Suatu hari di sebuah ruangan yang kira-kira luasnya 2 x 3 meter seorang perempuan muda bertanya pada seorang laki-laki.
"Mas, kalo dianalogikan dengan benda hidup atau benda mati, kamu bakal menggambarkan aku sebagai apa? Sebutin dong, hm...tiga aja dulu deh?!" Tanya si perempuan dengan antusias. Raut mukanya terlihat tak sabar menunggu jawaban. Laki-laki yang ditanyainya sebenarnya sedang berkutat dengan komputer jinjingnya. Rupanya dia sedang mengerjakan sesuatu.
Karena gemas pertanyaannya menggantung dan tak kunjung dijawab, si perempuan yang tadinya duduk di kursi yang beberapa langkah dari meja si laki-laki bekerja, menarik kursinya lalu duduk tepat di hadapan laki-laki itu—lumayan membuat si laki-laki sedikit kaget.
"Ih, jawab dong?" Perempuan itu sedikit manyun. Tangan kirinya terlipat di atas meja sedangkan yang lain menopang dagu.
Laki-laki itu menurunkan layar komputer jinjingnya lalu memindahkannya ke sebelah kiri—di atas meja—dari tempat posisinya duduk. "Hm...tiga ya?"
Muka si perempuan mendadak sumringah lagi, "iya, tiga! Aku pengin tau, aku di mata Mas itu gimana gitu lho? Penasaran aku, Mas."
"Kamu itu...batu," ujar si laki-laki mantap pada akhirnya. Sejurus kemudian menatap sebentar perempuan yang duduk dengan punggung kursi terbalik yang ada di seberang meja dari posisinya berada. Diamatinya sebentar dengan tatapan tajam dengan penuh telisik, lalu, "...tupai."
Lalu laki-laki itu berhenti bicara.
Kemudian hening.
"Terus, yang ketiga apa?" Si perempuan kembali mencecar.
Sembari menyunggingkan senyum bulan sabitnya, laki-laki itu menjawab, "rahasia..."
Alur beserta setting yang saya ceritakan di atas bukan rekaan. Itu kisah nyata dan saya lah si perempuan itu.