Solor Watan Lema, begitulah ia disapa. Pulau seberang Larantuka, Ibukota Flores Timur-Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan aneka cerita sejarah kekatolikkan zamannya membuatnya ia dikenal hampir seantero dunia, dengan kepulauan Solor tentunya (pulau Solor, Adonara dan Lembata) yang tidak lagi dipakai di peta zaman ini, dan meninggalkan reruntuhan benteng Lohayong sebagai saksi bisu bahwa Solor yang dulu pernah punya nama besar, yang tentunya patut untuk dibanggakan.Â
Kebanggan tersebut pun bertambah dengan rentetan budaya warisan Nenek moyang yang masih terjaga dan bertahan hingga kini, salah satunya adalah ritual adat wu'u nuran atau perayaan syukur atas panen pada masyarakat suku bangsa Balawelin di Solor Barat yang diadakan selama tiga hari dengan penyelenggarannya sekali dalam 5 tahun.
Masyarakat Balawelin sebagai sebuah suku bangsa yang terdiri dari satu Lewo dan tujuh Duli (Kampung Filial) di belahan barat Solor yang gersang memang sarat dengan kekurangan di hampir semua aspek kehidupan hampir hingga adium "Solor Nara Take" (Solor Nama Tidak Ada) pun sempat membuat cerita mereka yang begitu kental dengan aroma rohani ini terkikis oleh aura zaman yang kejam.Â
Dan Wu'u Nuran pun kini telah menjadi sebuah wahana pembuktian eksistensi diri sebagai manusia berbudaya yang selalu menjunjung tinggi kebudayaan nenek moyang sebagai karya intektual dan batiniah untuk menghormati kekuatan di luar diri mereka yang luar biasa baik itu Bapa Pemilik Alam Semesta (Bapa Kelake Lera Wulan), Mama pemilik tanah sumber kehidupan (Ema Kewae Tana Ekan), yang menjadi representasi Tuhan Yang Maha Kuasa, Leluhur Lewotana dan Kewoko Klite sekaligus sebagai penegas bagi orangluar (Outsider) bahwa kegersangan tanah yang dimiliki orang Solor adalah sumber penghidupan yang membuat mereka ada hingga sekarang dan yang akan datang.Â
Setelah lima tahun berlalu, Ritual Adat Wu'u Nuran pun sebentar lagi akan kembali digelar dengan nuansa yang berbeda dari sebelumnya tanpa menghilangkan esensi dasar ritus ini. Dan tulisan ini adalah sebuah bagian dari cerita yang dialami penulis saat mengikuti ritual ini yang mungkin nantinya menarik buat para pembaca sekalian atau sekedar menghadirkan rindu bagi para anak tanah Balaweling untuk kembali mencicipi kebersamaan dalam satu keluarga besar masyarakat Balawelin.
Uma Lamak Buka Ritus Wu'u Nuran
Dan cerita itu kuawali dengan uma lamak sebagai sebuah ritus awal dalam rangkaian besar ritual adat Wu'u Nuran dimana dilaksanakan saat tengah hari dan  mengantar masyarakat Balawelin yang bermayoritas petani dan beragama Katolik ini pun berbondong-bondong menuju rumah adat suku-suku besar kampong atau Semata Pa (Niron-Maran, Niron-Hurit, Keban-Koten, dan Keban-Kelen) guna menggelar Ritus U'ma Lamak atau ritus pengantaran bagian ke Rumah Adat Suku Balawelin (Lango Belen) tempat dimana Bapa Lewo Ema Tana atau Tuan Tana (orang yang dipercayakan sebagai kepala suku Masyarakat Balawelin) berdiam.Â
Dalam Ritus U'ma Lamak tersebut, menurut penuturan kepala suku Keban Koten, Yohanes Olamudi Keban, biasanya diawali dengan proses pemanggilan dari utusan Niron yang biasa dikenal dengan Niron Alan Jati ke masing-masing duli dan Lewo sembari mengantar mereka mengantar U'ma Lamak ke Lango Belen yang diiringi dengan tarian We'de yang dimaknai sebagai tarian kegemeriahan dan kegembiraan.Â
Sejatinya dalam ritus ini, U'ma Lamak yang disiapkan antara lain beras, hewan dan lain sebagainya dan Lewo yakni Lewo Bala Lama Harun Tana Harun Lama Dike (Lamalewo) diberi kesempatan untuk memasukkan bagiannya terlebih dahulu sebagai kampung induk suku Bangsa Balawelin, setelahnya barulah diikuti oleh tujuh duli lainnya yakni, Duli Weruin Ulu Lau Pali Keneli Lima Wana/ Duli Taliha Laman Mayan Pali Mayan Lama Tali (Lamateliha), Duli Muda Lama Tulun Pali Bao Lama Banga (Lamariang), Duli Week Lama Rebon Pali Kenila Lolon Gire (Kenila), Duli Laka Lama Mayan Pali Mayan Lama Tali (Lamalaka), Duli Rita Lolon Eban Palin Bao Lolon Owa (Ritaebang), Duli Lupan Lolon Kuman Pali Au Gatan Matan (Auglaran), Duli Sunge Hara Wewan Pali Kadila Duru Basa (Riangsunge). Setelah ritus U'ma Lamak, masyarakat setempat ataupun pengujung dapat kembali ke rumah masing-masing beristirahat sejenak, ataupun menghisap rokok sebatang melepas lelah seharian, sembari menunggu ritus keesokkan harinya.
Renha Balawelin: Bukti Kesetiaan Masyarakat
Mentari pagi pun mulai menunjukkan kuasanya ditemani sang Jago yang tak mau kalah dengan kokokannya, sekedar membangunkan istrirahat para penghuni tanah Leluhur ini, serta menginggatkan bahwa hari ini masih ada ritus yang harus dilalui, yang penting bagi hidup sebagai pembuktian bahwa ada sisi lain dari budaya dan agama yang bisa saling melengkapi dalam Misa Inkulturasi di Kapela Maria Renha Balawelin di Kampung lama.Â