Selalu akan ada yang pertama kali dalam setiap hal.
Termasuk hunting fotografi di jalanan.
Satu hal yang menarik buat saya tentang jalanan adalah dia bisa menyuguhkan realitas yang apa adanya ke hadapan saya—untuk kemudian saya abadikan.Â
Saya tidak bohong mengatakan ini.
Banyak kejutan yang bisa hadir di jalanan—khususnya jalanan yang ada di perkotaan, seperti yang menjadi jantung utama dalam tulisan ini—dan terkadang kejutan-kejutan itu tak pernah ada di benak saya sama sekali meskipun jalanan tersebut adalah jalanan yang saban hari saya lewati. Namun, di situlah letak kelebihannya.
Fotografi jalanan menjadi cara untuk saya belajar serta memahami jika saya (baca: saya di antara segala rutinitas—dan meski saya tidak ditiap kesempatan bisa melakukannya) rasanya masih butuh menengok dan berinteraksi secara lebih dekat sebagai manusia terhadap manusia yang lainnya namun dengan perspektif yang berbeda.
Saya tidak akan bilang bahwa motret di jalanan akan selalu "enak", termasuk untuk para puan.Â
Jadi, jika ada para puan yang tidak suka mukanya merasa "berat" karena kena debu—apalagi yang berasal dari asap knalpot—atau tidak suka menjumpai keramaian dengan segala hiruk pikuknya, mungkin genre fotografi yang satu ini bukan genre yang tepat untuk dijadikan hobi.
Itu belum terhitung dengan cuaca yang kadang tidak bisa ditebak—atau kejadian-kejadian unpredictable yang dilakukan oleh para manusia yang bersinggungan di dalamnya.
Menyoal fotografi jalanan—yang konsentrasinya lebih banyak melibatkan interaksi manusia—saat terjun motret, saya lebih suka memakai lensa kecil yang ringkas penggunaannya yang sudah saya pasang sebelumnya di body kamera saya.
(baca: terkecuali, jika saya memang ada rencana untuk mengambil foto landscape dan atau cityscape. Untuk yang satu ini saya bisa membawa lensa yang berbeda sesuai peruntukkannya—bahkan saya pun akan membawa tripod sebagai alat tempur tambahan, dengan memory tambahan pula).