Jauh sebelum ditetapkan sebagai salah satu UNESCO Global Geo Park (Taman Bumi Warisan Dunia) pada Juli 2020 yang lalu, DSP Toba sudah mencuri perhatian dengan keindahan pesona alam beserta kearifan lokalnya.
Saya sendiri sudah beberapa kali berkunjung ke danau Toba. Perjalanan saya menuju ke sana—selalu—saya tempuh dengan darat dan terakhir kali saya lakukan bersama keluarga pada Februari 2015.Â
Saat itu saya beserta keluarga sengaja memilih pulang kampung untuk ziarah ke makam almarhumah ibu; membawa mobil sendiri membawa keuntungan yang banyak, selain lebih bebas ke sana-sini, juga lebih hemat ongkos tentunya. Tujuan lain dari pulang kampung kami selain ziarah, tentu saja berwisata.
Selain melalui jalur darat, perjalanan menuju kawasan danau vulkanik terbesar di dunia ini sebenarnya bisa pula melalui jalur udara meski pada akhirnya akan ditempuh lagi dengan perjalanan darat.
Teknis rutenya, setibanya di bandara Kualanamu di Medan, kita akan melakukan penerbangan lagi menuju bandara Sisingamangaraja XII (dulu bernama bandara Silangit) yang ada di Siborongborong, Tapanuli Utara, untuk kemudian menghabiskan waktu kurang lebih dua jam perjalanan darat menuju kawasan danau Toba.
Pulau wisata yang bernama Samosir.
Selain menikmati keindahan danau Toba yang memanjakan mata, banyak tempat pula yang bisa dikunjungi. Satu di antaranya adalah pulau Samosir yang berada tepat di tengah-tengah danau Toba.
Di Samosir ada desa wisata yang bernama Tomok. Untuk menuju ke sana, kita akan menyebrangi danau menggunakan kapal feri. Tiketnya dapat dibeli di pelabuhan Ajibata yang ada di Parapat.
Saya masih ingat, beberapa saat setelah kapal meninggalkan pelabuhan, akan ada beberapa anak-anak yang bersedia menyelam di air danau untuk mengambil uang koin yang sengaja dilemparkan para penumpang kapal. Saya tidak tahu apakah hal itu masih ada hingga sekarang, atau tidak.
Sebelum kapal berangkat, bisa pula kita jumpai para penjaja telur rebus atau kacang-kacangan yang dengan semangat merayu pembeli—bahkan tanpa sungkan menggunakan bahasa Batak.
Sesampainya di Tomok, saya disambut dengan banyaknya para penduduk lokal yang menjual cinderamata seperti ukiran-ukiran yang terbuat dari kayu, ragam syal ataupun kaos yang bertuliskan Lake Toba, dan lain sebagainya.
Deretan warung-warung kopi juga ada di Tomok—ataupun di sekitar danau Toba.
Bagi para pencinta kopi, merasakan sensasi kopi Lintong atau kopi Sidikalang ditemani hawa sejuk cenderung dingin dari danau yang berada 900 meter dpl akan menjadi kenikmatan tersendiri. Saya sendiri sudah membuktikannya.