Keajaiban yang tiap hari disyukuri dan kewarasan yang tiap hari diupayakan.
Tulis saya saat mengutip ulang cuitan seorang penulis dan pegiat literasi yang akunnya saya ikuti di X (Twitter), Windy Ariestanty.Â
Rasa-rasanya saya tidak sedang berlebihan saat mengutip cuitannya itu—dan tulisan ini adalah bentuk penjabaran singkat beberapa alasan (mengapa) dari judul tulisan saya di atas.Â
Mundur beberapa hari sebelumnya ada sebuah topik obrolan yang hangat dibicarakan di X (dan ini juga masih jadi buah bibir tersirat di media sosial hingga sekarang)—topik yang tentu saja menarik perhatian saya: wacana pindah warga negara.Â
Sebagai orang tua yang keduanya berkewaganegaraan Indonesia, tiap dari kita tidak bisa menolak realitas yang ada: ya, kita adalah orang Indonesia.Â
Di sana tempat lahir beta, dibuai dibesarkan Bunda...Â
Tapi, Indonesia semakin hari semakin menggila, dan sampai-sampai banyak orang secara massal ingin pindah negara.
Begitu pula dengan saya; saya ada di gerbong yang sama!
Baca juga:
Berkarya Demi Viral, Yakin Brandingmu Sudah Personal?Â
Pemerintah dagelan
Di era digital seperti sekarang, selalu saja bisa melahirkan banyak cerita. Informasi cepat menyebar bagai virus, semua berpeluang terjangkit; yang berimun kebal akan memantau lebih banyak dan tidak akan mudah terbawa arus, yang tak kuat akan lebih mudah sakitnya; gejala awalnya mudah "tantrum".
Tapi, sebagai orang Indonesia, fakta bahwa jika sebagian dari kita bisa tantrum lebih sering justru oleh pemerintah adalah sesuatu yang nyata.Â