Saya berkeyakinan, semakin banyak seseorang membaca maka semakin pula ia memilih kalimat yang keluar dari mulutnya; ia hanya akan bicara pada sesuatu yang ia anggap perlu dan penting. Ini tak semata-mata ia seorang introvert.Â
Apa kita boleh berharap ada orang Indonesia bisa menembus Nobel Sastra?Â
Hm...mungkin saja bisa, itu bisa dimulai dari kebiasaan membaca rakyatnya?!
Baca juga:
Han Kang yang Istimewa Peraih Nobel Sastra, Mendobrak Dunia dan Patriarki Korea
—
Kita masih berkutat pada narasi bagaimana kita masih tertatih-tatih membangun kebiasaan membaca—kita belum pada seberapa banyak buku yang sanggup dibaca. Padahal di antara gempuran arus informasi yang tampaknya kian tidak sehat, membaca buku—selalu—bisa menawarkan alternatif lain.
Hingga sekarang berdasarkan berbagai riset, negara Amerika Serikat masih memuncaki rekor membaca buku tertinggi di dunia dengan rata-rata durasi membaca buku tiap masyarakatnya sebanyak 257 jam dalam setahun dengan rata-rata 17 buku dalam kurun waktu yang sama.Â
Secara statistik—jika dihitung dengan kalkulasi yang sama—mungkin saya boleh melampaui Amerika, tapi tidak dengan jumlah buku yang dibaca; untuk yang ini, saya masih bisa dikatakan payah.Â
Saya sendiri menyoal membaca buku, tidak ada aturan baku perihal tebal-tipisnya sebuah buku, genrenya seperti apa, fiksi atau bukan apalagi sampai merepotkan diri hanya karena mempermasalahkan itu buku lawas atau keluaran terbaru;Â
selama buku itu menggoda saya, maka pada buku itu pula hati saya tertambat.