokumen ini, penggunaan teknologi digital, reformasi birokrasi, dan penguatan demokrasi disebutkan sebagai kunci untuk mewujudkan tata kelola yang unggul. Namun, transformasi ini hanya dapat terwujud jika partai politik mampu memainkan peran sentralnya. Partai harus menjadi agen perubahan budaya politik yang tidak hanya fokus pada kekuasaan tetapi juga pada penguatan demokrasi dan peningkatan kualitas kebijakan publik.
Reformasi internal partai politik menjadi salah satu langkah penting dalam mendukung transformasi ini. Partai perlu mengadopsi mekanisme rekrutmen berbasis merit untuk memastikan lahirnya pemimpin yang kompeten dan berintegritas. Selain itu, pendidikan politik bagi kader dan simpatisan juga harus menjadi prioritas. Partai politik harus menjadi institusi yang mendidik, bukan sekadar kendaraan elektoral. Teknologi digital, seperti yang diusulkan dalam RPJPN 2045, juga harus dimanfaatkan oleh partai untuk meningkatkan transparansi dalam pengelolaan dana kampanye dan dana operasional mereka.
Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa transformasi partai politik bukanlah sesuatu yang mustahil. Di Jerman, misalnya, sistem pendanaan partai yang transparan dan pengawasan ketat oleh lembaga independen telah mendorong akuntabilitas partai politik. Sementara di Korea Selatan, partisipasi publik melalui platform digital dalam kampanye politik dan pengambilan keputusan telah memperkuat hubungan antara partai dan masyarakat. Indonesia dapat belajar dari pengalaman ini dengan memperkuat regulasi yang mengatur pendanaan partai dan mendorong pelibatan masyarakat dalam proses politik.
Selain reformasi internal, partai politik juga harus memperbaiki relasinya dengan pemerintah. Menurut teori Principal-Agent, pemerintah sebagai agen seharusnya bekerja atas mandat rakyat yang disalurkan melalui partai politik. Namun, jika partai gagal menjalankan fungsi pengawasan, pemerintah cenderung menyimpang dari mandat tersebut. Dalam konteks ini, penguatan fungsi legislatif menjadi sangat penting untuk memastikan mekanisme check and balance yang efektif.
Peran partai politik dalam transformasi tata kelola pemerintahan bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga persoalan moral dan visi bersama. Jika partai politik mampu menempatkan dirinya sebagai pelaku utama perubahan, transformasi ini dapat menjadi kenyataan. Dengan tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, dan berorientasi pada pelayanan publik, visi Indonesia Emas 2045 tidak lagi sekadar mimpi. Partai politik harus memahami bahwa perubahan yang mereka dorong hari ini akan menjadi dasar bagi Indonesia yang lebih maju, inklusif, dan demokratis di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H