Mohon tunggu...
Neng Bila
Neng Bila Mohon Tunggu... lainnya -

Saya seperti yang Anda lihat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pusara Embun

22 November 2013   14:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:48 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Beranjak dewasa adalah impian setiap kaum Hawa dan Adam. Tak hanya fisik saja mulai terlihat sedikit demi sedikit. Namun, gaya bicara dan pola pikir pun mulai mengalami keruwetan. Memang indah menjadi orang dewasa saat kamu memang benar menginginkannya. Bagaimana dengan aku? Bagaimana dengan dia? Apa dia masih sama seperti dulu? Wanita genit, lincah, bawel, modest, celamitan itu di mana dia sekarang, ternyata aku sangat merindukannya.

1 tahun lalu, 19 Oktober 2012, aku hanya bisa ke pasar bunga. Memilih tulip juga lili, bunga kesukaanmu. Tak lupa, mencari pernak pernik gelang tali yang nantinya kau ikatkan kepadaku. Aku senang melakukan tradisi itu, hingga hari ini. Hari dimana usiamu bertambah.

Stasiun Kota, 2009...

Hei, apa itu stasiun kota? Di mana letaknya? Kali pertama aku dengar dari bibirmu di sudut telepon umum. Yap, senang rasanya Jingga akan mengantarku interview di salah satu perusahaan penerbitan dibilangan Depok. Nggak kebayang, kalau Jingga nggak ada. Entah, apa yang akan terjadi sekarang ini. Mungkin aku nggak akan pernah bisa tidur di spring bed, makan di warung lesehan yang lezat, punya sepatu juga tas bermerek kalangan atas.

08179113***

(Dmn)

081315635***

(Udh di dpn AW, dmn?)

08179113***

(Tengok ke kanan, J )

Saat itu obrolan kami hangat sekali. Ditemani secangkir kopi, sepotong roti. Jingga dan aku sama-sama penikmat camilan.

“Dari tadi kamu tunggu aku ya?” tanya Jingga sembari menyeruput kopi hitam perlahan.

“Ngg... nggak kok, baru aja. Belum lama. Aku kira nggak akan sampai, eh sampai juga.” Aku salah tingkah, bagaimana tidak. Hati ini terus berdegup ke depan belakang. Dilihatnya laki-laki dewasa itu, “Ini namanya stasiun Kota, ya? Banyak banget yang datang dan pergi,” tambahnya polos.

“Hmm, kebanyakan dari mereka bekerja di Jakarta. Nggak kayak kamu, memilih untuk bekerja di Depok.”

“Kan, dicoba dulu. Kalau rezeki, ya ambil saja. Kalau bukan, ya cari yang lain. Paling nggak punya uang.”

“Terus, kalau diterima bekerja di sana, mau kamu terima?”

Embun mengangguk pasti, tak berkata-kata.

“Mau kos?”

Kali ini, ditatapnya mata lelaki itu, Jingga. “Iya, harus mau.” Sebenarnya Embun ingin mengutarakan perasaannya, namun Jingga masih terus menggodanya dengan pertanyaan seriusnya itu.

“Nggak stay aja di Rawamangun, di kos lama kamu waktu kuliah?” tambahnya mengalihkan perhatian.

“Terlalu jauh, belum lagi mengantre busway-nya. Bisa pulang malam sampai Raamangun.”

Semakin asyik obrolan mereka, kereta tujuan Kota-Bogor telah tiba, berhenti tepat di lobby di mana Embun dan Jingga duduk berhadapan satu sama lain. Keduanya, beranjak dan melangkah pasti ke arah kereta pakuan itu. Mencari posisi nyaman jadi tujuan utama saat itu dibandingkan interview kerja yang memusingkan bagi Embun. Kali untuk pertamanya, duduk dengan kursi berposisikan dua orang sudah sangat nyaman.

Dibiarkannya jendela kereta terkena sinar matahari pagi. Wajah Embun pun berseri merekah. Kini, tak ada lagi interview yang membebaninya. Disampingnya sudah ada Jingga, sosok lelaki yang pertama dan terakhir untuk dia jumpai dalam kehidupan nyata. Jingga pun siap untuk memberikan pundak gagahnya itu bagi wanita polos seperti Embun. Mereka bercengkrama, memastikaan semua akan baik-baik saja dan indah pada waktunya. Stasiun Kota, awal perjumpaan Embun dan Jingga yang penuh cita dan cinta.

Pondok Indah, 2013...

081244055***

(Pgn Mie Aceh)

081315635***

(Yummy, di Jagakarsa ad tuh)

081244055***

(Yuuk, skrg)

081315635***

(Nggak, jauh)

081244055***

(Blok M Plaza, mau?)

081315635***

(Boleh, wait 4 me ya @ 3 o’clock)

Lemari kayu jati model terbaru dibukanya semangat. Diamati satu persatu dress favoritnya. Hei, tahukah kamu, hanya Jinggalah yang mampu menggerakkan hati dan seleranya untuk hidup. Separuh kehidupannya, ada di tangan Jingga. Hanya saja, hampir 10 tahun Jingga ada di sampingnya, tak kunjung pula Embun dilamarnya. Malang sekali wanita polos itu.

Rok shifon peach dilengkapi belt di ambilnya pelan. Cardigan spandek tosca sebagai luarannya. T-shirt putih pun membalut tubuh sekelnya itu. Dililitkannya pashmina flower peach, sangat trendy dan segar. Wedges toscanya pun siap mengantarkan kakinya menuju peraduan Jingga di Blok M Plaza.

@ 3 o’clock...

081244055***

(ud sampe neh, lg jln ke atas. Tgg di I-MAX ja yaa)

081315635***

(Hmm, cptan J )

Nggak lama, Jingga datang. Embun melihatnya secepat kilat. Bawaan tenang, pasang senyum lebar adalah tipe Embun saat ada di dekat Jingga.

“Dari tadi tunggu aku?” ditengoknya Embun yang tersipu malu.

“Nggak, baru aja,” celoteh Embun memainkan jemarinya.

....

“Udah lama, nggak suapin kamu,” menyodorkan sesendok nasi dengan potongan kecil steak sapi lada hitam ke mulutnya.

“Trakhir, kapan ya? Masih ingat?” Dilumatnya makanan itu hingga lembut, menatap wajah Jingga yang semakin dewasa.

“Udah lama banget, pokoknya sejak pisah di Jembatan Grogol itu. Terakhir, aku suapin kamu otak-otak.” Jingga menyuapi kembali Embun melanjutkan obrolannya, “Abang otak-otaknya masih ada nggak ya?”

“Kayaknya udah nggak deh, udah lama banget.”

“Iya. Apa rasanya aku suapin?”

“Entah, masih sama rasanya seperti awal aku ketemu kamu. Selalu penuh warna.”

Mata Embun berkaca-kaca, bibirnya kelu, tak dapat berkata apapun pada Jingga. Pelan tapi pasti. Hari itu, Embun membisikkan pelan ke telinga Jingga.

“Kamu tahu, aku sayang kamu. Aku nggak perduli, kamu mau bilang apa. Tapi, aku nggak kuat buat memendam rasa ini lagi.” Embun menundukkan kepalanya, dan tetesan air mata itu jatuh membasahi rok shifon peach-nya. Embun tahu kalau Jingga nggak akan pernah bisa mencintainya dari sejak awal keduanya bertemu. Namun, Embun tetap menantinya, hingga akhir ajalnya tiba.

Tepat tanggal 19 Oktober 2013, Embun menghembuskan nafas terakhir di pangkuan sang Bunda. Rumahnya penuh dengan bunga Lili dari rekanan. Kamar tidurnya wangi semerbak bunga Lili. Banyak besek dan orang berkumpul untuk mengucapkan salam perpisahan kepadanya. Dari kejauhan, Jingga datang. Dikenakannya kemeja kesukaan Embun. Parfumnya tercium menusuk sekali, menggairahkan hasrat wanita seperti Embun. Dilihatnya nasi tumpeng kuning, juga anak yatim. Mereka bersiap untuk mengadakan selamatan, wujud kasih sayang Bunda terhadap anaknya yang usinya genap 28 tahun. Namun, sang Khalik telah memanggilnya.

Hujan pun mengguyur kediaman Embun, juga pusara yang telah di gali oleh penjaga kubur. Di situlah tenggorokan Jingga tercekat. Lili segarnya kini telah layu, tersiram air hujan. Penampilannya tak sekokoh dulu, saat kali pertama bertemu Embun. Suaranya semakin parau, saat Jingga menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk Embun.

“See...laa...mat u...lang taa....hun, a...ku... u...cap kaan,

See...laa...mat pan...jaaang uuu...mur, a...ku kaaan do...aaaakan,

See...laa...mat seee...jahtee...raaaa, see...haaat  sennn...tooo...sa,

See...laa...mat pan...jaaang uuu...mur dan bbb....baaa...haaa...giii...aaa,”

“Aku tahu, kamu tak memaafkanku. Tapi, aku tak pantas untukmu. Cintamu suci. Hanya Dia, Maha Besar yang pantas mencintaimu tulus, tanpa mengharap imbalan apapun. Maafkan aku, kekasih hati,” batinnya pelan membisikkan.

Tak kuat melihat segerombol orang memadati kediaman Embun, Jingga pun berlari kencang, sekencang-kencangnya. Rapuh hatinya kini, hanya sehelai kain kafan yang terbersit di pikirannya. Wajah polos Embun sudah berubah menjadi pucat pasi berbalut kain putih nan suci itu. Rasa sesal itu kini berubah menjadi perasaan bersalah.  Takdir Jingga bukanlah Embun ternyata. Maha Benar Allah terhadap ciptaan-Nya yang sempurna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun