Hilang atau pergi adalah dua kata yang jika kau sematkan awalan "ke" dan kau akhiri dengan kata "an" maka akan membuat sesuatu yang bernama "jarak" dimaknai dengan lebih syahdu, kawan. Percayalah.
Tak seperti kepergian saya sebelum-sebelumnya yang pernah beribu-ribu kilometer jauh dari rumah (baca: baik menempuh pendidikan atau dalam dalam penempatan kerja), hari itu—di menit-menit akhir sebelum pesawat yang saya tumpangi lepas landas—saya tidak lagi kesal pada diri sendiri (baca: atas keputusan saya menerima penempatan kerja) semua sudah saya luapkan di sore hari sebelumnya.
Tetapi, meskipun demikian perasaan sedih tak bisa saya bohongi tatkala di hadapan saya—di depan pelupuk mata—saya melihat seorang anak kecil bergelayut manja di gendongan ibunya, dan saya pun pada akhirnya menangis.
Ya, sore itu di satu senja di awal September 2014, saya berkejaran dengan waktu. Saya dipaksa bergegas dari Jogja ke Medan untuk menemui ibu saya untuk saya antarkan keesokan harinya—ke liang tanah.
Dan seolah bisa ditebak, seperti ada banyak kekacauan yang terjadi setelah ibu meninggal; entah mengapa selalu ada saja yang kurang: tidak lengkap—alih-alih utuh.Â
Rumah terasa suram (baca: apalagi di sebulan awal pasca meninggalnya ibu—meskipun pada akhirnya kami sekeluarga sudah berdamai dengan keadaan); semuanya bagai kehilangan pegangan.Â
Bagi saya sendiri, kehilangan ini adalah sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya—sama sekali tidak pernah—meskipun saya tahu setiap yang hidup pasti akan mengalami mati. Maksud saya, saya tidak pernah membayangkan akan secepat ini saya merasakannya.
Masih jelas dalam ingatan saya—setelah kepulangan kami sekeluarga dari Siantar untuk memakamkan ibu yang dimakamkan dengan prosesi adat Batak Toba—adik bungsu saya tanpa absen menangis setiap hari. Di antara tiga saudara, dia memang yang paling dekat dengan ibu walau bisa dengan jujur saya katakan dia bukan tipikal anak yang manja—alih-alih sengaja dimanjakan.
Time heals. Dua kata itu yang hanya bisa saya katakan padanya tiap kali dia menangis. Adik bungsu saya jika dilihat dari kasat mata adalah sosok yang paling tertekan atas meninggalnya ibu. Dia menunjukkan gelagat begitu nyaris dua bulan lamanya.
Namun, tidak setali tiga uang; satu di antara empat yang ditinggalkan (baca: saya, dua orang adik saya dan bapak) hanya saya yang tidak pernah mengeluarkan air mata. Karena saya sudah berjanji pada diri sendiri, saya tidak akan menangis lagi di hadapan siapapun—persis sejak jasad beliau berkalang tanah.
Sekalipun saya tidak terlalu dekat dengan ibu seperti kedua adik saya tapi saya tahu ibu punya cara mencintainya sendiri terhadap saya (atau sebenarnya memang beliau memiliki cara yang berbeda-beda terhadap kami—tiga anaknya—dalam menunjukkan bahasa cintanya sebagai seorang ibu).Â
Kau tahu, tak peduli berapa umur saya, ibu sering menyelinap masuk kamar dan duduk di sisi ranjang untuk mengusap kening saya dan menciumnya dengan lembut. Terkadang bahkan dengan lirih saya kerap mendengar ada nama saya yang dipercakapkannya bersama Tuhan.