Mohon tunggu...
Saiful Bahri. M.AP
Saiful Bahri. M.AP Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Masalah Sosial, Politik dan Kebijakan Publik

CPIS - Center for Public Interest Studies

Selanjutnya

Tutup

Politik

Manifestasi Teori Elitisme dalam Praktik Revisi UU Pemilu

22 November 2024   07:00 Diperbarui: 22 November 2024   07:11 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://inilahbanten.co.id/

Teori Elitisme yang dikemukakan oleh Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca, menyatakan bahwa dalam setiap sistem politik, kekuasaan akan selalu terkonsentrasi pada sekelompok kecil individu atau kelompok elit. Meskipun terdapat sistem demokrasi yang terbuka, kekuasaan politik yang sesungguhnya tetap berada di tangan elit yang mengontrol sumber daya. Dalam konteks pemilu, teori elitisme mengindikasikan bahwa meskipun terdapat partisipasi publik yang luas, keputusan-keputusan politik yang signifikan sering kali dibuat oleh kelompok elit yang memiliki akses lebih besar terhadap proses pembuatan kebijakan.

Teori ini relevan dalam menganalisis revisi UU Pemilu di Indonesia, karena seringkali keputusan revisi didorong oleh kepentingan kelompok elit politik, baik dari partai politik besar maupun aktor-aktor yang mengendalikan kekuasaan. Revisi UU Pemilu, meskipun diklaim untuk memperbaiki sistem demokrasi, terkadang berpotensi memperkuat posisi elit dan membatasi keberagaman partai politik, yang pada akhirnya dapat mengurangi kualitas representasi politik rakyat.

Indikasi Manifestasi Teori Elitisme

 Revisi UU Pemilu di Indonesia, yang telah dilakukan sebanyak lima kali sejak tahun 1999, dapat diindikasikan sebagai manifestasi dari teori elitisme. Setiap kali revisi dilakukan, keputusan-keputusan yang dihasilkan sering kali memperkuat dominasi partai-partai besar dan aktor-aktor elit dalam politik Indonesia. Beberapa indikasi diantaranya:

  • Pengaturan Ambang Batas Pencalonan Presiden

Contoh konkret dari manifestasi elitisme dalam UU Pemilu adalah pengaturan presidential threshold, yang pertama kali diatur dalam UU No. 12 Tahun 2003 dan diperketat dalam UU No. 7 Tahun 2017. Ambang batas pencalonan presiden yang tinggi (20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional) hanya memungkinkan partai politik besar atau koalisi partai besar untuk mengajukan calon presiden. Hal ini secara langsung mengurangi peluang partai-partai kecil untuk berpartisipasi dalam pemilihan presiden, yang pada gilirannya memperkuat posisi elit politik yang sudah berkuasa. Teori elitisme menjelaskan bahwa pengaturan semacam ini berfungsi untuk mempertahankan kekuasaan di tangan segelintir elit politik, yang memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya dan kontrol politik.

  • Pengaturan Ambang Batas Parlemen

Ketentuan parliamentary threshold (ambang batas parlemen) juga memperlihatkan bagaimana revisi UU Pemilu seringkali dianggap menguntungkan partai-partai besar. Dalam UU No. 12 Tahun 2003, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 2,5%, yang kemudian dinaikkan menjadi 4% dalam UU No. 7 Tahun 2017. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi fragmentasi partai politik, namun pada kenyataannya, hal ini cenderung menyulitkan partai-partai kecil untuk lolos ke parlemen, mempersempit representasi politik, dan memperkuat dominasi elit yang memiliki sumber daya politik lebih besar. Seiring waktu, kebijakan ini mengarah pada pengonsolidasiannya kekuasaan di tangan partai-partai besar, yang lebih mudah memperoleh dukungan finansial dan sosial.

  • Pengetatan Administrasi Partai Baru Peserta Pemilu

Pengetatan administrasi ini adalah contoh jelas dari teori elitisme, di mana partai-partai besar yang sudah mapan cenderung mempertahankan posisinya dengan menciptakan hambatan yang lebih besar bagi partai-partai baru atau kelompok politik alternatif. Dalam pandangan elitisme, kelompok elit -yang dalam hal ini merujuk pada partai-partai besar dan aktor politik yang memiliki kekuatan besar di tingkat nasional dan lokal- akan terus memperkuat pengaruh mereka dengan cara membuat sistem lebih sulit diakses oleh calon-calon pesaing baru. Ini juga menciptakan semacam barrier to entry bagi kelompok-kelompok baru yang ingin masuk ke dalam arena politik.

Dengan adanya persyaratan administratif yang ketat, partai-partai baru yang tidak memiliki sumber daya finansial atau jaringan luas akan kesulitan untuk memenuhi standar yang ditetapkan, meskipun mereka mungkin memiliki basis dukungan politik yang signifikan di tingkat lokal atau daerah tertentu. Sebaliknya, partai-partai besar yang sudah memiliki infrastruktur yang mapan dapat dengan mudah memenuhi persyaratan tersebut, sehingga mereka tetap menguasai ruang politik utama. Ini memperkuat dominasi politik kelompok elit, yang tidak hanya mempertahankan posisi mereka tetapi juga menghalangi munculnya alternatif politik.

  • Pemilu Serentak

Pengenalan pemilu serentak dalam UU No. 7 Tahun 2017, yang menyelenggarakan pemilihan presiden, legislatif, dan DPD dalam satu waktu, juga dapat dianggap sebagai manifestasi dari teori elitisme. Meskipun bertujuan untuk efisiensi dan penyederhanaan proses politik, pemilu serentak sering kali menguntungkan partai-partai besar yang memiliki sumber daya lebih untuk menjalankan kampanye pada berbagai level pemilihan secara simultan. Partai-partai kecil dan calon independen yang tidak memiliki struktur atau dana yang memadai sering kali kesulitan untuk bersaing secara efektif dalam pemilu serentak, sehingga semakin memperkuat posisi elit politik yang sudah mapan.

  • Pembatasan Dana Kampanye

Dalam perspektif teori elitisme, pembatasan dana kampanye berfungsi sebagai mekanisme untuk memperkuat dominasi partai politik yang telah mapan, yang memiliki sumber daya lebih banyak dibandingkan partai-partai kecil. Partai besar yang memiliki akses ke jaringan donor kaya dan organisasi yang terstruktur akan lebih mudah menyesuaikan diri dengan pembatasan dana kampanye. Mereka bisa memanfaatkan relasi bisnis, media, dan donor politik untuk memastikan bahwa meskipun ada pembatasan formal terhadap anggaran kampanye, mereka masih mampu menjalankan kampanye yang efektif dan luas. Sementara itu, partai yang tidak memiliki dukungan finansial yang sama akan kesulitan untuk menyebarkan pesan kampanye mereka ke pemilih secara luas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun