Saya merasa perlu untuk menulis artikel ini.Â
Beberapa waktu lalu, ketika saya membuka laman Twitter, ada kegaduhan yang seketika mencuri perhatian saya di topik "buku" yang saya ikuti—yang pada intinya muncul pertanyaan apa perlunya seseorang membaca novel fiksi?Â
Menarik pikir saya. Saya jadi ada bahan untuk menuangkan kegelisahan saya selama ini ke dalam bentuk tulisan.Â
Tujuannya sederhana agar tidak banyak lagi orang yang menganggapnya "sebelah mata".
Cerita fiksi adalah definisi sederhana dari cerita rekaan. Salah satu turunan cerita fiksi adalah novel—dan untuk novel fiksi, saya menaruh perhatian tersendiri pada genre fantasi.Â
Cerita-cerita dalam bentuk novel fantasi mendapatkan tempat khusus bagi saya secara pribadi. Bahkan nama-nama besar seperti J.R.R. Tolkien dengan trilogi Lord of The Ring-nya, C.S. Lewis dengan seri The Chronicles Of Narnia-nya, J.K. Rowling dengan saga Harry Potter-nya yang telah diangkat ke layar lebar film (baca: yang pula menghasilkan pundi-pundi uang jauh lebih banyak dengan hak kekayaan intelektual berupa wizarding world serta menjadikan Rowling sebagai penulis fiksi fantasi terkaya di dunia)—dan penulis fiksi lainnya.Â
Novel fantasi dianggap sebagai bacaan khayalan "tingkat tinggi". Banyak pula yang menyebutnya novel para "pembual". Ada lagi anggapan yang mengatakan jika novel fantasi hanya ditujukan untuk remaja belasan.Â
Untuk yang terakhir saya sebutkan tidak selalu benar—meski tidak dapat dikatakan salah juga.Â
Saya sendiri ada di antara banyaknya manusia dewasa yang jatuh cinta padanya; saya jelas tidak bisa dikatakan sebagai remaja.Â
Lantas, novel fantasi ditulis untuk siapa?
Sebelum menemukan jawabannya, saya ingin berbagi tentang beberapa manfaat tersendiri yang saya dapatkan selama saya membaca novel-novel fantasi.Â