Politik pragmatis kini menjadi ciri utama sistem politik modern, baik di Indonesia maupun di berbagai negara lainnya. Pendekatan ini menempatkan hasil langsung dan manfaat praktis di atas nilai-nilai ideologis, dengan dalih memenuhi kebutuhan masyarakat secara cepat dan efisien.Â
Meskipun pragmatisme menawarkan solusi instan untuk berbagai tantangan politik, dominasi pendekatan ini justru menciptakan efek samping yang serius: melemahnya identifikasi partai (party id), turunnya loyalitas terhadap partai, hingga meningkatnya apatisme politik di kalangan masyarakat.
Fenomena ini terlihat dari rendahnya keterikatan pemilih pada partai politik. Data survei menunjukkan bahwa sebagian besar pemilih cenderung memilih berdasarkan pertimbangan pragmatis, seperti keuntungan material atau popularitas kandidat, ketimbang pada ikatan ideologis.Â
Tren ini mengindikasikan pergeseran fungsi partai politik yang seharusnya menjadi penjaga ideologi, menjadi sekadar mesin penggalangan suara.
Dalam konteks ini, mengurangi dominasi politik pragmatis menjadi langkah penting untuk memperkuat fondasi demokrasi. Partai politik harus kembali memainkan peran strategisnya sebagai pengusung nilai dan ideologi, bukan sekadar kendaraan elektoral.
Dominasi Pragmatisme dalam Politik
Pragmatisme dalam politik memprioritaskan hasil nyata, seperti janji pembangunan infrastruktur atau bantuan sosial, dibandingkan dengan penguatan nilai-nilai ideologis yang menjadi landasan jangka panjang.Â
Dalam praktiknya, pragmatisme sering kali mendominasi perilaku partai politik, yang lebih mengutamakan kepentingan elektoral daripada visi dan misi ideologis mereka.Â
Hal ini tercermin dari koalisi politik yang dibentuk berdasarkan kalkulasi praktis, bukan pada keselarasan nilai atau program kerja.
Fenomena ini berdampak langsung pada pola perilaku pemilih. Pemilih cenderung memilih berdasarkan manfaat langsung yang dijanjikan kandidat atau partai politik, bukan atas dasar loyalitas ideologis.Â