Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi program andalan pemerintahan Prabowo-Gibran ketika kontestasi pilpres sudah berjalan sejak 6 Januari yang lalu dan seperti yang kita tahu bersama—masih—mengundang banyak pembicaraan.
Setelah beberapa waktu memantau, saya pada akhirnya sampai pada titik anti klimaks bahwa saya juga mau ikut 'nimbrung'; bagi saya, ini hanya perkara menunggu momentum.
—
Ada beberapa hal yang menjadi sorotan saya perihal program Makan Bergizi Gratis ini namun ucapan pemengaruh (influencer) Deddy Corbuzier menyoal menanggapi seorang anak sekolah yang dengan jujur mengatakan bahwa menu MBG yang disantapnya, lauknya tidak enak, menjadi lecutan bagi saya membuat tulisan singkat ini.
Baca juga:
X (Twitter) di Antara Tone Deaf dan Kritik Sosial
Bagi saya, tidak elok seorang pemengaruh misuh-misuh di ruang publik begitu rupa, bahkan sampai bawa-bawa status sosial si kaya dan si miskin—sekalipun berimbas pada naiknya engagement view—hanya karena komentar jujur seorang anak yang on point tentang makanan yang dimakan dari program presidennya saat ini.
Main value-nya anak usia pendidikan dasar tidak seperti balita yang mungkin sulit sekadar untuk menakar rasa makanan yang dimakannya; tidak pula seperti remaja atau orang dewasa yang mudah tidak enakan karena takut dikira tidak sopan.
Si anak hanya berusaha jujur menilai hasil akhir, ia tidak sedang mengritik karut-marut prosesnya.
—
Sejak awal saya sudah menduga bahwa program ini akan menjadi salah satu tantangan terberat masa pemerintahan Prabowo-Gibran untuk pelaksanaannya;
bukan hanya pada dari mana dananya akan didapat untuk terus menyuplai MBG setiap hari—fatalnya, mungkin berpotensi berhenti di tengah jalan karena membebani keuangan negara—tetapi juga implementasinya di lapangan.
Baca juga:
Gerakan Bawa Bekal: Kurangi Jajan dengan Pendidikan Makanan