Kerja yang bener aja, cari duit yang banyak. Entar cewek juga ngantre buat ngedeketin!
Sudah berapa sering kalimat ini mampir di telingamu?
Satu kali? Dua kali?
Saya berani bertaruh dengan seluruh eksistensi saya kalau perlu, jika kau pernah—alih-alih sering—mendengarnya.
Saya sendiri terkadang sampai tak tahu lagi harus bereaksi seperti apa dan bersikap bagaimana jika mendengar—lagi—kalimat tadi. Padahal tak semua puan sudi dinilai begitu—setidaknya saya. Jujur saja, saya tak bisa tak merasa sensitif menyoal ini. Saya tak pernah rela!
Lagipula saya tak habis pikir bagaimana bisa "standar" kebahagiaan seorang puan ditentukan ujug-ujug hanya dengan lingkaran uang—dan jabatan sebagai pendamping eratnya.
Siapa yang kali pertama mencetuskannya dan sejak kapan persisnya? Meski dinarasikan dengan maksud bercanda, menurut saya itu sudah jelas kebablasan.
Beberapa bulan lalu—saya segarkan kembali ingatanmu—sempat pula ada pembahasan yang viral di jagat media sosial mengenai seorang influencer yang menanggapi satu cuitan—dari seorang influencer lainnya, yang katanya hanya ingin menikah dengan laki-laki yang memiliki gaji 250 juta sebulan.
Bayangkan 250 juta sebulan?!
Tolong yang gajinya masih di bawah sepuluh jutaan, mohon melipir sebentar.
Tak ada yang salah sebenarnya dengan jawabannya itu. Pun, saya menilainya demikian. Dia mengatakan itu karena ada relevansinya: dia sebagai pelaku utama langsung.
Subyektif? Tentu saja.