Malam Ini
Gelombang laut yang sangat kencang menghempas silih berganti, seolah tiada akhir. Angin yang bertiup semakin memojokkan kendali kapal, serta hujan yang sangat deras menambah suasana mencekam malam. Waktu menunjukkan hampir jam sebelas malam, badai masih terus mengombang-ambing kapal yang akan membawa kami menuju sebuah dermaga di tepian Teluk Tapian Nauli.
Tak ada penerangan yang berarti pada kapal kecil ini, hanya sebuah lampu kecil yang berkedip memancarkan warna merah seperti cahaya kunang-kunang, serta cahaya bulan yang sudah tersamarkan oleh badai. Begitu pula dengan lampu pada dermaga yang kami tuju, kalau anda bayangkan sebuah mercusuar yang memancarkan cahaya terang membelah gelapnya malam, buang jauh-jauh bayangan Anda tentang dermaga yang megah nan elok seperti itu. Karena, dermaga yang dimaksud hanyalah kayu-kayu yang disusun menyerupai jembatan kecil dengan panjang tak lebih dari sepuluh meter menjulur di atas permikaan air laut.
“Pegang pelampung masing-masing,” terdengar suara dari sudut paling belakang kapal.
Instruksi yang sebenarnya tidak diperlukan dari pengemudi kapal, karena tanpa mendengar instruksi tersebut, kami telah mengaitkan pelampung di badan masing-masing sejak awal menaiki kapal ini. Namun patut diacungi jempol, karena dalam situasi yang seperti ini, Sang Pengemudi merasa bertanggung jawab atas keselamatan penumpangnya.
Rasa was-was menyelimuti pemuda-pemuda yang jumlahnya tak lebih dari dua belas orang di dalam kapal ini.
“Kalau sampai kapal ini terguling terempas badai, pasti tidak ada orang yang mengetahuinya sampai esok hari,” batinku dalam hati.
Dengan pikiran yang bercampur aduk, memikirkan hal terburuk yang dapat terjadi. Kucoba menguatkan diri walau dengan kemampuan renang yang pas-pasan, namun dengan bantuan pelampung, pasti bisa bertahan di permukaan. Tapi, semoga pikiran negatifku ini tidak menjadi kenyataan. Sambil kupandang tetesan air yang menuruni tepian atap kapal, kubaca doa dengan penuh harap pada Sang Maha Pencipta, dengan harapan dapat meredakan badai ini, atau paling tidak dengan kekuasaan-Nya dapat membawa kapal kecil ini sampai ke tepian dengan selamat.
Kilatan petir masih terus setia mendampingi setiap tetes air yang membasahi permukaan laut, Sang Juru Kemudi Kapal terus menggenggam erat tuas motor dengan raut tatapan yang tajam memperhatikan sekitar. Kupandangi satu persatu teman-teman yang ada di sekelilingku, pemuda-pemuda tangguh dengan semangat yang tinggi.
Setelah terombang ambing di tengah badai, dengan mesin kapal yang sederhana, serta Allah yang masih menghendaki kami untuk selamat, akhirnya kami sampai ke tepian, menginjakkan kaki pada kayu dermaga, dengan perasaan yang sungguh luar biasa.
Sebuah bus berukuran sedang telah menanti kami untuk melanjutkan perjalanan. Masih membutuhkan waktu sekitar empat puluh menit hingga sampai ke tujuan. Perjalanan yang benar-benar membekas di dalam ingatan, dan yang pasti, kami tidak dapat menjamin apakah cuaca akan bersahabat ataukah akan sama seperti malam ini. Satu yang pasti, esok hari kami harus berangkat ke tempat itu lagi dan lagi. Tempat mencari nafkah untuk menata kehidupan, sebuah tempat yang memiliki fungsi sangat inti di dalam kehidupan masyarakat saat ini.
Waktu menunjukkan tepat jam tiga sore. “Masih ada waktu lima menit lagi,” batinku dalam hati. Dengan mulut yang masih menggigit sepotong roti, lengan baju yang tergulung keatas serta kedua tangan yang masih mengikat tali sepatu, mataku cukup mawas memperhatikan kendaraan yang melintas di jalan lintas yang tergolong kecil ini. Dengan setia menunggu sebuah bus jemputan yang akan mengantarkan kami kembali ke dermaga mini dengan armada andalannya, kapal Pak Piliang, begitu kami menyebutnya, nama kapal yang disesuaikan dengan nama bapak si empu dari kapal ini. Kapal handal yang akan mengantarkan kami ke tempat mencari nafkah.