Istilah kasus Cicak vs Buaya kembali mengudara di atmosfer perhelatan kaum penegak hukum di Indonesia. Namun sekuel kali ini sedikit berbeda dari sebelumnya. Tidak seperti kasus pertama, pihak Polri memulai intervensinya dengan dalih kolaborasi bersama KPK untuk mengungkap kasus korupsi dalam hal pengadaan simulator SIM Direktorat Lalu Lintas Polri. Simulator SIM Satu hal yang dapat saya tegaskan bahwa siapapun masyarakat kita tidak akan ikhlas apabila suatu instansi pemerintah yang terjangkit suatu perkara (dalam hal ini korupsi) melakukan pemeriksaan pada tubuh mereka sendiri. Apalagi aparat penegak hukum seperti Polri yang memeliki track-record hebat dalam perkara penggendutan rekening, suap, dan lain-lain. Ini jelas aneh dan patut diselediki. Lantas mengapa kerja KPK bisa diganggu dengan campur tangan Polri? Apa makna dari independensi KPK yang memiliki kewenangan untuk memeriksa kasus tersebut? Bagaimana implementasi pasal 50 ayat 3 UU Nomor 30 Tahun 2002? Wewenang Kepolisian atau Kejaksaan untuk memeriksa suatu kasus harusnya selesai apabila KPK telah memulai penyidikan. Saya sepakat dengan perkataan Bapak Wakil Ketua DPR RI Pramono Anung mengenai kekuatan KPK untuk memegang kekuasaan dalam perkara korupsi. KPK seharusnya tidak boleh membagi atau merelakan kewenangan oleh pihak siapapun. Contohnya seperti pembuatan MoU, atau bernegosiasi dengan pihak lain terkait penyelesaian perkara korupsi. Ini sama saja melemahkan KPK itu sendiri. Kesepahaman atau negosiasi harusnya terbatas pada prosedural, bukan wewenang. Walau begitu, Pihak Polri tetap saja bebal untuk melakukan penyidikan biarpun telah banyak pihak luar menitikberatkan kesalahan ada pada Polri. Media-media juga mengklaim Polri terlalu ber-ego tinggi untuk menyerahkan kasus ini kepada KPK. Bagi saya hal ini sangat menggelitik mengingat ternyata bukan hanya kehidupan kampus saja yang memelihara arogansi organ-organ internalnya, melainkan juga elitis pemerintah setingkat Polri pun masih memberikan contoh buruk dalam kinerjanya. Kolaborasi sebagai Benteng Kekufuran Kabut perkara ini sampai sekarang masih belum menipis mengingat banyak spekulasi yang dilempar media-media terkait inti permasalahan yang sesungguhnya. Ini terkesan wajar. Siapa yang tidak heran dengan kelakuan Polri yang tiba-tiba ikut-ikutan menetapkan nama-nama target pemeriksaan mereka ketika KPK menetapkan oknum DS sebagai aktor utama penggelapan uang ratusan miliar ini? Alih-alih berkolaborasi, Polri malah terkesan menutup-nutupi kasus korupsi tersebut. Mungkin banyak rahasia yang bisa diungkap dari perkara ini. Entah distribusi dana simulator yang terlanjur sampai ke tangan-tangan oknum yang berkaitan, atau sengaja direkayasa untuk menutupi kejahatan besar lain di dalamnya. Mungkin di pihak pengusaha, masih ada penyelewangan terkait proses penentuan tender sampai pada tahap produksi alat. Katakanlah seperti gratifikasi ilegal antarpihak pejabat dengan pengusaha, atau upaya-upaya membolehkan uang-uang siluman bergentayangan di tangan para koruptor. Ini semua jelas menentang fungsi aparat penegak hukum itu sendiri, merusak cita-cita keadilan bangsa. Kurangnya Dukungan Moral Konflik ini sempat dibawa ke Mahkamah Konstitusi dengan tujuan memeriksa undang-undang yang berkaitan dengan wewenang pemeriksaan perkara tersebut. Hal yang pertama perlu kita ketahui ialah hanya lembaga negara yang tercantum di dalam UUD yang konfliknya bisa dibawa ke MK, sedangkan KPK sendiri belum terdaftar di dalamnya. Hal lainnya adalah adanya undang-undang khusus yang mengatur tentang prime-authority KPK untuk menyelesaikan perkara korupsi. Ini jelas harus dipatuhi oleh pihak Kepolisian dan Kejaksaan. Kondisi ini harusnya menjadi benefit bagi KPK. Publik harusnya jadi lebih yakin akan peran dan kekuatan KPK. Namun sekarang, isu-isu yang muncul selanjutnya seperti tidak ada perkembangan; tetap berkutat dengan konflik tanpa penyelesaian konkrit. Situasi ini menuntut dukungan-dukungan dari para lembaga negara lain. Contohnya seperti pimpinan MK yang sebenarnya bisa memberikan pernyataan langsung ke publik mengenai otoritas KPK yang tidak bisa diganggu secara konstitutif. Ini akan menjadikan morale-booster bagi KPK dan pendukungnya untuk memperjuangkan hak mereka sekaligus menepis adanya kecacatan konstitusi yang mengatur perkara ini. SBY pun harusnya berani memberikan dukungan langsung ke KPK. Bukan malah mengirim Menteri Koordinatornya untuk memediasi konflik ini. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan tidak memiliki kekuasaan atas keduanya. Jika kedua belah pihak sengketa dihadapkan langsung malah akan berpotensi membuat konflik semakin keruh. SBY bisa saja menggunakan otoritas strukturalnya sebagai Presiden RI untuk menengahi konflik tersebut. Namun, langkah yang diambil beliau dengan mengirim Menkopolhukam terkesan tidak serius. Peran SBY malah akan dipertanyakan. Atau buruknya, saya berpikir jangankan otoritas struktural yang dibicarakan, otoritas moral SBY juga perlu dipertanyakan mengingat visi Beliau saat berkampanye untuk memberantas korupsi. Jangan salahkan apabila kredibilitas Beliau semakin hancur dikalangan publik. Saatnya Publik Berempati Sudah cukup lama konflik ini menjadi headline di media-media. Ini juga bisa menjadi parameter kesadaran publik dengan kondisi perkara yang sesungguhnya. Sekaranglah saatnya masyarakat bergerak untuk menjawab permasalahan elitis pemerintah yang tidak mandiri dan dewasa. Memalukan memang, tapi kasus ini adalah tipikal kasus lama. Apabila kelak akan muncul kasus seperti ini lagi dengan konflik yang berkepanjangan tanpa kesadaran bersama untuk menyelesaikan, ini membuat semua elemen negara terlihat lebih buruk daripada keledai. Mendukung KPK adalah pilihan, namun menegakkan hukum sesuai Undang-Undang dan Konstitusi adalah kewajiban kita bersama. Ichsan Marta Teknik Pertambangan ITB Wakil Menteri Kebijakan Nasional KM-ITB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H