[caption id="attachment_206302" align="aligncenter" width="720" caption="Sumber: indoflyer.net"][/caption] 10 Agustus 1995 merupakan tonggak bersejarah. Hari itu adalah penerbangan perdana pesawat N250 Gatotkaca buatan IPTN yang diresmikan oleh menristek saat itu, B.J. Habibie. Momentum tersebut digadang-gadang sebagai awal mula kebangkitan teknologi anak bangsa. Pertengahan 90-an menjadi puncak kejayaan dirgantara Indonesia yang begitu dirindukan dan romantikanya diulang-ulang hingga sekarang. Siapa yang tahu saat itu, hari kebangkitan teknologi nasional yang dicanangkan ternyata malah menjadi permulaan kejatuhan dirgantara Indonesia kepada jurang yang begitu dalam. Krisis moneter 1998 menjadi awal mulanya. IMF menekan pemerintah agar ‘mematikan’ PT Dirgantara Indonesia, bantuan modal tidak boleh lagi diberikan. PHK besar-besaran pun terjadi. Proyek industrialisasi N-250 mati suri karena kekurangan biaya. Kisah selanjutnya mungkin tidak perlu diulas. Kita semua tahu apa yang terjadi hingga saat ini. Banyak anak bangsa eks-karyawan PT DI yang mendulang sukses mengembagkan pesawat di negeri orang. Sementara di dalam negeri pesawat sekelas Sukhoi pun kita masih mengimpor. Ironis. Kemajuan teknologi suatu bangsa tidak diukur dari prestasi satu dua orang anak bangsanya dalam menginvensi suatu produk. Kita boleh berbangga ada anak bangsa kita yang mempromosikan alat deteksi tsunami yang menjadi juara dalam kompetisi penemuan ilmiah internasional. Atau sekian puluh produk dalam negeri yang dipamerkan dalam Pameran Harteknas 2012. Saya sangat bangga akan hal itu. Namun, kebangkitan teknologi bukan even seremonial belaka. Indikator keberhasilan teknologi suatu bangsa adalah saat invensi-invensi anak bangsa berubah menjadi inovasi skala nasional. Inovasi dalam arti luas tentunya, bukan sekadar komersialisasi produk. Dalam skala nasional, inovasi berarti kebermanfaatan teknologi bagi pembangunan ekonomi, bagi industri nasional, dan memberikan kemaslahatan kepada seluruh masyarakat yang ada di dalamnya. Artinya berbicara tentang teknologi tidak hanya bicara tentang betapa cerdasnya anak bangsa, tetapi lebih kepada kebijakan pemerintah. Sejauh apa pemerintah pro terhadap penemuan-penemuan anak bangsa, kemudian memarketisasinya kepada skala industri. Jangan sampai matinya N-250 terulang terus menerus karena itu amat menyakitkan bagi anak-anak cerdas bangsa ini. Dimana Posisi Teknologi Kita? Pertanyaan pertama adalah, dimana posisi teknologi kita saat ini? Sudah majukah? Atau sebaliknya, tengah terpuruk? Saya akan mencoba memakai data. Terlalu sering kita terjebak oleh asumsi apakah teknologi kita sudah maju atau tidak. Satu bulan lalu saya magang di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Saya akan berbagi tentang penelitian saya. Penelitian tersebut menghitung sebesar apa kontribusi teknologi dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam perhitungan pendekatan produksi, pertumbuhan ekonomi (PDB growth) ditopang oleh 2 unsur input: modal dan tenaga kerja. Kemunculan faktor teknologi lalu dikembangkan oleh Sollow (1970). Kasus yang ia temukan pertama kali adalah pertumbuhan output nasional US yang lebih dari jumlah pertumbuhan input (modal dan tenaga kerja). Kelebihan pertumbuhan output dibanding pertumbuhan input tersebut dipercaya sebagai akibat sinergi antara input (faktor) tenaga kerja dan kapital atau disebut total factor productivity (TFP). Pertumbuhan TFP itu sendiri kemudian dijadikan ukuran dari pertumbuhan teknologi.
Mengapa faktor teknologi begitu penting? Simon Kuznets, seorang pemenang hadiah nobel ekonomi, menyimpulkan bahwa faktor dominan pertumbuhan ekonomi negara-negara maju bukan datang dari pertumbuhan input (modal dan tenaga kerja), tetapi bersumber dari pertumbuhan teknologi. Dalam penelitiannya Kuznets menambahkan, pertumbuhan unsur modal dan tenaga kerja menyumbang 18,5% kepada peningkatan produk per kapita di negara-negara besar, sementara selebihnya (81,5%) datang dari peningkatan produktivitas. Kuznets menyebutkan bahwa peningkatan produktivitas ini identik dengan peningkatan teknologi. Seberapa besar pertumbuhan teknologi di Indonesia? Saya uraikan ringkas saja. Penelitian saya menghitung TFP growth (indikator pertumbuhan teknologi) Indonesia sejak tahun 2002 hingga 2010. Periode ini dipilih karena Indonesia telah bangkit dari keterpurukkan krisis ekonomi 1998. Kemudian saya memetakan bagaimana kontribusi setiap koridor ekonomi (Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, Maluku-Papua). Berikut hasilnya:
Untuk lebih mudah, kita baca skala nasionalnya saja. Pertumbuhan teknologi rata-rata per tahun adalah sebesar 1,99%. Sementara pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun 5,48%. Dari perhitungan itu, didapat rasionya, besar pertumbuhan teknologi dibanding pertumbuhan ekonomi adalah 36,31%. Sebagai perbandingan, pada umumnya negara-negara maju memiliki angka TFP di atas 3%. Secara rasio, seharusnya faktor teknologi berkontribusi lebih dari 49% dari struktur pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini menandakan bahwa peran teknologi dalam pertumbuhan ekonomi nasional masih rendah. Pembangunan masih didominasi oleh modal dan tenaga kerja. Belum lagi jika dilihat sruktur koridor ekonominya. Kemajuan teknologi Pulau Jawa begitu timpang dengan koridor lain, bahkan pertumbuhan teknologi koridor Kalimantan dan Papua bernilai negatif. Nilai negatif menunjukkan bahwa telah terjadi inefisiensi pembangunan. Pertumbuhan modal dan tenaga kerja lebih besar ketimbang pertumbuhan ekonominya.
Kesimpulan dan Rekomendasi Dari penelitian tersebut kita bisa bilang,
pemanfaatan teknologi kita dalam pertumbuhan ekonomi nasional masih rendah.
Kebijakan pemerintah terkait
penerapan teknologi dalam pembangunan nasional masih buruk. Banyak indikasinya. Pertama, anggaran riset masih rendah. Yang diserap oleh kementrian Ristek hanya sekitar 670 M di tahun 2012 (bandingkan dengan APBN 1400 T). Kedua, riset tidak dibangun dari kebutuhan menjawab persoalan. Memang benar Dikti telah menganggarkan dana yang besar untuk riset (lebih besar dari kementrian ristek). Namun, riset yang dibangun di tataran civitas akademika terkesan seperti proyek formalitas untuk menghabiskan anggaran. Tidak banyak penelitian akademis yang berlanjut diterapkan ke tataran industri skala makro. Masalah ini perlu dikaji lebih lanjut. Pada intinya, hal ini cukup ironis, di satu sisi kita mendesak dana riset ditingkatkan tetapi di sisi lain dana riset yang ada tidak dimaksimalkan. Ketiga tumpang tindihnya pengembangan teknologi. Contohnya, saya amat heran dengan pengembangan mobil listrik. Sebenarnya pengembangan mobil ini tanggung jawab siapa? Mengapa menteri BUMN yang ‘riweuh’ sendiri dengan pencitraannya? Di sisi lain, ada pejabat pemerintah lain yang mengkritik kebijakan tersebut malah menambah beban energi kita, bukan menghematnya. Contoh lain adalah tidak sinerginya rencana pengembangan teknologi ristek dengan Bappenas. Poinnya adalah sinergisasi antar kementrian untuk pengembangan teknologi masih buruk. Setidaknya ada beberapa rekomendasi yang saya ajukan untuk meningkatkan peran teknologi dalam pertumbuhan ekonomi kita
1. Peningkatan mutu sumber daya manusia Berbicara tentang teknologi secra makro, maka bukan hanya membicarakan alat produksi. Kapasitas sumber daya manusia, sebagai aspek
humanware, pun perlu ditingkatkan. Sumber daya yang produktif merupakan pengggerak utama pertumbuhan ekonomi. Langkah untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dapat dimulai dengan mempermudah akses masyarakat untuk mengenyam pendidikan hingga mencapai pendidikan tinggi. Tahun 2009 misalnya, banyaknya tenaga kerja di Indonesia yang merupakan lulusan universitas hanya 7,1%. Penyerapan tenaga kerja dengan pendidikan yang minim membuat produktivitas ekonomi rendah. Bandingkan dengan Amerika Serikat, di awal tahun 2000 saja masyarakat yang mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi di sana sudah lebih dari 80%. Rencana yang tertuang dalam MP3EI untuk mendorong pendidikan vokasi guna menghasilkan lulusan yang terampil berdiri minimal satu di setiap kota/kabupaten perlu segera direalisasikan. Begitu pula penguatan kualitas pelaku inovasi dengan mengoptimalkan peran sumber daya manusia berpendidikan S2 dan S3 dan menambah jumlahnya secara bertahap dan berkelanjutan.
2. Penguatan riset guna memperbesar tingkat inovasi Salah satu indikator kuatnya tingkat inovasi suatu bangsa adalah banyaknya paten yang dihasilkan. Berdasarkan data
Patent Cooperation Treaty (PCT), Indonesia tercatat memiliki 15 paten tahun 2010 dan 7 paten di tahun 2009. Jumlah ini sangat jauh dibandingkan negara maju seperti Jepang yang menghasilkan rata-rata 30 ribu paten per tahun, atau Singapura yang memiliki sekitar 600 paten di tahun yang sama. Sosialisasi pentingnya Hak kekayaan intelektual sebagai perlindungan hukum terhadap karya intelektual perlu ditingkatkan. Namun, sosialisasi saja tidak cukup. Perlu ada kebijakan yang mendukung penguatan riset dan teknologi. Salah satunya melalui peningkatan anggaran riset. Anggaran riset ini berbanding lurus dengan banyaknya paten yang dihasilkan. Indonesia yang hanya memiliki anggaran riset sebesar 670 miliar rupiah, atau 0,047% dari total APBN. Peningkatan alokasi APBN untuk riset jelas diperlukan. Meskipun aktor utama ada pada pemerintah, kita pun perlu belajar dari beberapa negara maju yang menerapkan kebijakan kerja sama segitiga antara industri, pemerintah, dan universitas. Bahkan, di negara maju, pihak swasta berkontribusi sebesar 80% dana riset. Dengan demikian target dana riset hingga 3% per tahun di tahun 2025 dapat dibebankan secara merata kepada pihak swasta, pemerintah, dan perguruan tinggi.
3. Penanaman investasi modal yang selektif Berdasarkan penelitian tersebut, stok kapital menjadi penopang utama dalam pertumbuhan ekonomi nasional maupun regional. Stok kapital dan teknologi bukanlah dua hal yang saling menegasikan. Justru sebaliknya, stok kapital dapat diubah menjadi teknologi yang efisien untuk meningkatan produktivitas. Namun, jika investasi modal tidak tepat sasaran, akumulasi kapital tersebut hanya menjadi liabilitas yang tidak bernilai tambah. Investasi teknologi memang sifatnya jangka panjang. Di sinilah perlunya evaluasi yang cermat dalam penerapan teknologi baru yang memerlukan investasi barang modal yang tinggi. Evaluasi dimaksudkan agar investasi tersebut memperhitungkan seberapa besar belanja input yang diperlukan dan seberapa lama akan memberikan hasil, agar tidak justru membebani perekonomian.
4. Pembentukan iklim bisnis yang kondusif Aspek teknologi mencakup juga elemen
orgaware. Iklim bisnis yang kondusif yang mencakup kemudahan administrasi dan birokrasi mutlak diperlukan sebagai
supporting system dari peranan teknologi dalam pembangunan ekonomi. Iklim birokrasi yang buruk di daerah misalnya, membuat pengusaha kesulitan memulai bisnisnya. Padahal
starting bussines biasanya memiliki ide inovasi yang luar biasa.
Penutup Bagaimanapun, berbicara tentang kemajuan teknologi, bukan sekadar persoalan berapa banyak penemuan anak bangsa. Ini lebih kepada kebijakan pemerintah. Kebijakan yang tidak dibangun di atas
knowledge based hanya akan mematikan potensi anak bangsa dan menggadaikan teknologi negara ini dengan harga murah. Kemajuan teknologi bangsa ini ditandai dengan kebermanfaatannya yang dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Kemajuan Teknologi dikatakan baik apabila pertumbuhan ekonomi nasional ditopang dengan kuat oleh faktor teknologi, bukan modal semata. Selamat Hari Kebangkitan Teknologi Nasional “Capital accumulation without technological advancement eventually leads to the end of economic growth.” -Solow-
Muhammad Yorga Permana Menteri Kebijakan Nasional Kabinet KM ITB 2012/2013 Mahasiswa Manajemen Rekayasa Industri, suatu Program Studi yang sangat berkaitan dengan erat dengan kebijakan teknologi nasional.Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Pendidikan Selengkapnya