Dua lembaga negara yang aktif dalam membawa para pelaku korupsi dan yang diduga melakukan tindak korupsi adalah Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dua lembaga ini memiliki kesamaan tanggung jawab dalam pemberantasan tipikor, namun memiliki perbedaan pendekatan dalam memerangi korupsi. KPK umumnya melakukan pendekatan 'keras', dimana tersangka korupsi terbukti tertangkap tangan, kemudian baru diajukan ke pengadilan. Dua contoh terakhir, Rudy Rubiandini dan Akil Mukhtar petinggi lembaga bergengsi, 'tertangkap basah' menerima 'gratifikasi' ratusan ribu dolar. Alat bukti jelas dan meyakinkan, baru kemudian di proses. Untuk kasus yang sifatnya agak "abu-abu" KPK butuh waktu yang agak lama untuk mengumpulkan bukti-bukti dan cenderung untuk lebih berhati-hati, sebagai contoh: Hambalang dan Century.
Sementara kejagung mengandalkan pada laporan dari pihak lain (umumnya LSM atau perseorangan) dan kemudian mengembangkan kasus berdasarkan laporan tersebut tanpa melihat apakah terduga 'benar-benar' melakukan tindakan korupsi atau tidak. Kasus-kasus yang kita baca di media seperti, Bioremediasi Chevron, frekuensi IM2, Merpati, pengadaan spare part PLN medan dan terakhir kasus perumahan bupati.
Secara awam kita bisa melihat dua perbedaan yg mendasar, dimana satu lembaga menggunakan alat bukti jelas dan satu lembaga lain menggunakan laporan pihak ketiga yg umumnya didasarkan laporan dari pihak yg kalah dalam tender di organisasi tersebut.
- Bioremediasi Chevron. Secara gamblang dan terang dijelaskan bahwa tidak terdapat penyelewengan oleh pihak chevron oleh institusi yg berwenang spt SKK Migas, Migas dan KLH, namun pihak kejagung mengangkat kasus ini dengan mengandalkan laporan seorang 'saksi ahli' yg ternyata adalah pihak yg kalah tender dalam proses lelang bioremediasi. Pengadilan pertama, sebagaimana kita ketahui, para terdakwa, beberapa malah tidak ikut serta dalam proses pengambilan keputusan bioremediasi telah diputuskan bersalah oleh pengadilan negri. Saat ini para terdakwa mengupayakan banding. Akibat kasus ini, proses bioremediasi Chevron dihentikan yang tentu saja berdampak pada isu lingkungan dari kegiatan produksi MIGAs.
Silahkan membaca juga link terkait: https://www.facebook.com/bioremediasi/posts/205349089605198
dan masih banyak link yang memberikan pemahaman yang komperhensif untuk kasus ini.
- Frekuensi IM2. Ini adalah kasus 'yg aneh' bin ajaib. Entah bagian mana yg dianggap merugikan negara, karena berdasarkan sidang di pengadilan tidak ada keuangan negara yang ditilap. Potensi kerugian negara dihitung berdasarkan hitungan menghina logika berpikir. Walaupun mentri telekomunikasi menyatakan tidak terdapat pelanggaran dan juga masyarakat telekomunikasi sepakat menyatakan tidak ada kerugian dalam penggunaan frekuensi ini, tp kejagung tetap melanjutkan kasus ini. Pelapor kasus ini adalah terpidana 'pemeras' perusahaan Indosat dan telah divonis 16 bulan penjara oleh PN Jakarta. Lebih lengkap mengenai kasus ini boleh digoogle di kompasiana, salah satunya link ini:
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!