Mohon tunggu...
Saiful Bahri. M.AP
Saiful Bahri. M.AP Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Masalah Sosial, Politik dan Kebijakan Publik

CPIS - Center for Public Interest Studies

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kebijakan Pendidikan Inklusif dan Realitas Peningkatan Angka Putus Sekolah

23 November 2024   10:35 Diperbarui: 23 November 2024   10:39 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebijakan pendidikan inklusif yang bertujuan untuk memastikan setiap anak mendapatkan akses setara terhadap pendidikan berkualitas telah digulirkan sejak awal tahun 2000-an. Terbitnya Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang mengatur hak setiap anak untuk memperoleh pendidikan tanpa diskriminasi, menjadi angin segar untuk masa depan Indonesia. Kebijakan ini menjadi dasar bagi upaya memperluas akses pendidikan, termasuk bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus dan mereka yang berasal dari daerah terpencil dan kurang berkembang.

Penguatan terhadap kebijakan pendidikan inklusif berlanjut pada tahun 2014, dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2014, yang merevisi Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005. Perubahan ini menekankan standar yang lebih baik untuk pendidikan inklusif, dengan mengakomodasi kebutuhan anak-anak dari berbagai latar belakang sosial dan fisik, serta menyediakan kerangka yang lebih komprehensif untuk memastikan partisipasi aktif semua anak dalam sistem pendidikan.

Puncaknya, kebijakan pendidikan inklusif semakin diperkuat melalui Kebijakan Merdeka Belajar yang diperkenalkan oleh Kemendikbudristek pada tahun 2020. Kebijakan ini memberikan fleksibilitas lebih bagi siswa, termasuk mereka yang berasal dari daerah terpencil dan keluarga kurang mampu, dengan cara mengurangi batasan tradisional dalam metode pembelajaran dan memberi lebih banyak kebebasan dalam memilih jalur pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Namun, meskipun tujuan kebijakan pendidikan inklusif adalah untuk mengurangi angka putus sekolah, kenyataannya persentase angka putus sekolah justru mengalami kenaikan dalam beberapa tahun terakhir. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angka putus sekolah di Indonesia meningkat pada tahun ajaran 2022/2023 dibandingkan 2023/2024. Pada tingkat SD, angka putus sekolah meningkat dari 0,17% pada 2022 menjadi 0,19% pada 2023. Sementara itu, di SMP, angka putus sekolah naik dari 0,14% menjadi 0,18%. Untuk jenjang SMA, terjadi penurunan angka putus sekolah dari 0,20% di 2022 menjadi 0,19% di 2023, namun angka putus sekolah di SMK mengalami kenaikan dari 0,23% menjadi 0,28% pada periode yang sama.

Sementara itu, dari laporan UNICEF Indonesia terungkap bahwa di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar), seperti Papua, data jumlah anak yang tidak bersekolah dapat mencapai 20,7%. Angka ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan provinsi lain yang lebih maju, seperti Daerah Istimewa Yogyakarta, yang hanya mencatatkan angka 1,3% anak yang tidak bersekolah. Disparitas ini menunjukkan kesenjangan signifikan dalam akses pendidikan antara daerah maju dan daerah 3T yang membutuhkan perhatian lebih dalam hal infrastruktur, sumber daya pendidikan, dan kebijakan yang dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia.

Fenomena ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk kemiskinan yang memaksa anak-anak untuk bekerja demi membantu keluarga, kurangnya infrastruktur pendidikan di daerah terpencil, serta kualitas pendidikan yang rendah di sebagian wilayah. Meskipun kebijakan pendidikan inklusif telah diperkenalkan dengan harapan memperbaiki akses pendidikan, tantangan struktural dan kesenjangan sosial yang ada di lapangan menghambat implementasinya secara efektif.

Saran Kebijakan

Untuk mengurangi angka putus sekolah dan memperkecil disparitas antar daerah terkait akses pendidikan, beberapa langkah kebijakan yang dapat diambil antara lain:

  • Penguatan Infrastruktur Pendidikan di Daerah 3T

Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur pendidikan di daerah-daerah 3T harus menjadi prioritas utama. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap sekolah, terutama di daerah terpencil, memiliki fasilitas yang memadai, termasuk ruang kelas yang layak, akses listrik, sanitasi yang baik, dan perangkat pembelajaran yang mendukung. Selain itu, penyediaan jaringan internet di daerah-daerah terpencil sangat penting agar siswa dapat mengakses materi pembelajaran secara online, mengingat digitalisasi pendidikan semakin berkembang.

  • Pendanaan yang Merata dan Berkeadilan

Pemerintah perlu menetapkan kebijakan alokasi anggaran pendidikan yang lebih merata, dengan memperhatikan kebutuhan daerah-daerah yang masih tertinggal. Program Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan bisa diprioritaskan untuk daerah 3T guna memastikan bahwa semua sekolah, baik di kota maupun pedesaan, mendapat dana yang cukup untuk operasional dan pengembangan kualitas pendidikan.

  • Pelatihan dan Pengembangan Tenaga Pendidik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun