Suatu hari saya pernah ditakdirkan untuk mendengar satu kegelisahan seorang teman tentang mengapa dia ingin menikah di usia yang seharusnya orang-orang sudah menikah.
Alasannya?
Klasik: dia takut tidak bisa mempunyai anak.
Baca juga: Punya Anak Tak Cukup Perkara Seksual, Mental, dan Finansial
Baca juga: Tentang Perempuan dan Hal-Hal yang Patut Laki-Laki Ajarkan
Satu hal yang sebenarnya—bahkan sejak teman saya mengatakan itu—ingin sangat saya tertawakan. Ya, teman saya itu seorang puan.
Saya tidak sepenuhnya menyalahkannya. Dia begitu juga diakibatkan tekanan sosial yang ada di masyarakat—alih-alih boleh jadi sebenarnya tekanan itu justru datang dari orangtuanya sendiri. Hanya saja, mungkin dia gengsi mengatakannya.
Terkadang manusia lebih sering memuaskan ekspektasi orang lain ya dibandingkan kebahagiaan diri sendiri.
Baca juga: Target Hidup: Seni Mengelola Ekspektasi Demi Sebuah Eksistensi
Selain itu (baca: memuaskan ekspektasi orang lain), ternyata masih banyak orang di luar sana lupa bahwa anak, dia tidak cuma bicara rezeki atau ikhtiar melainkan juga ujian; anak adalah hak prerogatif Tuhan.
Lalu, apa kabarnya teman saya itu sekarang?
Saya tidak tahu dan tidak mau tahu, yang jelas dia memang sudah menikah.
Fyi, dia juga acapkali mengintip tak cukup sekali atau dua kali instastory saya.
Eits, jangan buru-buru menuduh saya sombong dulu. Saya tidak mau curi start menyapanya karena saya tidak ingin lagi mendengar keluhan-keluhan ajaibnya yang "lain"—yang mungkin saja jauh lebih parah dari sebelumnya.