Just For my Mom I write my story
Because only my mom can wipe my tears, Because my mom who only hears
Whenever the rain comes down and it’s seems there’s none to hold me
She’s there for me, she’s my mom.
Hpku bergetar tanda panggilan masuk. Segera aku menekan tombol hijau.
“Halo Assalamualaikum” sapaku hangat,
“Waalaikumsalam. Halo nak, piye kabare1??” jawab seseorang di seberang sana, suara seorang wanita yang selalu aku rindukan, suara wanita yang doanya mampu mengalahkan kenyataan paling tidak mungkin didunia ini.
“Alhamdulillah bu, Febrian sehat disini. Ibu sendiri gimana ?” jawabku lembut.
“Ibu sehat nak Alhamdulillah. Nak, kemarin ibu titip bingkisan sama si Jami buat bekal kamu disana”
”iya bu, baru aja Febrian ketemu bang Jami. Kok banyak sekali toh bu, Febrian tu nggak setiap hari makan dirumah, khawatir sayurannya pada busuk bu.”
“gak papa toh nak, untuk kawan-kawanmu juga disana. Kamu jangan sering makan diluar, nggak sehat. Lagi pula semakin hari kamu tambah kurus nak”
“nggeh ibu, “ jawabku.
“ya sudah dulu ya nak, ini lagi ada tamu. belajar yang tekun, semoga dadi anak seng soleh, ojo lali solat 5 waktu nya nak2 .”
“nggeh3bu, ibu juga jaga kesehatan, kurangi aktivitas, dan jangan terlalu banyak fikiran ”
“iyo le4, Assalamualaikum”
“waalaikumsalam”
Aku tertegun melihat apa yang dikirimkan ibu. Berbagai macam sayur-mayur, buah dan makanan kesukaanku, karena jumlahnya yang banyak sering aku bagikan pada teman-temanku. Aku terhitung jarang berada di kos, makan tak teratur, apalagi jika harus masak sendiri. Aku aktiv di berbagai organisasi internal maupun eksternal.
Tak jarang saat pulang kampung, bekal yang disiapkan ibu untukku hingga kelebihan muatan. Seringkali aku menyampaikan keberatanku membawa bekal-bekal tersebut. Kendati demikian tak pernah sekalipun ibu terlihat kecewa dan sedih. Dan tetap saja menyiapkan barang bawaan itu untukku, aku sering merasa risih aku merasa bukan anak kecil lagi yang segalanya masih disiapkan oleh ibu.
Ingatanku melayang, teringat ketika aku memasuki SMA, dihari pertamaku ibu masih menyiapkan bekal makanan dalam kotak nasi, terang saja aku menolaknya. Aku tak ingin dianggap sebagai anak yang manja dan tidak mandiri, bagaimana mungkin anak SMA masih membawa bekal ke sekolah? Begitu pikirku
“ibu ndak mau nak, kamu keracunan makanan di sekolah seperti waktu kamu masih kecil dulu nak” jawab ibunya saat itu.
Tapi tetap saja aku enggan membawa makanan yang telah disiapkan ibu.
***
2 Minggu kemudian
4 Panggilan Tak Terjawab
Ternyata dari Mas Ari. Ada apa, fikirku.
“Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam” terdengar jawaban dari seberang sana.
“ Mas Ari, maaf tadi febrian lagi UAS terus langsung pulang nggak ngecheck hp. Ada apa mas ?
“hm iya, ini le ada berita duka,” ujarnya pelan.
“berita duka ? berita duka apa mas?” Aku kaget.
“ibu le, ibu meninggal dalam kecelakaan” kata Mas Ari lemas.
“Innalillahiwainnailaihiraji’un ibuu” “Tuut Tuut”
Aku segera memakai jaket dan menyambar dompet serta kunci motor diatas meja.
“kak Rian mau kemana ?”
Sapaan Eqi sudah tak terdengar lagi, aku bergegas menstarter motorku dan langsung menuju kearah Lampung Barat.
***
“Bapak yang salah le, bapak yang tidak sempat menjemput ibumu pulang dari pengajian mingguan di masjid, motor tukang ojek itu berusaha menyalib truk yang ada didepannya dan ada mobil sedan dari arah depan. Dan terjadi lah kecelakaan itu. Maafkan bapakmu le tak bisa menjaga ibu mu, bapak le yang salah, Pengapunten5bapak yo Ari, maafkan bapak juga Febrian…”
Masih terngiang ucapan penyesalan bapak tadi beberapa saat setelah prosesi pemakaman kemarinaku hanya terdiam menundukan kepala. Aku tak akan menyesali semua ini, sepenuhnya aku begitu mencintai wanita itu, wanita yang telah melahirkanku, merawatku, mendidikku, melakukan segalanya bagiku. Namun aku memang harus mengikhlaskan kepergiannya.
Aku berpamitan pada bapak untuk kembali ke Bandar lampung, ada yang asing sekarang, tak ada ibu, Tak ada air mata dan doa-doa yang beliau panjatkan untukku setiap kali aku pergi meninggalkan kampung halaman.
***
Aku menatap kamarku yang kini menjadi asing bagiku, kosong. Tak ada lagi sayur-sayuran, dan berbagai makanan yang biasa disiapkan ibu. Tak ada lagi dering telepon dari ibu yang mengingatkanku makan dan shalat.
Aku mulai sadar dan menyesalnya aku yang dulu tidak menikmati perhatian ibu disaat beliau mampu. Betapa mungkin saja dulu ibu kecewa saat aku menolak perhatian itu, aku menyesal mengecewakannya. Kini, untuk kesekian kalinya aku kembali merindukan sosok ibu,. Ibu yang kasih sayang dan perhatiannya yang tak pernah surut.
Aku mulai menangis, merindukan ibu yang mengusap air mataku. Merindukan senyumnya, senymnya yang teduh dan menggetarkan hati.
Ibu, engkau pasti tau aku sangat mencintaimu.
Keterangan :
1.Gimana kabarnya ? (jawa)
2. jadi anak yang soleh, jangan lupa sholat 5 waktu (jawa)
3.iya (jawa)
4.panggilan sayang pada anak laki-laki (jawa)
5.maafkan (jawa)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H