Suci menangis tersedu di kamarnya gegara berdebat  soal perjodohan dengan ayahnya.  "Ayah tenang jika kamu menjadi isterinya, karena ada yang menjagamu. Kurang apa dia? Kaya raya meskipun duda." Begitu alasan ayah Suci.Â
Sebagai anak baru lulus SMA, Suci masih ingin kuliah sesuai cita-citanya apalagi lelaki pilihan ayahnya duda tua dan bukan tipenya.Â
Sementara prinsip ayahnya, perempuan cukup bisa mengurus suami, anak, dan menjaga kenyamanan rumah tangganya. Tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi-tinggi.Â
Berbekal uang dan pakaian seadanya, Suci pergi meninggalkan rumah, melupakan  cita-cita kuliahnya, yang terpenting meninggalkan ayahnya yang telah bikin geram hatinya.Â
Tujuannya sebuah panti wredha di kota sebelah. Lowongan di koran mengatakan ia harus menjaga manula yang dititipkan keluarganya, karena keluarga tak bisa merawat sendiri.Â
Dua bulan di sana, perasaan rindu pada ayahnya membuncah. Meski bersitegang soal perjodohan, sesungguhnya Suci amat menyayangi orang tua tunggalnya ini. Suci lalu memutuskan keluar dan pulang. Pasti ayah kesepian dan mencariku, gumamnya. Â Â Â
"Ayahmu telah meninggal, Suci ... seminggu setelah kamu pergi, terkena serangan jantung, karena mencarimu. Kami tak tahu harus menghubungimu di mana," ujar Bu Nani tetangga sebelah rumah.Â
Suci menangis histeris. Ayah dengarkanlah aku ingin berjumpa walau hanya dalam mimpi.Â
Satu-satunya yang bisa meredam rasa sesalnya hanyalah batu nisan ayahnya dan di makam itu Suci berulang kali meminta maaf.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H