Saya jadi penasaran, ada berapa banyak orang sih yang dengan sopan bertanya pada siempunya nomor kontak ketika seseorang bertanya padanya perihal "eh, kamu ada nomornya si A ngga? Kalo ada, bagi dong?!"
Penggalan narasi dialog seperti yang baru saja saya sebutkan sudah pasti jamak kita tahu atau bahkan rata-rata orang pernah mengalami situasi seperti itu.
Jadi, rasanya tak heran, saya lumayan terkesima dengan perlakuan salah satu teman saya semasa SD ketika kami tak sengaja bertemu pada satu kesempatan beberapa waktu yang lalu.
Rentang waktu bertahun-tahun tak berjumpa tak mengaburkan ingatan saya akan wajah teman saya itu. Rahang tegas khas suku Bataknya masih tersimpan dengan baik dalam kepala saya. Ia tak sulit saya kenali apalagi kalau mengingat semua masa-masa tahun terakhir kami sebagai anak SD.Â
Calon menjadi anak puber lah.
Singkat kata obrolan hangat terjadi, ia pun berujar ia sudah beranak juga beristri—dan bla-bla.
Baca juga:Â "Speech Delay": Cara-cara Sederhana Saya agar Anak Mahir Bicara, Sudahkah Dipraktikkan
Dan biasalah di menit-menit ujung pertemuan, ia meminta nomor kontak saya untuk ia simpan sembari mengundang saya untuk kapan-kapan jika ada kesempatan mampir ke rumahnya yang alamatnya masih sama di daerah dimana masa kanak-kanak kami, kami habiskan.
Karena teman saya ini berasal dari suku batak dan anak bungsu laki-laki, jadi rumah peninggalan orang tua menjadi haknya beserta keluarga yang dibinanya (baca: merujuk pada adat tradisi batak, anak laki-laki bungsu atau anak laki-laki satu-satunya mendapat warisan rumah yang ditinggali orang tuanya sebelumnya).
Sejurus kemudian teman saya itu menyegarkan ingatan saya lagi pada seorang teman kami yang lain yang juga masih satu SD dengan kami ketika itu. Namun, karena tak cukup banyak waktu untuk mengobrol lagi, teman saya itu hanya bertanya "kalau nanti aku bagi nomor kamu ke si B ngga apa-apa kan? Nanya dulu nih, takut kesalahan akunya? Kalau kamu bilang boleh, baru deh berani aku ngasih."
Mendengar itu, perasaan saya langsung hangat. Meleleh seketika. Betapa sopannya, betapa teman saya itu sangat menghargai privasi saya. Saya pun membolehkannya, dan kemudian teman saya pamit pulang.