Anda tidak salah baca judul, kok.Â
Ya, sebagai salah satu warga negara yang dilahirkan, bertempat tinggal dan mencari cuan di Indonesia, saya tegaskan saya salah satu orang yang sebenarnya tidak setuju jika kebijakan ini (baca: jaminan persalinan) diterapkan—apalagi jika dipermanenkan dalam jangka panjang.Â
Tapi, tenang dulu, saya tidak akan membuat para pembaca kejang-kejang di awal tulisan. Simpan pula dulu dugaan yang sekiranya menyangka saya tidak berpihak pada rakyat yang dengan golongan tidak mampu ini (baca: rakyat miskin). Pun karena saya juga belum ditakdirkan sebagai seorang crazy rich ketika menuliskannya.Â
1,2,3 atau 4?
Sudah jadi rahasia umum, punya anak adalah life goal kedua yang oleh—sebagian besar—masyarakat kita dimaknai "ideal", setelah menikah tentunya. Jika seseorang tidak berada salah satu atau salah dua dari keduanya (baca: atau belum?) maka pantaslah orang tersebut dianggap belum sempurna sebagai seorang manusia.Â
Entah siapa yang memulai "doktrin" jelek ini, yang jelas sekalipun saya menggugatnya, rasanya percuma. Anehnya, sistem ini langgeng di masyarakat kita.
Sebagai seorang fotografer pernikahan selalu saya mendengar wejangan ini tentang sepasang anak manusia yang didoakan agar lekas memiliki anak—yang mungkin tak disarankan hanya satu atau dua, melainkan banyak. Padahal malam pertama saja dengan pasangan yang dinikahinya saat itu belum, ya kan?
Ups.Â
Baca juga: Jadi Female Wedding Photographer Bukan untuk Gaya-gayaan
Baca juga: Menggelar Hari H Pernikahan Tak Semudah Rahang Bilang Sayang
Saya kadang bertanya dalam hati, tak cukupkah mendoakan pasangan itu agar berbahagia saja sepanjang usia pernikahan mereka—dengan atau tanpa mereka harus memiliki anak? Bagaimana jika pada kesudahannya mereka tidak—ingin—memiliki anak, alih-alih memang tidak bisa memilikinya?Â