“…Landasan dari pergerakan adalah nurani yang menyala, landasan dari perjuangan adalah tekad yang membaja…”
Hasan Al-Bana, revolusioner Mesir
Mengapa kita mau berlelah-lelah dalam perjuangan? Saat orang mencemooh kita, katanya kita adalah mahasiswa yang sok idealis, mahasiswa yang terlalu banyak mengkritik tapi tidak pernah becermin. “Tak usah lah kau banyak menyalahkan pemerintah, siapa sih kau yang merasa lebih pintar dari Bapak-bapak S3 di pemerintahan sana!” Begitu mereka berkata.
Mengapa kita mau capek-capek berdiskusi, menulis, mengkaji, bahkan aksi turun ke parlemen jalanan? Sementara orang lain senang dengan kaderisasi eventualnya, dengan olahraganya, dengan lomba-lomba ilmiahnya. “Tak usah lah kau banyak berbicara tentang bangsa. Perbaiki dulu internal kampusmu, bangsa belakangan saja kita bahas.” Begitu mereka berteriak.
Maka kita membutuhkan dasar yang kuat, alasan yang kokoh laksana karang, laksana akar. Pergerakan tanpa landasan membuatnya lemah, terombang ambing dan hilang tak bermakna, bak torehan di pasir pantai yang mudah terhapus deburan ombak, bak taburan debu udara yang mudah terseka angin.
Sekali lagi ku bertanya, untuk apa kau berlelah-lelah seperti ini?
Nurani yang Menyala
Aku suka dengan kata itu. Landasan pergerakan bukan muncul dari rasionalitasmu, dari logikamu, namun ia muncul dari nuranimu, dari hatimu.
Ketika nurani telah menyala, apa yang menjadi penggilan jiwamu? Mengapa kau mau terus berjuang bersamaku, bersama kami?
Pertama, karena kau ber-Tuhan. Aku bukan penganut faham pluralism. Namun jelas, semangat berketuhanan akan membawamu senantiasa bergerak. Sesungguhnya ibadahmu, hidupmu, matimu, hanya untuk-Nya. Maka kau akan kembali ingat kata-kataNya, bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat buat yang lain.
Kedua, karena masyarakat menantimu. Jangankan protes terhadap kebijakan, untuk mencari sesuap nasi saja energi mereka telah habis. Mereka butuh penyambung lidah, mereka butuh insan-insan akademis yang jumlahnya hanya 2,4% di negeri ini untuk menyampaikan tuntutan akan hak-hak mereka. Di pojok jalan sana seonggok kemanusiaan terkapar. Siapa lagi yang bertanggung ajwab bila semua menghindar? Biarlah kita yang menanggungnya, semua atau sebagian. Masihkah kau berdalih sibuk dengan urusan internalmu? Dengan urusan akademismu?