Selama pandemi Covid 19—apalagi disaat Pembatasan Sosial Berskala Besar atau (PSBB) (yang kemudian berganti menjadi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM))—adalah tahun yang akan menjadi kenangan tersendiri dalam setiap orang yang melewatinya.Â
Masa-masa di mana segala sesuatu berubah seratus delapan puluh derajat; dimulai dari kebiasaan hingga cara memperoleh uang.Â
Dan salah satu yang terkena dampaknya adalah fotografer. Bagaimana tidak, virus mematikan itu dapat menjadi momok bagi setiap orang, sehingga segala kegiatan yang bersifat kumpul-kumpul dilarang: akan dirazia oleh aparat yang berwenang.Â
Boro-boro dalam skala besar seperti pesta pernikahan.Â
Bicara pesta pernikahan, selama hampir satu dekade melakoninya, tentu saja banyak cerita yang sudah saya lewati.
Dari yang bisa bikin bahagia semisal mantennya photogenic dan pandai bergaya sampai yang bisa bikin mood berantakan seperti ceiling rumah si empunya hajat yang berwarna hijau daun terang, yang berdampak pada hasil foto yang tentu tidak bisa dikatakan bagus;Â
Saat ngejob di lapangan, saya biasa memakai setting-an manual. Jadi, jika saya mendapati cat rumah si empunya hajat agak "aneh", itu cukup membuat saya kewalahan dan ini harus saya siasati sebelum acara dimulai agar menemukan setting-an yang pas. Karena kalau tidak, tidak ada gunanya pantulan (bouncing) lampu flash;Â
Kamera selalu jujur dalam membuat sebuah foto.Â
Tidak ada satu pun pekerjaan yang mulus-mulus saja prosesnya, seperti itu juga sebagai saya seorang female wedding photographer.
Namun, ada beberapa hal juga yang kadang membuat saya gemas selama mendokumentasikan momen pernikahan orang-orang—kadang memancing kejengkelan saya.Â
Lagi jengkel tapi harus selalu menebar senyum, tahu kan bagaimana rasanya?!Â