Dibanding dengan laporan tahunan, yang namanya laporan tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL), boleh jadi masih merupakan hal yang dihindari banyak perusahaan di Indonesia. Adalah kenyataan, kebanyakan perusahaan di negeri ini masih belum mau membuat laporan TJSL.
Ada saja dalih mereka menghindar dari tuntutan membuat laporan TJSL. Sebagian alasan terkesan sebagai pembenaran sepihak. Walau kenyataannya tidaklah demikian.Coba simak hasil perbincangan yang pernah dilakukan untuk mengetahui, apa alasan perusahaan-perusahaan belum mau membuat laporan TJSL.
Alasan pertama, “Laporan TJSL belum diwajibkan undang-undang”. Jelas alasan yang kurang tepat. Mari simak Undang-Undang (UU) No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 66 ayat (2) butir (c), telah mengatur secara tegas agar perusahaan menyampaikan laporan pelaksanaan tanggungjawab sosial dan lingkungan dalam laporan tahunan. Artinya, laporan dimaksud semestinya dibuat setiap tahun. Baik bersama-sama dan menjadi bagian dalam Laporan Tahunan perusahaan, maupun dibuat terpisah sebagai Laporan TJSL.
Selain itu pelaporan non keuangan secara umum telah diakomodasi dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). PSAK No. 1 menyatakan tentang penyajian laporan keuangan dinyatakan bahwa perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan, khususnya bagi industri di mana lingkungan hidup memegang peranan penting. Untuk itu sudah selayaknya perusahaan melaporkan semua aspek yang mempengaruhi kelangsungan operasi perusahaan kepada masyarakat.
Alasan kedua, “Tidak ada standarisasi penyusunan laporan TJSL yang bisa menjadi acuan”. Bila yang dimaksud adalah standar pelaporan versi Pemerintah, memang sampai kini belum ada standarisasi yang berfungsi sebagai rujukan. Berbeda dengan laporan tahunan, yang lazimnya disusun berdasarkan standar Bapepam-LK.
Namun bila dicermati, di tataran internasional telah ada pedoman yang menjadi rujukan bersama penyusunan laporan keberlanjutan, yang disusun oleh Global Reporting Initiatives (GRI). Sejak tahun 2005, banyak perusahaan di Indonesia yang menjadikan pedoman dari GRI sebagai standar penyusunan laporan TJSL.
Sebagian perusahaan kemudian menyebut pelaporan TJSL yang dibuatnya sebagai laporan keberlanjutan, sesuai nama yang diberikan oleh GRI. Namun ada pula yang lebih senang menyebut sebagai laporan CSR.
Alasan ketiga, “Pembuatan laporan TJSL hanya pemborosan biaya, karena banyak materi yang sama dengan laporan tahunan”. Sepintas memang demikian adanya. Banyak hal dalam laporan tahunan, juga menjadi materi yang seharusnya disajikan pada laporan TJSL. Terlebih bila disusun berdasarkan pedoman dari GRI.
Tapi tak usah khawatir soal duplikasi informasi. Pedoman penulisan laporan keberlanjutan versi terbaru GRI, membolehkan materi yang telah disampaikan dalam laporan tahunan tak perlu disajikan dalam laporan TJSL.
Sebenarnya ada kecenderungan baru di dunia internasional. Yakni memadukan laporan tahunan dan laporan keberlanjutan, dalam sebuah laporan terintegrasi. Di Indonesia, hal ini bisa diwujudkan dalam sebuah penyusunan laporan tahunan terintegrasi.
Laporan dimaksud disusun sesuai dengan pedoman dan kriteria yang sudah ditetapkan oleh Bapepam-LK dengan diintegrasikan pada kriteria di dalam GRI. Sejumlah perusahaan nasional di Indonesia, kini sudah memulai penyusunan laporan tahunan terintegrasi. (Elka)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H