(Sebuah Catatan Dari Penggiat Literasi)
Beberapa waktu yang lalu publik khususnya masyarakat NTT dibuat gempar. Pasalnya pernyataan menteri pendidikan dan kebudayaan RI, Muhadjir Effendy soal kekhawatirannya terhadap sample Program for Internasional Students Assessment (Pisa) yang diambil dari NTT sehingga mengakibatkan Indonesia berada pada posisi bawah menuai banyak kecaman.Â
Tidak hanya para praktisi pendidikan, para jurrnalis yang tergabung dalam Pena NTT Bali pun angkat bicara. Semuanya menolak dituduh sebagai penyebab kegagalan Indonesia nangkring di posisi bawah. Bahkan di media social seperti facebook dan twitter, sejumlah masyarakat NTT tidak ketinggalan turut ambil bagian menumpahkan kekesalan mereka terhadap pernyataan 'pedis' sang menteri. Singkatnya masyarakat NTT merasa tersinggung, merasa dilecehkan, bahkan merasa diri mereka tidak bodoh seperti yang dituduhkan oleh sang menteri.
Tapi timbul pertanyaan kecil ini, apakah benar bahwa pendidikan di NTT benar-benar sudah maju sehingga kemudian merasa tersinggung? Benarkah bahwa angka kelulusan di NTT masuk jajaran teratas dibanding 32 Provinsi lainnya? Ataukah sebaliknya?
Butuh Kejujuran Untuk Katakan Kita Maih Tertinggal
Berdasarkan data yang ada, pada tahun 2012 hasil UN SMA/SMK NTT berada di urutan paling buncit dari 33 Provinsi untuk angka kelulusannya dengan presentasi 95,50. Angka itu naik di tahun berikutnya dengan menempatkan NTT berada di posisi 29 untuk tingkat kelulusan SMA/SMK, sedangkan untuk tingkat kelulusan SMP, NTT berada di peringkat buntut.Â
Hal ini pun terus berlanjut hingga tahun 2017 lalu hingga dinas provinsi melalui Sekdis Pendidikan Provinsi NTT, Aloysius Min  pun mengakui bahwa hasil ujian nasional Provinsi NTT kini mendapat zona merah dari pemerintah pusat. Jika sudah begini, maka kejujuran untuk mengakui bahwa NTT masih berada di belakang Provinsi lainnya dalam urusan pendidikan adalah sebuah kewajaran tanpa harus malu mengakui hal ini.Â
Bahwa pendidikan NTT bukan meluluh soal presentasi kelulusan saja, iya, namun apakah indicator seperti kejujuran dalam mengerjakan ujian pun harus menjadi alibi hanya untuk menutupi borok pendidikan kita yang hemat penulis belum diurus secara baik dengan banyak lubang masih menganga dan enggan untuk ditambal dengan banyaknya program di sector pendidikan yang belum komprensif menyelesaikan persoalan pendidikan di daerah ini.Â
Walaupun harus diakui bahwa dalam pemerintahan Jokowi-JK dalam nawacitanya sudah mulai berani memberikan perhatian serius bagi dunia pendidikan dengan mengalokasikan anggaran APBN sebesar 20% Â atau sebesar Rp 441,1 T untuk mengubah wajah pendidikan di republik ini, tapi sekali lagi kelemahan kita selama ini khususnya di NTT adalah belum menganggap dunia pendidikan itu penting dan hanya sekedar melihat dunia ini dari kacamata politik, padahal pendidikan adalah pintu masuk membangun daerah ini menjadi lebih baik di masa mendatang.
Rendahnya kualitas pendidikan NTT berada pada titik nadir. Lupakan sebentar soal presentasi kelulusan yang masih berada di zona merah, dan mari kita berbicara pada kondisi terkini pendidikan kita yang nantinya akan bermuara pada presentasi kelulusan itu sendiri. Jangan jauh-jauh, tengoklah dulu kondisi sekolah kita di NTT sebagai salah satu hal paling memungkinkan terciptanya kenyamaan buat generasi kita memperoleh pendidikannya.Â
Disaat orang lain di belahan lainnya mempunyai gedung sekolah dan ditunjang sarana penunjang yang luar biasa kita malah sebaliknya. Gedung sekolah beratapkan alang, berdindingkan gedeg dan sarana seadanya adalah realitas yang selalu menjadi luka tersendiri khususnya bagi generasi kita yang berada di pelosok NTT yang kerap dilupakan ataupun ditinggalkan.Â